8.20.2019

@bende mataram@ Bagian 142

@bende mataram@
Bagian 142


"Ingat-ingatlah saja jumlahnya. Kelak kamu akan mengerti sendiri. Sekarang
tidak ada waktu lagi untuk menerangkan sejelas-jelasnya. Mari anakku,
tolong ikatkan tombakku ke lenganku. Biar bagaimana, aku tak menyerah
begitu saja terhadap mereka."


Setelah berkata demikian, Wayan Suage memasuki kamar dan menyambar sebilah
tombak yang sudah berkarat. Tombak itu segera diangsurkan kepada Sangaji.


"Carilah tali pengikat!" perintahnya. -


Mula-mula Sangaji tak mengerti maksud Wayan Suage. Tetapi ketika pandang
matanya melihat kain pembebat yang melibat perge-langan tangan, segera ia
dapat menebak maksudnya. Wayan Suage benar-benar telah mengambil keputusan
hendak mengadakan perlawanan dengan mengadu nyawa. Karena pergelangan
tangannya patah, maka ia hendak mengikatkan sebilah tombak pada lengannya.


Sebentar saja Sangaji telah menemukan tali pengikat dan segera bekerja
dengan tekun. Tangkai tombak ditempelkan pada sisi lengan, kemudian dengan
cekatan ia mengikatnya erat-erat.


"Anakku!" kata Wayan Suage dengan nada tegar. "Semasa mudaku, aku pandai
bermain tombak ajaran pulau Bali. Ayahmu pun mahir pula. Dahulu dengan
bekerjasama dengan ayahmu, aku pernah mengusir tujuh orang rombongan
Banyumas sekaligus. Sekarang meskipun aku hanya seorang—belum tentu akan
dirobohkan mereka dengan gampang."


Mendengar Wayan Suage mengisahkan pengalamannya dahulu dengan almarhum
ayahnya, hati Sangaji berdebar-debar. Ibunya tak pernah menceritakan
tentang ayahnya. Barangkali bermaksud agar dia tidak terganggu kedamaian
hatinya. Itulah sebabnya, tak mengherankan kalau ia ingin mengetahui dengan
penuh nafsu. Sayang, tatkala ia hendak minta kisah ayahnya lebih banyak
lagi, pasukan Pangeran Bumi Gede mulai memasuki halaman rumah-penginapan.


"Sangaji! Nuraini. Di sini kita terjepit. Mari kita mencari tempat yang
lebih luas!" kata Wayan Suage nyaring.


"Agaknya kita telah terkepung, Paman," sahut Sangaji. "Benarkah kita telah
terkepung?"


"Kudengar di belakang rumah suara berde-rapan," sambung Nuraini cemas.


"Ah!" tukas Wayan Suage. Kemudian ia tertawa mendongak. Dengan membusungkan
dada, lantas dia berkata, "Bagus! Mari anak-anak, kuajari bagaimana cara
menerobos kepungan lawan, agar di kemudian hari kalian tak gampang menyerah
tanpa perlawanan."


Setelah berkata demikian, dengan menjejak tanah ia melesat memasuki halaman
depan. Sangaji dan Nuraini mengikuti tak jauh di belakangnya.


Kemarin siang Sangaji sudah melihat kepandaian Nuraini menjatuhkan semua
lawan-lawannya. Karena itu ia percaya, kalau gadis itu akan bisa membawa
diri. Juga terhadap kemampuan Wayan Suage, Sangaji tidak sangsi lagi.
Bukankah sewaktu masih bernama Mustapa si tukang canang, dengan sekali
dapat berhasil mementalkan dua orang laki-laki yang mencoba-coba mengadu
nasib. Hanya kali ini, gerak-geriknya jauh lebih cekatan dan mantap. Di
dekat pintu pagar ia disambut oleh dua orang prajurit yang mem-bekal pedang
panjang. Tetapi dengan sekali gerakan, ia dapat mengemplang mereka berdua
sekaligus dan terpental bergulingan di atas tanah. Peristiwa semudah itu
membangunkan semangat tempur baginya.


Kepala pasukan yang datang mengepung rumah-penginapan adalah si gendut
Danu-winoto yang pernah dihajar Panembahan Tirtomoyo. Orang itu dengan
memaki-maki menghampiri Wayan Suage ketika melihat dua orang prajuritnya
luka parah. Dengan menggunakan penggada, lantas saja ia merangsak.
Tenaganya benar-benar hebat. Tiap geraknya menimbulkan kesiur angin. Tetapi
Wayan Suage tidak gentar. Maklumlah, dalam hatinya telah terjadi suatu
keputusan hendak mengadu nyawa. Setiap gerak-geriknya tiada ia ragu atau
bercemas hati. Itulah sebabnya, ia dapat bergerak dengan gesit. Meskipun
kakinya buntung, tiada mengurangi kesehatannya, la lantas menerjang si
gendut Danuwinoto. Diluar dugaannya sendiri, ia berhasil merobohkan si
gendut demikian gampang. Dengan sekali gerak, tombaknya yang telah
berkaratan telah menusuk paha lawannya. Si gendut Danuwinoto berteriak
seperti babi terjepit. Kemudian kabur dengan kaki terpincang-pincang.
Pasukannya lantas ikut berlomba-lomba melarikan diri.




Seperti seorang pendekar Wayan Suage berdiri tegap di depan rumah
penginapan. Hatinya lega dan tegar. Dengan menudingkan tombaknya, ia
berkata kepada Sangaji, "Mereka semua adalah sebangsa cecurut. Mari kita
mencari tempat yang agak luas. Tak lama lagi yang lain-lainnya akan datang
juga. Dan tiada guna, kita melarikan diri. Bagaimanapun juga tidak akan
mereka melepaskan kita. Hanya saja Sangaji dan kau Nuraini, apabila aku
tiada kuat bertahan lekaslah kalian melarikan diri. Tanjaklah bukit di
sebelah selatan itu! Di balik sana adalah dataran lembah. Jika tidak ada
halangan, dalam sepuluh hari kalian akan tiba di Desa Karangtinalang."


Waktu itu fajar hari telah tiba. Udara mulai cerah. Seleret sinar putih
kekuning-kuningan menjengukkan diri di ufuk timur. Angin pagi hari
menghembus sejuk dan melayang rendah. Sebenarnya hari akan melahirkan suatu
tirai kedamaian. Sayang keadaan sekitar rumah penginapan tidak demikian.
Bahkan sebentar saja seluruh penjuru Kota Pekalongan mulai disusupi berita
pertempuran. Penduduk lantas saja datang berbondong-bondong menuju ke
tempat pertempuran. Mereka seolah-olah sedang disuguhi suatu permainan
olahraga yang menarik.


Wayan Suage ternyata memilih tempat sewaktu dia membuka arena pertandingan
di Pekalongan. Pikirnya, aku mulai dari sini. Biarlah aku mati pula di
sini. Apa perlu aku menyesalkan nyawaku, karena bukankah aku telah bertemu
dengan anak-isteriku?


Tak lama kemudian pasukan Pangeran Bumi Gede telah datang lagi. Kali ini,
pen-dekar-pendekar sakti ikut pula mengiringkan Pangeran Bumi Gede.
Pangeran itu naik kuda. Dengan membawa tongkat ia memasuki gelanggang dan
berhenti sekira lima puluh langkah dari Wayan Suage.


Wayan Suage lantas saja berdiri tegak di tengah lapangan. Ia seperti
seorang dewa atau batu karang yang berkesan teguh dan angker. Pandangannya
tajam dan tidak beragu. Diam-diam, Sangaji kagum padanya. Pikirnya,
alangkah gagah dan perwira dia. Dia berkata pernah bertempur bahu-membahu
bersama ayah menggempur musuh. Apakah ayah segagah dia pula? Memikir
demikian, hatinya jadi berguncang.


Mendadak pada waktu itu muncullah dua orang laki-laki dari jurusan barat.
Salah seorang dari mereka mengenakan pakaian pendeta. Rambutnya dibiarkan
terurai panjang bagaikan seorang pahlawan zaman bahari. Melihat orang itu,
Wayan Suage nampak terkejut. Sekonyong-konyong ia lari menghampiri sambil
berseru nyaring, "Tuan Pendeta. Bukankah tuan Ki Hajar Karangpandan? Hari
ini kita berjumpa kembali!"


Sangaji kaget mendengar Wayan Suage menyebutkan nama itu. Baru saja ia
hendak mengamat-amati, mendadak saja matanya terpikat pada laki-laki yang
lain. Tanpa menunggu waktu lagi, segera dia pun lari menyongsong. Serunya
girang, "Aki! Ki Tunjungbiru! Mengapa Aki sampai datang pula ke sini?"


Kedua orang itu sesungguhnya Ki Hajar Karangpandan dan Ki Tunjungbiru.
Mereka adalah sahabat lama pada zaman Perang Giyanti. Pernah mereka
bertanding selama lima hari lima malam semata-mata berebut kehormatan diri.
Mereka sampai pula bersumpah tak akan kawin selama hidupnya untuk
menentukan kalah-menangnya. Tiba-tiba dengan tak terduga-duga mereka
bertemu di perbatasan Kota Pekalongan dan ber-sama-sama memasuki kota. Ki
Hajar Karang-pandan memang bertujuan ke Pekalongan hendak menyusul
muridnya. Sedangkan Ki Tunjungbiru dahulu pernah berjanji kepada Jaga
Saradenta dan Wirapati ke mana mereka pergi, apabila telah memperoleh kabar
tentang beradanya si iblis Pringgasakti. Agaknya dia telah memperoleh jejak
dan cepat-cepat mengikuti tanda-tanda arah perjalanan Jaga Saradenta dan
Wirapati seperti yang diatur dalam perjanjian mereka. Dengan mengikuti
tanda-tanda itu sampailah dia ke batas daerah Pekalongan. Dan pada suatu
hari dia bertemu dengan sahabat lamanya Ki Hajar Karang-pandan. Inilah
suatu pertemuan di luar dugaannya. Dan sekali lagi ia bertemu pula dengan
Sangaji. Meskipun beradanya Sangaji di Pekalongan tiada begitu




mengherankan hatinya mengingat tanda-tanda arah yang ditinggalkan Jaga
Saradenta dan Wirapati di sepanjang jalan, tetapi pertemuan itu sendiri
sangat mengejutkan. Maklumlah, ia melihat si anak sedang dikurung sepasukan
perajurit yang bersenjata lengkap. Ingin ia mendapat keterangan apa
sebab-musababnya dan di mana pula kedua gurunya berada. Namun pada saat
itu, ia mendengar suara Ki Hajar Karangpandan yang berkata sengit kepada
Wayan Suage. "Tuan berkata apa?"


Wayan Suage tahu, bahwa pendeta itu lupa padanya. Maklumlah, selama dua
belas tahun belum pernah berjumpa kembali biar sekalipun. Apa lagi keadaan
dirinya kini jauh berubah daripada dahulu. Perawakan tubuhnya tidaklah
sekekar dahulu. Raut mukanya penuh kisut dan kakinya buntung sebelah.


"Dua belas tahun yang lalu, bukankah Tuan pernah singgah di rumahku? Waktu
itu hujan turun sangat deras. Kebetulan sekali kami memasak ayam ikut
merayakan hari penobatan Sultan Hamengku Buwono H..."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar