8.26.2019

@bende mataram@ Bagian 155

@bende mataram@
Bagian 155


Sangaji menundukkan kepala. Kemudian berkata setelah berbisik, "Guru!
Sebenarnya...


sewaktu aku berada dengan Paman Wayan Suage di pondokan, beliau berpesan
agar aku mencari dua pusaka warisanku yang dipendamnya pada suatu tempat
dekat Desa Karangtinalang."


Sangaji kemudian menerangkan dengan jelas semua kalimat Wayan Suage tentang
dua pusaka yang disimpannya di dekat tebing sungai sebelah timur desa
Karangtinalang, sebagai pusaka warisan. Pusaka apakah itu, sama sekali dia
tak mengerti. Sebagai seorang yang berhati jujur dan sederhana, sebenarnya
tiada nafsunya untuk mewarisi pusaka segala. Ia


hanya ingin melakukan pesan orang yang sudah mati dengan sebaik-baiknya.


Mendengar tentang dua pusaka itu, sebaliknya Wirapati jadi tertegun. Pada
saat itu juga, teringatlah dia kepada kejadian dua belas tahun yang lalu,
tatkala sedang menolong Wayan Suage. Dia pernah bertengkar mengenai pusaka
itu yang menerbitkan malapetaka belaka. Ia bahkan menyarankan diberikan
kepada gerombolan orang-orang Banyumas agar tak usah menanggung derita.
Tetapi Wayan Suage tetap mempertahankan, malah lantas mencurigai dirinya
hendak merebutnya. Maka teranglah, bahwa kedua pusaka itu pasti termasuk
suatu persoalan yang penting. Ki Hajar Karangpandan pun menyinggung pula
tentang kedua pusaka itu, tatkala hendak menetapkan suatu perjanjian.


Pendeta itu menghendaki, barangsiapa menemukan kedua pusaka tersebut harus
mengembalikan kepada pemiliknya yang syah. Yakni, kepada anak-anak Wayan
Suage dan Made Tantre. Dan selama dua belas tahun, tak pernah lagi ia
mempersoalkan kedua pusaka tersebut. Ki Hajar Karangpandan pun tiada
menyinggung-nyinggung sama sekali. Mendadak saja kini persoalan kedua
pusaka timbul lagi. Keruan saja, hatinya jadi tegang kembali. Dasar ia
berwatak usilan dan berjiwa seorang kesatria besar. Apabila sudah mau
bekerja tak mau pula bekerja kepalang-tanggung. Maka mendengar tentang di
mana beradanya kedua pusaka tersebut, lantas saja timbullah keinginannya
hendak menyelesaikan persoalan itu sama sekali. Pekerjaan itu dipandangnya
sebagai suatu kewajiban pula.


Hm, biarlah pendeta edan itu lebih menghargai jerih payah kita berdua.
Kalau kedua pusaka itu bisa kukembalikan kepada yang berhak, bukankah aku
dapat memerintahkan dia membungkuk hormat dan menyembah tiga kali? Mendapat
pikiran demikian, terbesitlah kegembiraannya, pikir Wirapati. Segera dia
menepis, "Benarkah Wayan Suage mewariskan kedua pusaka itu kepadamu?"


Sangaji mengulangi tiap kalimat Wayan Suage lagi tatkala berada di
pondokan. Dan diam-diam Wirapati merasa bersyukur. Sebab, jika kedua pusaka
tersebut menjadi milik Sangaji, bukankah benar-benar ia berhasil merebut
kemenangan mutlak?


"Apakah dia tidak menerangkan macam kedua pusaka itu kepadamu?" tanya
Wirapati lagi.


Sangaji menggelengkan kepala. Memang Wayan Suage sama sekali tidak
menerangkan macamnya, karena waktu itu dia tak sempat lagi. Rumah
penginapan sudah terkepung rapat oleh pasukan-pasukan Pangeran Bumi Gede.


Sekonyong-konyong Titisari menyahut, "Apakah itu bukan pusaka Pangeran
Semono? Eh, mestinya bukan. Pusaka Pangeran Semono berjumlah tiga."


"Engkau berkata apa, Nona?" Wirapati menegaskan. Muka Titisari tiba-tiba
nampak terkesiap, seperti seorang yang kelepasan rahasia. Didesak Wirapati
guru Sangaji yang dihormati, terpaksa ia berkata lagi, "Aku hanya
mengira... barangkali pusaka Pangeran Se-mono."


"Mengapa kamu bisa menduga demikian?"


"Semalam—waktu kami berkeliaran di dalam halaman kadipaten mencari ramuan
obat, aku tersesat di serambi belakang. Kulihat mereka sedang berkumpul
membicarakan suatu rahasia. Karena besar rasa ingin tahuku, kuberanikan
diri mengintip pembicaraan mereka. Dan kudengar mereka membicarakan pusaka
Pangeran Semono."


Tentang pusaka Pangeran Semono semua pendekar yang bermukim di Jawa Tengah
mengetahui belaka. Wirapati mendengar pusaka keramat itu dari gurunya. Dan
dahulu, karena tertarik kepada persoalan pusaka tersebut ia sampai
mengikuti rombongan penari yang aneh dari Banyumas dan ternyata sedang
memperebutkannya. Hanya saja tiada rangsangnya hendak memiliki. Kalau saja
ia menceburkan diri ke dalam persoalan itu, sematamata hanya panggilan
naluriahnya. Tak rela ia melihat kelaliman dan kerusuhan bermain di depan
kelopak matanya. Meskipun, sekarang persoalannya adalah sama, tetapi
panggilan hidupnya berseru lain. Besar hasratnya hendak membahagiakan murid
dan menentramkan arwah yang sudah


pulang ke alam baka.


Titisari terus saja menceritakan semua yang didengarnya semalam di ruang
belakang kadipaten. Tak lupa pula ia menggambarkan bagaimana sang Dewaresi
mendesak Pangeran Bumi Gede, tentang tempat beradanya Ki Hajar
Karangpandan. Karena itulah orang yang dahulu pernah merampas pusaka
Pangeran Semono.


"Tetapi... mereka menyebutkan jumlahnya tiga buah. Sebuah Jala, Keris dan
Bende. Andaikata benar... masa berada di tangan Wayan Suage selama itu,
tanpa diketahui orang?" kata Titisari menyatakan pertimbangannya.


Wirapati menaikkan alis. Dengan sungguh-sungguh ia mendengarkan tiap kata
Titisari yang menceritakan kembali pengalamannya semalam. Kemudian ia
berpaling kepada Sangaji.


"Apakah Wayan Suage tidak menyebut macam bentuk pusaka itu?"


Sangaji menggelengkan kepala sambil menjawab, "Waktu aku minta keterangan,
ia tak sempat lagi berbicara. Rumah penginapan telah terkepung rapat."


Kembali Wirapati menaikkan alis. Dido-ngakkan kepalanya ke udara dan lama
ia tak-berbicara. Benaknya seolah-olah lagi berjuang merangkaikan semua
pengalamannya dan apa yang pernah didengarnya tentang pusaka Pangeran Semono.


"Baiklah. Kamu boleh mengambil kudamu. Aku dan Nuraini akan berangkat
dahulu. Aku akan memberi tanda jalan bagimu, agar kamu mudah menyusul
kami," kata Wirapati memu-tuskan.


Mereka lantas berpisah. Wirapati membimbing Nuraini yang dibawanya berjalan
cepat mengarah ke pegunungan yang berdiri berderet di sebelah selatan.
Mereka akan menempuh perjalanan yang panjang. Mungkin pula satu bulan belum
tentu tiba di Sejiwan. Maklumlah, waktu itu hutan rimba masih padat
memenuhi persada Pegunungan Sumbing-Sundoro-Dieng.


Sangaji berdiri terhenyak untuk beberapa saat lamanya, la heran menyaksikan
gurunya begitu nampak tergesa-gesa. Mengapa mesti begitu, pikirnya. Otaknya
yang sederhana belum juga dapat menebak, bahwasanya pada dewasa itu semua
orang gagah sedang mengincar pusaka warisannya. Gntung dia mem-punyai
seorang kawan yang cerdik dan cerdas. Dan nampaknya akan setia mendampingi
di mana saja dia berada.


"Aji," kata kawan itu. "Ayo kita cepat-cepat pergi dan menyusul gurumu."
"Mengapa cepat-cepat?" Masih saja ia minta keterangan.


Titisari tidak menjawab. Dengan tersenyum lebar sambil menarik tangan, ia
memperlihatkan cahaya matanya yang berkilat-kilat.


"Kamu memang seorang yang berhati mulia," katanya kemudian. "Itulah
sebabnya aku senang berkawan denganmu. Ayo! Ayo kita berjalan menyusuri
pantai mencari karang. Lantas menggarungi sawah mencangkul ladang. Nanti
dua, tiga bulan lagi baru menyusul."


"Eh! Mengapa kamu berkata begitu?" Sangaji terkejut, la benar-benar nampak
tolol. Kemudian minta penjelasan cepat, "Titisari! Otakku memang bebal.
Maukah kamu menerangkan sejelas-jelasnya, mengapa kita harus cepat-cepat
menyusul guru? Apakah guru berangkat akan menempuh bahaya?"


"Ya dan tidak," jawab Titisari berteka-teki. "Tetapi aku tak berani
bertaruh, bahwa gurumu itu telah memperoleh pegangan kuat untuk bertindak
secepat mungkin. Eh... apakah benar rejekimu begini besar?"


"Rejeki apa?" ulang Sangaji. "Titisari! Mengapa kamu bicara tak karuan?"


"Sekiranya kamu menjadi raja... hm... berapa jumlah permaisurimu?" Titisari
tak perduli. Dan Sangaji jadi blingsatan. Gugup dia memotong dengan suara
tinggi. "Raja? Raja apa? Raja kera?"


Titisari tertawa nyaring dan terus lari menuju ke kota. Karuan saja Sangaji
mau tak mau harus


memburunya seperti seorang sopir menancap gas.


"Hai! Hai! Kau harus menerangkan! Kau berbicara tentang rejeki dan raja.
Apa sih maksudmu?"


"Aku berkata sungguh-sungguh! Bukan main-main," sahut Titisari. Tetapi ia
tak mau memberi penjelasan. Bahkan larinya kian dipercepat.


Menjelang senja hari, mereka telah tiba di penginapan. Pelayan penginapan
girang melihat datangnya Sangaji dan Titisari.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar