8.20.2019

@bende mataram@ Bagian 143

@bende mataram@
Bagian 143


"Hai!" Ki Hajar Karangpandan terkesiap. Tiba-tiba saja Wayan Suage
memeluknya erat-erat. Tubuhnya menggigil. Gugup Ki Hajar Karangpandan
menyambutnya. Tetapi dia masih saja bersangsi. Hal itu tiada mengherankan,
karena dia memperoleh kesan-kesan hebat pada hari itu. Dengan mata
kepalanya sendiri, ia menyaksikan sendiri bagaimana hutan tempat
bersembunyi Wayan Suage terbakar habis.


Wayan Suage dapat memaklumi. Ingin ia memberi keterangan mengapa dia bisa
selamat dan kini dapat pula berjumpa kembali. Tetapi keadaannya tak
mengijinkan. Pangeran Bumi Gede telah siap memberi aba-aba pasukannya agar
menyerbu berbareng. Tetapi bagaimanapun juga ia harus meyakinkan pendeta
itu. Maka sekonyong-konyong ia mundur dan menikam Ki Hajar Karangpandan
dengan tombaknya, sambil berseru, "Tuan Pendeta! Masih ingatkan Tuan,
kepandaian apakah yang kami miliki bersama? Bukankah ini tikaman khas
ajaran Bali?"


Ki Hajar Karangpandan terkejut. Gesit ia mundur, tetapi segera ia mengenal
gerakan-gerakan Wayan Suage. Dengan terharu ia berseru, "Oh... saudara
Wayan Suage. Bukankah engkau ayah Sanjaya? Meskipun jauh berkurang, aku pun
mengajarinya pula beberapa jurus ilmu tombak Bali yang kucuri waktu kalian
berkelahi melawan bangsat-bangsat Banyumas. Saudara Wayan Suage... ternyata
masih hidup."


Wayan Suage menarik serangannya. Ia tiada menanggapi ucapan Ki Hajar
Karangpandan. Dengan melemparkan pandang kepada barisan Pangeran Bumi Gede
ia berkata, "Tuan Pendeta! Di antara mereka terdapatlah musuhku yang
melarikan isteri dan anakku. Aku hanya minta tolong kepada Tuan Pendeta...
sampaikan sepatah kataku kepadanya. Kalau dia sudah berhasil membinasakan
aku, sekali-kali jangan ganggu anak sahabatku."


"Anak sahabatmu? Yang mana?" Ki Hajar Karangpandan heran.


Wayan Suage lantas saja meraih Sangaji yang berdiri tegak di samping Ki
Tunjungbiru. Katanya kemudian, "Inilah dia. Dia anak almarhum sahabatku
Made Tantre. Namanya Sangaji. Kepadanyalah aku menaruhkan seluruh harapanku."


"Eh!" Ki Hajar Karangpandan terkejut bercampur heran. Dengan menuding dia
berkata gemetaran, "Dia... dia... anak sahabatmu? Anak saudaraku Made
Tantre? Di ma-nakah kamu menemukan dia?"


"Kalau dikatakan menemukan, tidaklah kena. Semalam, aku berjumpa dengan tak
tersangka-sangka. Sekarang... hm... mati pun rasanya puas...."


"Eh—kau berkata apa?"


"Aku hendak mengadu nyawa. Aku ingin mati di hadapan anak-isteriku. Dengan
cara demikian aku akan menyampaikan kabar penghabisan kepada mereka, bahwa
selama itu aku tak pernah melupakan barang sebentar pun."


Tubuh Ki Hajar Karangpandan tiba-tiba menggigil. Suatu tanda bahwa ia
mempunyai kesan




hebat dalam dirinya. Sekilas pandang ia merenungi barisan Pangeran Bumi
Gede. Kemudian beralih kepada Ki Tunjungbiru.


"Otong pendekar busuk! Setengah abad yang lalu kita pernah mencoba-coba
mengadu kekuatan. Jahanam betul, kamu masih saja nampak awet muda. Nah hari
ini, marilah kita berlomba lagi mengadu kekuatan. Kita berdua sanggupkah
menghabiskan mereka? Mari kita atur begini. Siapa di antara kita yang bisa
membunuh mereka lebih banyak, dialah yang menang."


Ki Tunjungbiru tertawa gelak. Sahutnya, "Kau pendeta jahanam masih berani
juga menantangku. Aku ingin tahu, apa kamu masih seperkasa dahulu.
Jangan-jangan tulang-tulangmu sudah jadi reyot berkaratan...."


Kedua orang itu lantas saja tertawa terbahak-bahak. Sangaji heran melihat
kelakuan mereka. Tapi ketika teringat riwayat mereka berdua sewaktu Ki
Tunjungbiru membicarakan kisah pertengkarannya dengan Ki Hajar Karangpandan
dan dalam Perang Giyanti, diam-diam ia jadi tersenyum.


Tahulah dia, meskipun mereka berkesan ugal-ugalan namun berhati jantan, dan
berwatak kesatria sejati. Mereka berdua lantas saja lari berlomba menyerbu
pasukan Pangeran Bumi Gede. Dengan sekali bergerak, tiba-tiba mereka
melesat ke kiri dan ke kanan. Tahu-tahu empat orang prajurit Pangeran Bumi
Gede kena dipentalkan ke udara dan dilemparkan ke luar gelanggang
seolah-olah bola keranjang belaka. Empat orang prajurit itu lantas saja
terguling pingsan dengan tak setahunya sendiri pula.


Luar biasa hebat cara mereka berdua menggebrak musuh. Tatkala
prajurit-prajurit yang lain datang menyerbu hendak menuntut bela, mereka
berdua dengan tertawa terba-hak-bahak menggebu dengan pukulan-pukulan
dahsyat. Delapan prajurit sekaligus kena dilontarkan ke udara lagi. Sudah
barang tentu, rekan-rekan mereka jadi mundur ketakutan.


Kegemparan lantas saja terjadi. Seorang laki-laki berperawakan kurus
jangkung, berambut putih dan bermuka kusut tiba-tiba meloncat memasuki
gelanggang. Dengan menggapai semua pasukan yang beroyokan mengundurkan
diri, ia memberi aba-aba maju. Kemudian menghadang Ki Hajar Karangpandan
seraya membentak.


"Bedebah! Pendeta dari mana sampai keluyuran kemari? Apa sudah bosan hidup?"


Ki Hajar Karangpandan tidak menggubrisnya. Segera ia bergerak lincah hendak
menguji pemimpin prajurit itu. Dia menyangka pemimpin prajurit itu
paling-paling hanya pandai menggembala orang. Tak tahunya, dia sebenarnya
adalah Cocak Hijau pendekar dari Gresik yang berasal dari Sulawesi.
Begitulah— secepat kilat mereka telah mengadu tinju. Dahsyat akibatnya.
Bentrokan tangan mereka menerbitkan suara gemeretak. Dan masing-masing
tergetar mundur tiga langkah.


Ki Hajar Karangpandan terkejut dan heran sehingga ia berkata dalam hati,
hai! Kenapa di sini muncul seorang begini perkasa. Siapa dia?


Selagi Ki Hajar Karangpandan keheran-he-ranan, Cocak Hijau pun kaget bukan
kepalang. Dia selamanya seorang yang percaya penuh pada kekuatan diri
sendiri. Selama berada di Jawa Timur belum pernah ia menemukan tandingan
seimbang kecuali melawan Manyarsewu. Di luar dugaannya pada pagi hari itu
ia menemukan lawan berbahaya. Tetapi dia memang seorang yang berhati panas.
Begitu ia merasakan tenaga getaran musuh yang kuat, ia segera mengerahkan
tenaga tambahan.


Sebaliknya Ki Hajar Karangpandan bukan pula makanan empuk baginya. Dia
seorang pendekar yang sudah banyak makan garam.


Sekarang ia bergerak dengan hati-hati dan tak berani menyerang dengan
sembarangan. Dengan sabar ia melayani Cocak Hijau yang berdarah panas.


Di tempat lain Ki Tunjungbiru menghadapi Manyarsewu pendekar dari Ponorogo.
Manyarsewu




adalah rekan Cocak Hijau yang lebih berpikir dan bertindak hati-hati. Tak
berani dia berlaku ceroboh menghadapi lawan. Tetapi Ki Tunjungbiru seorang
pahlawan dari Banten yang pernah mengadu kekuatan melawan Ki Hajar
Karangpandan selama lima hari lima malam. Ia seorang pendekar sakti yang
pandai menguasai diri. Sehabis perang Banten, ia berkeliling
menyusup-nyusup tak pernah menampakkan diri di tengah percaturan hidup. Ini
adalah suatu latihan penguasaan diri yang bagus baginya. Di samping itu, ia
pernah menghisap getah pohon Dewadaru yang mempunyai tenaga sakti.
Bertahun-tahun tenaga sakti itu tersekap di dalam dirinya. Tenaganya makin
lama makin menjadi dahsyat, karena selama berkelana tak pernah melalaikan
latihan. Itulah sebabnya pula, begitu ia melihat lawannya yang bertempur
dengan sabar dan hati-hati, segera dia dapat mengimbangi. Pikirnya, aku
ingin tahu sampai berapa hari ia bertahan bertempur dengan cara begini.


Dengan demikian kedua orang itu telah menemukan lawannya yang seimbang.
Masing-masing tak berani lagi berlaku sembrono. Tenaga pukulannya makin
lama makin menjadi tajam dan menerbitkan kesiur angin.


"Otong!" tiba-tiba Ki Hajar Karangpandan berteriak nyaring. "Kamu pun
rupanya menumbuk batu. Hayo kita berlomba lagi, siapa di antara kita yang
bisa mengganyang lawan lebih dahulu."


Sehabis berkata demikian, ia bersuit panjang. Dan dengan disertai tertawa
berkakakan ia menyerang Cocak Hijau dahsyat. Gerak-gerakannya lantas
menjadi aneh. Nampaknya tak teratur karena berserabutan. Tetapi di luar
dugaan orang Cocak Hijau kena dimundurkan demikian gampang.


"Ih," Cocak Hijau berteriak terkejut. Cepat ia menarik semua lengannya dan
dilin-dungkan rapat di depan dadanya. Tetapi Ki Hajar Karangpandan seorang
pendekar yang sudah berpengalaman. Sebat luar biasa ia mendesak musuh dan
menurunkan tinjunya yang terkenal dahsyat mengarah pelipis. Cocak Hijau
kena ditipunya. Orang itu dengan gugup memalingkan muka. Tak tahunya, siku
Ki Hajar Karangpandan menyodok pinggang.


Cocak Hijau kaget bukan kepalang. Cepat ia menjejak tanah dan melompat
mundur dengan berjungkir-balik. Ketika kakinya telah berdiri tegak di atas
tanah, ia segera melolos senjata simpanannya berupa cempuling bercabang tiga.


Cocak Hijau sadar, kalau dia tak bisa menandingi pendeta itu dengan
bertangan kosong. Maka begitu ia memperoleh kesempatan, segera dia
menyerang kembali dengan jurus-jurus ajaran Bugis.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar