8.29.2019

@bende mataram@ Bagian 162

@bende mataram@
Bagian 162


Gagak Seta tertawa. Sebagai seorang tokoh sakti tahulah dia, bahwa gadis
cilik itu sedang mencari alasan untuk menutupi kedunguan Sangaji dalam
lapangan ilmu berkelahi. Tetapi ia berdiam membungkam mulut.


"Kulihat gerak-gerik kalian, bukan seorang segoblok kerbau. Paling tidak,
kalian sudah pernah belajar berkelahi lima tahun. Sekarang, coba kalian
bertempur! Ingin aku melihat."


Titisari segera mengajak Sangaji berkelahi. "Ayo, Aji! Kita bertempur."
"Bertempur?" Sangaji berbimbang-bimbang.


"Ya. Bertempur! Kalau kamu tak memperlihatkan seluruh kepandaianmu,
bagaimana Paman Gagak Seta sudi mengajarimu?"


Sangaji menyahut setelah sejurus diam menimbang-nimbang.


"Tetapi... kalau aku tak becus, janganlah menyalahkan guruku. Semua itu
terjadi karena ketololanku. Paman Gagak Seta, berilah aku petunjuk-petunjuk
yang berguna bagiku."


Gagak Seta tersenyum menjawab, "Memberi petunjuk satu dua jurus, tak
mengapa. Tetapi memberi petunjuk lebih dari lima jurus, itu lain perkara."


Sangaji heran mendengar jawaban orang itu. Tetapi belum sempat ia berpikir,
mendadak saja Titisari telah menyerangnya sungguh-sungguh.


"Awas!" gertaknya.


Sangaji benar-benar diserangnya bertubi-tubi. Karena tidak berniat
berkelahi bersungguh-sungguh, maka ia kena gebuk empat kali beruntun.


"Berkelahilah yang sungguh-sungguh! Paman Gagak Seta bukan orang
sem-barangan. Dia tahu, kamu berkelahi dengan sungguh-sungguh atau tidak,"
bisik Titisari.


Karena bisikan itu, terbangunlah semangat Sangaji. Maka ia terus saja
menangkis si gadis dan sekali-kali melepaskan serangannya. Dalam hal tenaga
dan keuletan, Sangaji menang jauh daripada Titisari. Maklumlah, selain
watak asli, Sangaji telah menghisap getah pohon Dewadaru. Gerakannya gesit
dan kuat. Setiap pukulannya mengandung per-bawa. Tetapi Titisari pun bukan
seorang gadis sembarangan. Dia anak Adipati Karimun Jawa Surengpati.
Meskipun belum sempurna setidak-tidaknya ia pernah mendapat didikan dan
asuhan ayahnya. Karena itu, gerak-geriknya luar biasa aneh dan gesit, la
mengenal macam-macam ilmu. Tatkala ia kena desak, mendadak saja dua
tangannya ditarik seolah-olah meringkaskan diri. Kemudian di luar dugaan,
ia menyapu tubuh Sangaji dari bawah.


"Bagus!" puji Gagak Seta gembira. "Kamu siluman cerdik."


Sangaji kena hantam beberapa kali, tetapi ia belum mampu membalas. Maka ia
mau mendesak Titisari dengan sungguh-sungguh. Tenaganya berlipat ganda.
Dalam tubuhnya seakan-akan ada suatu bendungan air yang hendak membobol
tanggul. Hanya sayang, ia belum pandai menyalurkan. Itulah sebabnya, tenaga
yang dahsyat hanya tersekap dalam tubuh seperti air bergolak. Sekalipun
demi-kian, ia nampak bersemangat. Beberapa kali ia merangsak dan mendesak.
Kini, Titisari benar-benar repot. Seumpama bertempur benar-benar ia akan
dapat dikalahkan Sangaji dalam waktu tiga jam lagi. Maklumlah, tena-ganya
takkan mampu menandingi tenaga getah Dewadaru. Gagak Seta sendiri,
diam-diam heran, pikirnya, anak goblog ini seperti punya mukjizat. Eh,
mukjizat apa yang dimi-likinya?


Sejalan dengan pikirannya, ia melihat Titisari kena desak Sangaji sampai ke
pojok. Mendadak saja di luar dugaan, gadis itu me-ngeluarkan ilmu
simpanannya ajaran khas dari ayahnya. Itulah ilmu "Meninju Odara Kosong"
yang terkenal dengan sebutan "Ilmu Gora Mandala." Seseorang yang sudah
mahir ilmu ini akan dapat mementalkan seekor kerbau dari jarak dua puluh
langkah._ Bisa diba-yangkan betapa dahsyat ilmu ini. Konon pada zaman dulu,
yang terkenal




memiliki ilmu ini adalah pahlawan Majapahit Kasan-Kusen dan Adipati Jipang
Panolan Arya Penangsang. Mereka diceritakan bisa menggugurkan gunung dengan
sekali hantam dari jarak jauh.


Itulah sebabnya, begitu Titisari mengeluar-kan ilmu dahsyat simpanannya,
lantas saja ia bisa mengatasi kekalahannya. Untung, dia belum mahir. Bahkan
belum menguasai sepertujuh bagian. Karena itu hanya dapat membuat Sangaji
repot karena gerakan-gerakan dan jurus-jurus yang aneh luar biasa. Enam
kali ia berhasil menghantam tubuh Sangaji. Kemudian meloncat ke luar
gelanggang sambil tertawa.


"Titisari, kamu hebat!" Sangaji kagum. Matanya berkilat-kilat karena
girang. Waktu itu Gagak Seta mengerenyitkan dahi.


"Ayahmu memiliki ilmu kepandaian yang jarang ada tandingnya di jagad ini.
Mengapa kamu menghendaki aku mengajar dua tiga jurus kepadamu? Apa kamu mau
mengolok-olokku?" katanya dengan suara dingin.


Titisari terperanjat. Pikirnya, darimana dia mengenal ilmu ayahku? Bukankah
Ilmu Gora Mandala ciptaan ayah sendiri? Sehabis berpikir demikian, segera
ia bertanya, "Paman! Apakah Paman kenal ayahku?"


"Mengapa tidak?" sahut Gagak Seta dengan suara agak keras. "Dia iblis!
Siluman dari Ka-rimun Jawa. Sedangkan aku dijuluki orang Gagak Seta.
Meskipun namaku sebenarnya, Saring. Kami pernah bertempur setiap setahun
sekali untuk menguji kepandaian."


Titisari heran. Sebagai anak Adipati Surengpati tahulah dia, bahwa ayahnya
sangat ditakuti orang. Ilmunya tinggi dan belum pernah bertempur melawan
seseorang melebihi tiga jurus. Karena itu diam-diam ia berpikir, dia pernah
bertempur beberapa kali melawan Ayah. Dia masih tetap segar bugar. Kalau
tak memiliki ilmu tinggi, bagaimana mungkin bisa bertanding melawan Ayah.
Kemudian ia mencoba.


"Paman! Bagaimana Paman bisa mengenalku?"


"Kalau aku belum mengenalmu sebelumnya, bagaimana aku berani menyebut
dirimu sebagai anak iblis. Coba, larilah kamu ke danau. Jengukkan mukamu ke
permukaan air. Pandang matamu, bentuk mukamu dan alismu, bukankah seperti
wajah siluman dari Karimun Jawa? Apa lagi setelah melihat cara berkelahimu.
Hm, meskipun belum pernah aku berjumpa denganmu, tetapi ilmu Gora Mandala
itu takkan muncul di depan mataku, apabila bukan keluarga siluman dari
Karimun Jawa. Di seluruh jagad ini, hanya ayahmu yang memperdalamnya."


Titisari mendongkol, mendengar Gagak Seta selalu menyebut ayahnya sebagai
siluman, tetapi ia tahu kalau sebutan itu sebenarnya adalah tata-sikap
menghargai ayahnya. Maka ia bisa berlagak tak menghiraukan.


"Paman selalu menyebut ayahku sebagai siluman. Maksud Paman hendak berkata
bahwa ayahku hebat bukan?"


"Memang ayahmu hebat!" sahut Gagak Seta dingin. "Tetapi dia bukanlah nomor
wahid di kolong langit ini."


Titisari melompat kecil karena girang dan bangga, katanya nyaring. "Kalau
begitu, Pamanlah orang nomor wahid di kolong langit ini."


"Itu pun bukan," bantah Gagak Seta. "Pastilah kamu pernah mendengar, bahwa
di kolong langit ini ada tujuh orang yang terkenal sebagai tokoh-tokoh
sakti. Bih! Inilah gelar berlebih-lebihan. Kami, Kyai Kasan Kesambi,
Mangkubumi 1, Pangeran Samber Nyawa, Kebo Bangah, Kyai Haji Lukman Hakim,
ayahmu dan aku adalah manusia-manusia biasa yang terdiri dari darah dan
daging. Kami hanya memiliki suatu kepandaian sedikit dan pada suatu kali
pernah mengadu kepandaian. Ternyata yang kami akui nomor satu ialah Kyai
Kasan Kesambi. Dan kedua Pangeran Mangkubumi 1."


"Siapakah Kyai Kasan Kesambi?" Titisari minta keterangan.


"Apakah ayahmu tak pernah membicarakan dia?" Titisari menggelengkan kepala.
"Aku tahu," tiba-tiba Sangaji menyela.


Titisari dan Gagak Seta menoleh padanya. Mereka nampak heran. "Darimana
kamu tahu!" Titisari bertanya.


"Guruku bernama Wirapati. Menurut guru, Kyai Kasan Kesambi adalah gurunya.
Jadi dia adalah kakek-guruku."


"Hai!" Gagak Seta terperanjat. "Jika demikian, kalian ini minum air dari
suatu sumber hebat! Mengapa kalian minta pengajaran dari-padaku?"


"Benar ayahku seorang berilmu tinggi, tapi dia terlalu angkuh," kata
Titisari. "Aku bahkan diusirnya pergi."


"Hai! Hai! Siluman itu bertambah hari bertambah sesat!" maki Gagak Seta.
Titisari tak senang mendengar Gagak Seta memaki ayahnya.


"Dia adalah ayahku. Tak senang aku mendengar Paman memaki Ayah sebagai
siluman sesat."


Gagak Seta tercengang mendengar teguran Titisari. Kemudian tertawa
berkakakan sambil berkata, "Bagus! Bagus! Inilah namanya si anak berbakti
kepada orangtua. Tetapi orang-tua menyia-nyiakan si anak."


Sehabis berkata demikian, ia menoleh kepada Sangaji. "Hai anak tolol! Kamu
mengaku cucu-murid Kyai Kasan Kesambi. Tapi kamu tak dapat berkelahi dengan
baik. Entah kakekmu itu hendak mendidikmu sebagai pendeta atau memang
kamulah yang goblok."


"Akulah yang goblok," sahut Sangaji.


Gagak Seta terhenyak heran. Sebentar ia mengamat-amati pemuda itu. Kemudian
berkata sambil memanggut-manggut kecil.


"Tahulah aku kini. Anak murid Kyai Kasan Kesambi sudi mengambilmu sebagai
murid, karena kamu seorang berhati jujur. Tapi sayang... menjadi seorang
pendekar tidak hanya mengutamakan kejujuran belaka, la harus sanggup
mengatasi segala hal. Tidak hanya yang nampak terang, tetapi yang busuk pun
harus bisa melihat dan mengatasi dengan sekali pandang. Bakatmu sangat
miskin. Karena itu aku heran, mengapa puteri seorang Adipati Karimun Jawa
sudi berkawan dengan-mu.


Sangaji tak bersakit hati. Dia malah tertawa. Titisari pun tidak
tersinggung pula. Dengan merendahkan diri dia menyahut, "Paman! Justru dia
tolol, aku senang bila dia bisa berkawan dengan Paman. Ayahku belum pernah
melihat dia. Kelak apabila melihatnya, pastilah kawanku ini bisa
membanggakan diri sebagai teman Paman Gagak Seta. Aku tanggung, ayahku akan
segan begitu mendengar kawanku menyebut nama Paman Gagak Seta."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar