8.19.2019

@bende mataram@ Bagian 141

@bende mataram@
Bagian 141


Titisari memekik kaget sambil melesat ke samping. Berkata menyesali, "Hai!
Bukankah kamu telah berjanji takkan menggangguku lagi?"


Sang Dewaresi tertawa.


"Biarlah kali ini aku mengingkari kebiasaanku," katanya.


"Kamu mengatakan, ucapan seorang laki-laki sejati seharga seribu gunung.
Manakah buktinya? Orang semacam kamu ini pantaskah kusujudi sebagai guru?"


Merah padam muka sang Dewaresi mendengar ujar Titisari. Tetapi ia bertekad
tak mau lagi menyia-nyiakan kesempatan bagus itu.


"Kamu boleh memaki diriku sepuas-puas hati, namun kamu tetap milikku.
Kecuali jika mau menyebutkan siapakah ayahmu..."


"Hm...," dengus Titisari. Ia menjelajahkan matanya hendak mencari
penglihatan yang lebih luas lagi. Mendadak tak jauh daripadanya berdirilah
sesosok bayangan. Itulah Abdulrasim pendekar dari Madura. Rupanya orang ini
pun masih berpenasaran pula karena maksudnya hendak mengetahui nama ayah
Titisari belum tercapai.


"Ya—Nona, aku menyokong ucapan sang Dewaresi," katanya. "Mau tak mau kamu
harus meluluskan permintaan kami. Karena bagaimanapun juga, takkan dapat
kamu kabur dengan begitu saja."


Meskipun mendongkol, Titisari terpaksa mengakui benarnya kata-kata itu.


"Baiklah! Aku akan memperkenalkan nama ayahku. Tetapi kalian yang harus
berkata, aku hanya akan menunjukkan tanda pengenal," katanya sambil
menghela napas.


"Bagus!" mereka berdua menyahut hampir berbareng.


Titisari kemudian bergerak mengarah ke dinding kadipaten. Sebentar ia
mendongakkan kepala, kemudian berkata, "Sekarang lihatlah dan tebaklah
dengan cepat! Ingin kutahu apakah kalian ini pantas untuk mengenal nama
ayahku."


Sehabis berkata demikian, tangannya kemudian berputar-putar ke udara.
Mendadak saja meninju udara. Sang Dewaresi menge-rinyitkan dahi. Terasa
angin tajam menyambar dirinya. Meskipun tidak kuat, tetapi baju luarnya
terkibar selintasan. Abdulrasim pun kaget tatkala mendengar kesiur angin.
Mau ia menduga tengah kena serangan rahasia. Tetapi ketika kesiur angin itu
tiada membawa tenaga, ia jadi heran.


"Nah, aku telah memperkenalkan nama ayahku. Kini terserah padamu belaka,
apakah kalian berdua pantas untuk mengenal nama ayahku," kata Titisari. Dan
setelah berkata demikian, cepat ia menjejak tanah dan melesat melompati
pagar dinding.


Sang Dewaresi terhenyak. Tanpa disadari ia bergumam, "Ah! Apakah benar dia
puteri... Tetapi masa dia dibiarkan sampai di sini? Atau ... ayahnya berada
pula tak jauh dari sini...? Ih, Urusan ini bisa jadi berantakan...."


"Apa kau bilang?" tungkas Abdulrasim dengan penuh nafsu.


"Hmm! Apakah engkau belum mengenal ilmu yang baru diperlihatkan tadi?"
"Ilmu apa?"


Sang Dewaresi tersenyum merendahkan.


"Ilmu meninju udara kosong. Di seluruh dunia ini hanya dia seorang yang
memiliki ilmu sakti itu."


"Dia siapa?" Abdulrasim kian tak mengerti. "Ayah gadis itu." "Siapa ayahnya?"


Dengan membalikkan badan, sang Dewaresi berjalan mengarah ke pendopo
kadipaten. Kemudian berkata, "Kuperingatkan kepadamu. Mulai sekarang jangan
sekali-kali kamu berani mengganggu sehelai rambutnya. Karena dia adalah
puteri Adipati Karimun Jawa Surengpati."


* * *




SETELAH MELOMPATI PAGAR DINDING— Titisari segera lari secepat-cepatnya, la
tahu, bahwa salah seorang di antara mereka bisa mengusiknya lagi pada
sembarang waktu. Tetapi ketika sekian lama tiada nampak bayangan orang,
hatinya jadi lega. Kini ia mulai tenang dan bisa berpikir kembali.
Teringatlah dia akan jerit Sangaji sewaktu dirinya masih terkepung
rapat-rapat. Karena ingatan itu, hatinya tiba-tiba saja menggigil.


Apakah dia dalam keadaan bahaya? pikirnya.


Ia menghentikan langkahnya. Tanpa mengingat keselamatan diri, segera ia
berbalik menuju ke kadipaten. Katanya di dalam hati, biar mereka
merajang-rajang aku hancur berserakan, apa yang kutakutkan? Aku harus
menolong Aji. Bagaimana pun akibatnya.


Sangaji sendiri waktu itu telah berada di rumah penginapan. Wayan Suage
sibuk membebat lukanya dan dengan memberi isyarat ia menyuruh Nuraini
berkemas-kemas.


Orang tua itu berduka bukan kepalang. Bagaimana tidak? Tiga belas tahun
lamanya, ia tak melupakan anak dan isterinya barang sebentar pun. la
merantau dari tempat ke tempat untuk mencari berita di mana mereka berada.
Ia enggan bekerja atau berusaha mencari nafkah penghidupan tertentu seperti
dahulu, karena kegembiraan hidupnya tiada. Mendadak di luar dugaannya
sendiri, ia dapat menemukan mereka dan bertemu kembali pula. Tetapi di luar
dugaannya pula, keadaan anak dan isterinya seperti kanak-kanak yang mimpi
menggenggam berlian sebesar ibu jari dan menjadi kecewa ketika bangun di
pagi hari.


Pada saat itu, ingin ia membunuh diri. Maklumlah, tiba-tiba saja di luar
kemauannya sendiri, hatinya menyanyikan lagu kebencian yang meluap-luap. Ia
benci mengutuk nasibnya. Ia benci dan mengutuk malapetaka yang menimpa
dirinya. Ia benci dan mengutuk perubahan hati isteri dan anaknya. Akhirnya
ia benci dan mengutuk pula dirinya sendiri. Gntung pada waktu gelombang
kedukaan dan kebencian menindih dirinya, ia menemukan suatu mustika baru
yang sangat berharga baginya. Yakni, Sangaji anak sahabatnya.


"Anakku," katanya berbisik sambil membebat pergelangan tangannya. "Di
sebelah selatan Karesidenan Pekalongan terletak sebuah desa aman damai.
Desa itu bernama Karangtinalang. Kamu harus pergi ke sana, anakku.
Menjenguk kampung halaman, rumahmu dan tempatmu dilahirkan. Di desa itu
kamu akan menemukan sebuah halaman luas. Dahulu berdiri sebuah rumah
panjang terbuat dari papan. Aku dan almarhum ayahmu-lah yang mendirikan.


Kini, rumah itu tidak ada lagi. Tetapi aku telah membangun sebuah rumah
baru di atas tanah itu. Meskipun tidak sementereng dahulu, tetapi cukuplah
sebagai bekal hidup tenteram. Jenguklah rumah itu!"


"Syukurlah kalau kamu sudi mendiami," ia berhenti mengesankan. Tiba-tiba
saja matanya merah berkaca-kaca. Meneruskan dengan suara parau. "Milikku
satu-satunya di dunia ini hanyalah engkau seorang kini. Bibimu dan
adik-angkatmu Sanjaya sudah jadi milik orang lain. Karena itu, rumah dan
pekarangan yang berada di desa Karangtinalang adalah milikmu seorang.
Dengan ini aku mewariskan pula kepadamu. Kelak, bila aku bertemu almarhum
ayahmu di alam baka—akan kusampaikan kabar—bagaimana aku dapat berjumpa
denganmu begini tiba-tiba dan tiada terduga sama sekali. Pasti ayahmu akan
bergembira dan memuji padaku."


Sampai di sini, tiba-tiba orang tua itu tersenyum bahagia, seolah-olah
telah terbayang keadaan hati sahabatnya yang telah pergi untuk
selama-lamanya tiga belas tahun yang lalu.




Sangaji seorang perasa dan berwatak sederhana. Melihat keadaan Wayan Suage,
ia jadi bergelisah luar biasa karena tak tahu apa yang harus dilakukan. Tak
berani ia memandang Wayan Suage lama-lama, pandangnya segera dialihkan
kepada Nuraini. Gadis ini pun membungkam mulutnya. Pikirannya sedang kalut.
Sanjaya yang sudah berhasil mencuri hatinya, tak pernah terlupakan barang
sebentar pun. Sebenarnya ingin ia berada di Pekalongan lebih lama lagi.
Tetapi ia tak berani membantah kehendak ayah-angkatnya.


"Nuraini!" Tiba-tiba Wayan Suage berkata kepadanya. "Kamu harus menyertai
Sangaji pulang ke kampung halamannya. Tunjukkan di mana rumahnya berdiri.
Sampaikan pula kepada kepala kampung, bahwa rumah dan pekaranganku itu
kuwariskan kepadanya."


Nuraini menghadap padanya. Pandang matanya menebak-nebak. Ia menyiratkan
pandang pula kepada Sangaji. Tatkala hendak memanggut, tiba-tiba matanya
berkilatan. Katanya dengan suara tertekan, "Bukankah kita berangkat pulang
ke kampung bersama-sama?"


Wayan Suage tersenyum pahit. Pandangnya tak terlepas daripadanya. Kemudian
dengan menahan napas, ia menjawab, "Tidak, anakku. Aku masih mempunyai
suatu urusan yang belum kuselesaikan."


"Ayah mau ke mana?" Nuraini terkejut.


Kembali Wayan Suage menahan napas. Kemudian ia duduk menghempaskan diri di
atas pembaringannya. Dengan pandang terharu ia membagi mata kepada Sangaji
dan Nuraini. Lama ia berdiam diri seolah-olah lagi menimbang-nimbang suatu
susunan kata-kata. Selagi mulutnya hendak berbicara, mendadak terdengarlah
suara gemuruh di jalan. Itulah suara derap langkah pengiringpengiring
Pangeran Bumi Gede yang sedang mencari padanya. Kaget ia menegakkan tubuh.
Sekonyong-konyong ia melompat me-nerkam pergelangan tangan Sangaji sambil
berkata mengeluh. "Ah, rupanya dewata tidak memberi kesempatan lebih lagi.
Alangkah kikir hidup ini. Mari anakku, aku ingin menyampaikan sesuatu hal
kepadamu."


Ia membawa Sangaji keluar kamar. Kemudian berkata dengan berbisik, "Anakku,
tak dapat aku berbicara berkepanjangan kepadamu, mengapa semuanya ini mesti
terjadi. Tetapi ingat-ingatlah pesanku ini. Sesampaimu di desa tempat kamu
dilahirkan, lekas-lekaslah berangkat ke tenggara. Di sana kamu akan melihat
sepetak hutan, dan suatu perkampungan baru. Dahulu hutan itu terbakar
habis. Kini tinggal sisa-sisanya belaka. Meskipun demikian bekas-bekas
kelebatannya belum juga hilang. Di sana kamu akan melihat sungai berlumpur
yang melingkari hutan itu. Carilah di antara tebingnya suatu penglihatan
penuh batu-batu. Turunlah ke bawah. Di dasar sungai itu, kamu akan
menemukan pusaka warisanmu. Dua buah jumlahnya. Kuwariskan kedua-duanya
pula kepadamu."


Sangaji pada saat itu seperti kehilangan dirinya sendiri. Maklumlah, dalam
waktu sesingkat itu, ia memperoleh kesan-kesan luar biasa yang mengejutkan
hatinya yang sederhana. Meskipun demikian—karena kesan kesungguhan Wayan
Suage—masih ia mampu berkata, "Pusaka apa itu?"


"Hm," dengus Wayan Suage. Ia melemparkan pandang ke arah jalan.
Pengiring-pe-ngiring Pangeran Bumi Gede mulai mengepung penginapan.
Sekaligus terjadilah suatu kegemparan. Baik pemilik rumah penginapan maupun
yang menginap jadi terbangun terkejut. Mereka lari berserabutan keluar
untuk mencari keterangan mengapa tiba-tiba rumah penginapan dikepung oleh
para penguasa pemerintah. Melihat keadaan demikian, Wayan Suage mengambil
keputusan cepat.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar