8.30.2019

@bende mataram@ Bagian 163

@bende mataram@
Bagian 163


"Iblis kecil!" maki Gagak Seta. "Kepandaian ayahmu belum kauwarisi
sepersepuluh bagian. Tetapi sifat iblisnya telah kauwarisi seluruhnya.
Apakah aku begitu tolol sampai kena kausan-jung puji? Kau berdua tak pantas
menjadi kawanku. Yang satu goblog dan yang lain anak iblis. Selamat malam."


Sehabis berkata demikian, dengan suatu kesehatan luar biasa ia menyambar
tempurungnya. Dan tahu-tahu tubuhnya telah melesat ke luar gua.


Sangaji tercengang-cengang sampai mulutnya terlongoh. Dia berdiri tertegun
mengawasi melesatnya Gagak Seta.


"Titisari!" katanya sejurus kemudian. "Benar-benar dia seorang yang luar
biasa. Tabiatnya pun luar biasa pula."


"Sebenarnya dia seorang yang baik hati. Hatinya mulia pula," sahut Titisari
sambil duduk terhenyak seperti menghempaskan diri. Tetapi sesungguhnya dia
seorang gadis yang cerdik




luar biasa. Dengan ketajaman matanya, ia melihat kuping Willem dan kawannya
tegak. Suatu tanda, bahwa binatang itu melihat sesuatu.


Telah diketahui bahwa ketajaman indera binatang jauh lebih tajam daripada
indera manusia. Maka ia menduga, kalau Gagak Seta belum meninggalkan gua
sungguh-sungguh. Mempunyai dugaan demikian lantas saja dia berkata seperti
menyesali diri.


"Aji! Dengan sebenarnya kukatakan kepadamu, ilmunya lebih tinggi daripada
Ayah. Sayang, dia terlalu cepat meninggalkan kita..."


Sangaji heran.


"Kamu belum pernah menyaksikan macam kepandaiannya. Mengapa kamu bisa
berkata demikian?"


"Ayahku sering berkata kepadaku." "Apa katanya?"


"Ayahku berkata, bahwa pada zaman ini orang yang bisa mengalahkan dia hanya
Paman Gagak Seta seorang. Kyai Kasan Kesambi pun tak mampu. Sebab orang tua
itu sudah menarik diri dan hidup sebagai pertapa belaka. Sayang! Sungguh
sayang! Sekiranya kita bisa memperoleh warisan kepandaiannya, ayahku yang
mengusirku akan terkejut bila melihat ke-pandaianku. Pasti dia tak berani
sembrono lagi mengusirku."


Dugaan Titisari benar-benar tepat. Gagak Seta belum meninggalkan gua.
Memang tadi, ia hendak meninggalkan gua. Tetapi hujan belum lagi reda dan
ia tahu, kalau sekitar tempat itu tidak ada gua lagi. Maka dia memepet
dinding mulut gua sambil memasang telinga. Inginlah dia tahu, apa yang
dibicarakan anak iblis itu. la yakin, bahwa Titisari dan Sangaji takkan
mengetahui dirinya. Tetapi orang pandai pun kadang-kadang bisa salah duga.
la tak memperhitungkan tentang kedua kuda anak-anak muda itu yang mempunyai
indera jauh lebih tajam daripada kodrat manusia. Maka ia kena dipermainkan
Titisari.


Pikir orang tua itu, eh—nampaknya Adipati Surengpati tak pernah mengagumi
diriku. Tak tahunya, di dalam hatinya ia menghormati dan menghargai aku.
Siapa menyangka demikian? la menjadi berbesar hati, bangga dan puas.
Hatinya berubah menjadi senang. Sama sekali tak diduganya pula kalau
Titisari sebenarnya lagi mereka-reka cerita.


"Aji!" kata Titisari. "Kukatakan kepadamu, bahwa ayahku memang seorang
pendekar tiada bandingnya. Kau pasti sudah pernah mendengar kemasyhuran
namanya."


"Ya. Pernah aku mendengar nama ayahmu disebut-sebut Ki Tunjungbiru," sahut
anak muda itu dengan sungguh-sungguh.


"Hanya sayang, aku belum pernah berguru kepadanya. Ilmu yang kutuntut
daripadanya, hanya sekelumit. Inilah kesalahanku sendiri. Semenjak
kanak-kanak, aku senang diman-jakan. Kurang rajin dan senang bermain-main
mencari ikan 'dengan para nelayan. Coba, kalau aku tidak begitu, pasti aku
sudah bisa menghajar orang-orang macam Yuyu Rumpung dan begundal-begundal
Pangeran Bumi Gede." Sampai di sini Titisari nampak bermu-rung. Pandangnya
diruntuhkan ke tanah dan seolah-olah dia benar-benar sedang berduka. Tapi
sebenarnya dia lagi bermain sandiwara. Kemudian meneruskan, "Tadi sewaktu
aku bertemu dengan Paman Gagak Seta, hatiku yang penuh sesal sekaligus bisa
tersapu bersih. Kenapa? Sebab aku berpengharapan bisa berguru kepadanya.
Ilmunya lebih tinggi daripada Ayah. Jika aku pulang membekal tiga, empat
ilmunya saja sudah berani berlagak di depan Ayah. Sayang... sungguh sayang!
Apakah kata-kataku menyinggung perasaan hati Paman Gagak Seta?"


"Titisari! Perasaanku tak sehalus kamu. Sama sekali tak dapat menjelaskan,
apakah kamu tadi menyinggung perasaan Paman Gagak Seta," sahut Sangaji
gugup sebab anak muda itu melihat kedua mata Titisari nyaris menitikkan air
mata.


"Ah! Pasti aku telah menyinggung perasaannya. Baik kusadari maupun tidak.
Sebab dia adalah




seorang pendekar yang berhati mulia. Jika tidak tersinggung perasaannya,
mengapa sampai meninggalkan kita?"


Titisari nampak berduka benar. Mendadak saja dia menangis. Hebat permainan
sandiwaranya. Sebaliknya Sangaji jadi gugup benar. Dengan sekuasa-kuasanya,
ia mencoba menghiburnya dengan memeluk lehernya. Karena hiburan dan pelukan
Sangaji itu, tiba-tiba Titisari menjadi bersedih hati benar-benar.
Tangisnya kian naik. Kali ini benar-benar menangis terharu, karena merasa
diri anak yatim-piatu. Ibunya telah tiada dan ia berada jauh di rantau orang.


Gagak Seta yang berdiri memepet dinding gua, menjadi tertarik hatinya.
Orang tua itu mengira, bahwa gadis itu lagi menangisi dirinya.


"Aji!" kata Titisari tersekat-sekat. "Ayah pernah berkata kepadaku, bahwa
Paman Gagak Seta mempunyai suatu ilmu sakti tiada bandingnya di kolong
langit ini. Menurut ayah, ilmunya itu sangat disegani rekan-rekannya.
Sampai Kyai Kasan Kesambi dan Pangeran Mangkubumi segan pula kepadanya.
Kabarnya Raden Mas Said gelar Pangeran Samber Nyawa itu pun, takut
kepadanya. Tapi


ilmu apakah itu... ah aku lupa. Hm... kalau kita berdua bisa mewarisi ilmu
itu... o, betapa goncang dunia ini. Ah... hm... ilmu apakah itu? Mengapa
aku kini jadi pelupa?"


Titisari berlagak seperti menyesali kebebalan ingatannya. Sebaliknya Gagak
Seta masih belum juga sadar, bahwa dirinya lagi dipermainkan orang. Karena
Titisari terlalu memuja ilmunya dan memuji dirinya begitu berkali-kali dan
nampak bersungguh-sungguh, ia jadi tak kuat menahan hati. Lantas saja ia
melesat memasuki gua, sambil berkata menerangkan.


"Ilmu itu bernama Kumayan Jati."


Titisari terkejut bukan kepalang. Tetapi ia girang luar biasa. Segera
menyahut, "Ya benar! Benar!"


Sehabis berkata demikian, ia berdiri dan melompat-lompat setengah menandak
sambil merangkul leher Sangaji. Sudah barang tentu, anak muda itu jadi
kelabakan. Ia sudah terperanjat oleh kedatangan Gagak Seta kembali, kini
ditambah dengan tingkah-laku Titisari yang bisa berubah mendadak dari
menangis jadi girang luar biasa. Dia yang berhati polos dan jujur,
bagaimana bisa mengerti permainan sandiwara itu.


"Eh—ayahmu bisa juga berkata terus-te-rang," kata Gagak Seta bersyukur
dalam hati.


"Tadinya kusangka, ia akan mengangkat diri menjadi seorang sakti nomor satu
di kolong langit ini, setelah Kyai Kasan Kesambi menarik diri dan Pangeran
Mangkubumi I wafat. Tak tahunya...


eh kamu berdua... lekaslah memasak kopi lagi. Aku mau tidur di sini."


Dan belum lagi mendapat jawaban, orang tua itu lantas saja merebahkan diri,
sebentar kemudian angan-angannya telah amblas entah ke mana. Dengkurnya
keras luar biasa seakan-akan tidak memedulikan gunung gugur.


Titisari segera mengambil bubuk kopi. Dengan kerlingan mata ia minta
pertolongan Sangaji agar membantunya menyalakan perdiangan. Ia sangat
gembira, sampai pandang matanya berkilat-kilat.


"Aji! Bersyukurlah pada Dewa atau Tuhan atau siapa saja yang kausujudi,"
bisiknya. "Esok hari, kita akan menjadi orang lain... "


Waktu itu telah jauh malam hujan agak reda. Kini angin meniup dengan
kerasnya. Rasa dingin menyelinap ke seluruh tubuh. Untung mereka dekat
dengan perdiangan api sehingga dingin angin itu membuat rasa menjadi aman.


Mereka tiada berkata-kata lagi. Rasa kantuk mulai menggerumuti tubuh.
Apabila Titisari telah menyediakan kopi Gagak Seta, mereka berdua kemudian
duduk saling berdekatan. Dan tanpa dikehendaki sendiri, kedua-duanya telah
tertidur lelap.




Keesokan harinya, mereka terbangun hampir berbareng. Yang pertama
dilihatnya adalah tubuh Gagak Seta yang meringkas seperti landak.
Dengkurnya masih saja kuat luar biasa. Hanya saja anehnya, kopi yang
disediakan semalam telah ludas. Pastilah orang tua itu diam-diam telah
bangun dan menikmati kopi hangat seorang diri. Melihat mereka tidur, tak
sampai hati dia mengganggu. Kemudian balik kembali keperaduannya dan
meneruskan impiannya di jagad lain.


Sangaji segera melepaskan kedua kudanya, sedang Titisari terus saja
menyelam ke dalam sungai berburu ikan. la anak seorang adipati yang
bermukim di tengah lautan. Karena itu, sudah biasa bergaul dengan air.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar