8.23.2019

@bende mataram@ Bagian 151

@bende mataram@
Bagian 151


Guru adalah seorang yang keras hati dan keras kepala. Jika ia mempunyai
tujuan, takkan dapat dilepaskan jika belum tercapai. Titisari adalah anak
satu-satunya. Bagaimana bisa guru membiarkan dia merantau mengarungi lautan
seorang diri? Hm... apakah benar guru berada tak jauh dari sini? pikirnya.


"Adik kecil!" akhirnya ia memutuskan. "Kali ini biarlah kita berpisah di
sini untuk selama-lamanya. Meskipun aku murid murtad, aku masih menghormati
ayahmu sebagai guru. Selama hidupku, dia akan kusembah sebagai dewaku juga.
Karena hari ini aku tak dapat menemui, sudikah kamu mewakiliku menyampaikan
sembah sujudku?"


Sehabis berkata begitu, kemudian ia menjejak tanah berjumpalitan. Dan
sebentar saja bayangnya tidak nampak lagi.


Semua orang kagum menyaksikan keperkasaan si iblis. Pantas semenjak Perang
Giyanti orang segan kepadanya. Ternyata namanya tiada kosong melompong.
Benar-benar ia manusia tangguh dan sukar dilawan.


Wirapati, Jaga Saradenta, Ki Tunjungbiru dan Ki Hajar Karangpandan hendak
menghampiri Titisari, mendadak saja mereka mendengar suara gedebukan orang
lagi bertempur. Begitu menoleh, mereka melihat Sangaji dan Nuraini sedang
dalam bahaya kena gempuran Yuyu Rumpung. Tanpa diminta lagi. Wirapati terus
saja melesat menghampiri sambil mengirimkan bogem mentah. Tentu saja, Yuyu
Rumpung yang masih kesakit-sakit-an terkejut mendengar kesiur angin, la
sadar kalau lawannya kali ini bukan seempuk Sangaji. Maka cepat-cepat ia
bergeser tempat. Tetapi serangan Wirapati bukan serangan murahan. Begitu
serangannya yang pertama kena dihindari, lantas saja menyusullah
serangannya yang kedua dan ketiga. Kena diberondong serangan berantai
demikian, Yuyu Rumpung tak berdaya. Dasar ia masih luka, maka dengan
gampang dia kena kemplang sehingga mundur terhuyung-huyung.


"Sangaji! Siapa orang ini?" Wirapati minta keterangan.


"Dialah yang melukai Panembahan Tirtomoyo dengan akal licik," jawab Sangaji.


Wirapati tak kenal siapakah Panembahan Tirtomoyo, sehingga ia tak begitu
mengindahkan. Terus saja dia berkata, "Lain kali, jika kamu bersua dengan
dia, lekas-lekaslah menyimpang. Dia terlalu berbahaya bagimu."




Sangaji mengangguk. Mendadak ia diham-piri Ki Hajar Karangpandan, "Apa kau
bilang tadi?"


Pendeta edan itu terkejut, waktu Sangaji menyebut-nyebut
kakak-seperguruannya. Ia ingin minta keterangan dengan jelas.


"Panembahan Tirtomoyo dilukai orang itu." "Di mana dia sekarang?"


"Dia di penginapan. Semalam aku mencoba mencari ramuan obat yang
disembunyikan orang itu."


Mendengar keterangan Sangaji, Ki Hajar Karangpandan lantas saja melesat
mengepung Yuyu Rumpung. Ia tahu apa arti ramuan obat itu bagi
kakak-seperguruannya yang lagi menderita luka. Sudah barang tentu, Yuyu
Rumpung jadi keripuhan. Baru saja melawan Wirapati belum tentu dia bisa
menang, apalagi dikerubut dua orang. Itulah sebabnya, begitu ia mencoba
bergerak, Ki Hajar Karangpandan dan Wirapati sudah dapat
menjungkirbalikkan, sehingga mukanya jadi babak belur.


"Keluarkan obatnya!" bentak Ki Hajar Karangpandan.


Yuyu Rumpung sangat mendongkol terhadap Sangaji. Dendamnya terhadap si
bocah naik setinggi kuping. Dengan napas terengah-engah sambil melototi
Sangaji, ia menyahut, "Dia telah mencuri semua ramuan obatku. Mengapa
kalian hendak mengkerubutku yang tengah luka? Jika kalian ingin mencoba
kepandaian, tunggulah barang dua tiga bulan lagi. Nah, itulah namanya
pertandingan adil. Siapa yang mampus bukanlah soal penting."


Mendengar ujar Yuyu Rumpung, Wirapati dan Ki Hajar Karangpandan
mengundurkan diri. Sebagai seorang ksatria, mereka tak sudi berlawanan
dengan seseorang yang sedang menderita luka. Lagi pula, ramuan obat sudah
berada di tangan Sangaji.


"Baik! Kamu boleh lari ngacir. Tapi awas, jika kamu berani mengusik
bocahku, aku seorang tua takkan bakal melepaskanmu hidup-hidup. Biar kamu
berada di ujung langit, pasti akan kucari untuk memperhitungkan untung
rugi," ujar Ki Hajar Karangpandan.


Meskipun hatinya mau meledak direndahkan demikian rupa oleh Ki Hajar
Karangpandan mau tak mau Yuyu Rumpung terpaksa menelan bulat-bulat. Dengan
dada mendongkol ia mengundurkan diri. Dia sadar, tak bisa ungkulan melawan
mereka. Karena itu bagaimana dia berani mengumbar mulut. Tetapi diam-diam
ia berjanji akan mengadu kepandaian melawan mereka di kemudian hari.


"Bocah," kata Ki Hajar Karangpandan kepada Sangaji. "Kamu tadi bilang,
Panembahan Tirtomoyo berada di penginapan. Dapatkah kamu menunjukkan di
mana dia berada?"


Sangaji mengangguk, la hendak melangkah pergi, tiba-tiba mendengar
seseorang mene-gor, "Hm...! Bagaimana kalian sampai hati meninggalkan
jenazah sahabatmu?"


Mereka semua terkejut seperti tersengat lebah. Serentak mereka menoleh, dan
nampaklah seorang laki-laki tua berjalan tertatih-tatih memasuki lapangan.
Dia adalah Panembahan Tirtomoyo.


"Aki!" teriak Sangaji gembira. Lantas saja ia lari menghampiri sambil
mengeluarkan bungkus obatnya. "Inilah obatnya. Entah benar entah tidak. Aku
hanya mengambilnya dengan begitu saja..."


Panembahan Tirtomoyo menyambut Sangaji dengan gembira dan terharu. Bungkus
obat itu lalu dibukanya, la memeriksanya sebentar.


"Hm... meskipun bercampur aduk, tetapi semua yang kubutuhkan terdapat di sini."


Sangaji bergembira bukan kepalang sampai ia meloncat-loncat ke udara. Dasar
ia seorang pemuda yang polos dan sederhana. Apa yang terasa di dalam hati,
lantas saja dinyatakan


tanpa segan-segan.


"Eh... Hajar! Muridmu seorang laki-laki sejati," tegur Panembahan
Tirtomoyo. "Dia seorang jempolan, sampai-sampai aku nyaris terungkap dalam
jebakannya."


Ki Hajar Karangpandan terdiam. Tetapi ia segera sadar akan arti teguran
kakak-sepergu-ruannya. Dengan setulus hati ia membungkuk hormat kepada Jaga
Saradenta dan Wirapati.


"Tuan pendekar sekalian, terimalah hormatku setulus-tulusnya. Aku bangga
terhadap murid Tuan. Bahkan aku patut mengucapkan terima kasih pula. Hm,
seumpama tiada Tuan-tuan sekalian, apakah arti hidupku ini. Aku akan
dikutuk sejarah. Karena jasa Tuan sekalian, maka aku tak terlalu menderita
malu apabila kelak aku bertemu dengan arwah ayah murid Tuan. Tentang
muridku sendiri, tak usahlah dibicarakan. Juga bunyi tantanganku dua belas
tahun yang lalu. Di sini dan pada hari ini, aku menyatakan takluk."


Juga Saradenta dan Wirapati terkejut mendengar kata Ki Hajar Karangpandan.
Mereka tahu, mengapa pendeta itu mengakui takluk. Semata-mata, karena
muridnya mengecewakan hatinya. Mereka jadi bersyukur. Sebab dengan demikian
tidaklah sia-sia masa perantauannya selama dua belas tahun di daerah barat.
Tetapi Jaga Saradenta cepat-cepat berkata merendahkan diri.


"Eh—sang Pendeta! Biar bagaimanapun juga, kami belum puas, sebelum melihat
murid kami dan murid Tuan mengadu kepandaian. Alasan Tuan, mengaku kalah
belum meyakinkan kami sama sekali belum kami ketahui bagaimana tinggi
rendahnya ilmu murid Tuan."


"Tidak!" potong Ki Hajar Karangpandan. "Dengan ini benar-benar aku mengaku
kalah. Marilah kita berbicara sebagai laki-laki! Dan dengarkan bicaraku."


Mereka berbicara sambil berjalan menghampiri jenazah Wayan Suage. Sangaji
membimbing Panembahan Tirtomoyo yang berjalan bertatih-tatih sambil menelan
ramuan obat dengan ludahnya. Sekonyong-konyong ia melihat Titisari berdiri
tegak di tengah lapangan. Hatinya girang bukan main, sampai ia mau lari
menghampiri. Tetapi tatkala kakinya hendak bergerak, ia mendengar Ki Hajar
Karangpandan.


"Laki-laki seluruh dunia tahu semua, bahwa dirinya dihidupi alam bukan
semata-mata mencari makan-minum untuk memuaskan perut. Karena mereka sadar,
bahwa dirinya bukan termasuk golongan binatang atau iblis. Kewajiban mereka
sebagai darmanya sejati ialah, ikut serta memelihara kesejahteraan -jagat
sekuasa-kuasanya. Karena itu pula, mereka mengutamakan jiwa luhur di atas
segalanya," ia berhenti sebentar mengesankan. Meneruskan, "Tuan pendekar
sekalian berbicara atas dasar mengadu kepandaian? Cuh! Apakah arti ilmu
pengetahuan, jika tidak didasari sari-sari hati sejati. Hm...! Biarpun
andaikata, muridku memiliki ilmu setinggi langit, apakah artinya jika
dibandingkan dengan murid Tuan yang memiliki jiwa luhur dan watak-watak
ksatria sejati? Lihatlah, dia tahu menempatkan diri dan menempatkan
persoalan. Sewaktu dia terlepas dari pengawasan gurunya, ia sudah
kuketemukan berada di lapangan ini mempertaruhkan nyawa untuk ikut membela
orang lemah sekuasa-kuasanya."


"Sedangkan jika dibandingkan dengan para pendekar yang berkumpul di
Pekalongan, kepandaiannya sama sekali tak sebanding.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar