@bende mataram@
Bagian 128
Ruang itu lengang hening. Sangaji berjongkok sambil membelalakkan mata. Ia
tak melihat sesuatu, sehingga timbullah kecurigaannya, mau ia menduga,
kalau ia salah jalan. Maka cepat ia berdiri hendak berlalu.
Sekonyong-konyong ia mendengar rintih orang. "Siapa? Paman Mustapa?"
bisiknya. Orang yang merintih tidak mendengarkan tegur-sapanya. Rintihnya
kian naik dan sebentar kemudian berubah menjadi nada erangan. Khawatir,
kalau Sanjaya mungkin menganiaya Mustapa, maka ia menghampiri dengan
hati-hati. Sewaktu berada selangkah di depan orang itu, mendadak
terlihatlah sinar terang menembus gelap gedung. Terkejut ia mundur dan
memipit dinding sejadi-jadinya.
Sebentar saja, terdengarlah derap langkah mendekati pintu gedung. Kemudian
masukiah tiga orang mengiringkan seorang perempuan setengah umur. Dialah
ibu Sanjaya.
Sangaji heran melihat kedatangan ibu Sanjaya. "Mau apa dia menjenguk kamar
tahanan Mustapa?" la mencoba bertanya pada dirinya sendiri. Tetapi ia
benar-benar tak dapat menebak maksud ibu Sanjaya.
"Apakah mereka dikurung dalam gedung ini?" terdengar Ibu Sanjaya minta
keterangan pada ketiga pengiringnya.
"Ya," jawab ketiga pengiringnya hampir berbareng dengan takzim. "Sekarang
bebaskan mereka!" perintah Ibu Sanjaya.
Ketiga opsir itu terkejut. Mereka saling pandang. Nampak sekali mereka
berbimbang-bimbang.
"Kalian takut pada nDoromas Sanjaya? Jika Sanjaya bertanya mengapa mereka
kalian bebaskan, bilang kalau akulah yang memberi perintah," kata Ibu
Sanjaya dengan suara tetap.
Mendengar bunyi ucapan Ibu Sanjaya, mereka bertiga tiada alasan lagi untuk
beragu. Segera mereka masuk, mendadak nampaklah tiga orang penjaga
menggeletak di lantai. Yang dua tidak berkutik. Yang seorang lagi
mengerang-erang. Nampak sekali mukanya babak belur matang biru.
Ibu Sanjaya agaknya melihat nasib ketiga penjaga itu. Segera ia menghampiri
sambil meraba-raba urat nadi dan pernapasannya.
"Mereka kena pukul dan roboh tak sadarkan diri," katanya terharu. Kemudian
menghampiri yang mengerang sambil bertanya, "Mana mereka yang dikurung?"
Dua pengiring ibu Sanjaya lantas saja memeriksa kamar tahanan. Ternyata
Mustapa dan Nuraini tidak ada lagi. Segera mereka mendepak penjaga yang
mengerang-erang sambil membentak,
"Bangun! Kaudengar pertanyaan Raden Ayu?"
Penjaga yang mengerang kesakitan itu mendadak saja jadi sadar kena depakan
mereka. Matanya terbelalak. Begitu pandangnya melihat mereka, berusahalah
dia menguatkan diri. Tetapi nampaknya ia kesakitan benar-benar, sehingga
usahanya gagal. Maka dia hanya mencoba berbicara gagap, "Lari...! Lari...!"
Ketiga pengiring ibu Sanjaya rupanya ingin mengambil hati junjungannya.
Mereka bergerak mau mendepak si penjaga lagi agar mendapat keterangan lebih
jelas. Tetapi Ibu Sanjaya cepat-cepat menyanggah, "Dia sudah kesakitan.
Mengapa kalian tak mencoba menolong?"
Halus teguran Ibu Sanjaya, tetapi benar-benar mengenai telak perbendaharaan
hati, sehingga ketiga pengiringnya buru-buru memperbaiki sikap. Sekarang
mereka berebutan menolong si penjaga, meskipun hatinya enggan luar biasa.
"Bawalah mereka ke kamarku," perintah Ibu Sanjaya. Kemudian ia meninggalkan
gedung dengan kepala menunduk. Hatinya penuh sesal menyaksikan peristiwa
demikian. Tetapi ia tak berkata sepatah kata pun.
Perlahan-lahan Sangaji keluar dari dinding persembunyiannya, la bertambah
kagum kepada kemuliaan ibu Sanjaya. Karena rasa kagum, ia membayangkan
bentuk tubuh dan wajahnya. Mendadak saja, teringatlah dia kepada ibunya.
Rasa rindu setahunya membakar dirinya. Sudah berapa bulan dia meninggalkan
Jakarta! Ibu! Ibu pun berhati mulia seperti ibu Sanjaya, bisiknya pada diri
sendiri.
Sebentar saja ia telah berada di pekarangan. Karena bulan bersinar kian
terang, segera ia memipit dinding agar sedikit terlindung. Ia bermaksud
hendak mencari Titisari. Ingin membujuk si gadis agar tidak mengintip
pembicaraan orang berlarut-larut. Apa perlu? Bukankah ramuan obat telah
diperolehnya? Menolong nyawa Panembahan Tirtomoyo adalah yang terpenting.
Baru saja ia tiba di belakang gedung ibu Sanjaya, sekonyong-konyong
terasalah kesiur angin menyambar padanya. Secepat kilat ia mengelakkan
diri. Kini ia benar-benar bersiaga menghadapi segala kemungkinan. Maka
begitu melihat bayangan berkelebat menyerang padanya, segera dia memapaki
dengan jurus Jaga Saradenta. Tangan bayangan itu kena disambarnya.
"Auh!" rintih bayangan itu, lantas saja roboh di atas tanah.
Sangaji terkesiap. Sama sekali tak diduganya, bahwa ia bisa merobohkan
orang begitu gampang. Tatkala ia menajamkan mata, hatinya berdegupan.
Ternyata bayangan itu adalah Mustapa. Tadi siang, kedua pergelangan
tangannya kena dipatahkan Sanjaya dan belum pulih seperti sediakala. Itulah
sebabnya, begitu kena bentrok lantas saja kehilangan daya tahan.
"Paman Mustapa!" kata Sangaji setengah memekik. "Siapa kau?"
"Aku Sangaji. Akulah pemuda yang melawan si pemuda ningrat tadi siang..."
Mustapa berdiri tertegun. Tadi dia sudah berhasil melarikan diri bersama
Nuraini. Begitu tiba di luar pekarangan, segera ia menghantarkan puterinya
ke penginapan di mana mereka berdua menginap. Setelah itu ia balik kembali
ke kadipaten dengan maksud ingin mengintip ibu si pemuda ningrat. Semenjak
ia bertemu pandang dengan ibu Sanjaya, hatinya gelisah bukan main. la
menduga sesuatu dan hatinya takkan lega sebelum mendapat keyakinan.
Tiba di luar tembok kadipaten, cepat ia meloncati. Mendadak ia melihat
berkelebatan Sangaji. Karena terlalu bersikap waspada dan selalu bersiaga,
ia mengira Sangaji salah seorang penjaga. Dengan demikian, dua kali Sangaji
disangkanya sebagai seorang penjaga keamanan kadipaten. Karena itu, segera
ia melontarkan serangan sebelum kakinya menginjak tanah. Tapi kali ini,
Sangaji bukan makanan empuk baginya. Pemuda itu telah mendapat pengalaman
diserang orang dengan tiba-tiba. Secara wajar, ia kini selalu berwaspa-da
dan bersiaga.
"Mengapa kamu ada di sini?" tanya Mustapa tersekat-sekat. Terasa benar,
betapa terperanjat pula dia.
"Aku mencari obat. Panembahan Tirtomoyo dilukai orang di kadipaten. Secara
kebetulan aku melihat Paman dikurung si pemuda ningrat di dalam gedung itu.
Maka aku bermaksud menolong Paman."
Mustapa jadi terharu mendengar kata-kata Sangaji yang begitu sederhana.
"Mengapa kamu menaruh perhatian begini besar terhadapku?"
"Mengapa... Entahlah," sahut Sangaji, "Tetapi Paman bukan orang salah...
bukan pula
pesakitan. Mengapa mesti dikurung?... Paman, dengan tak sengaja aku
menyambar perge-langan tangan Paman yang terluka tadi siang. Biarlah
kubebatkan."
Sangaji lantas saja meraih tangan Mustapa. Dan entah mengapa, Mustapa
membiarkan si bocah berbuat sesuka hatinya.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar