@bende mataram@
Bagian 127
"Ah—jika ia masih saja bersikap galak, terpaksa aku mengadu kepandaian di
depan Tuan-tuan sekalian."
"Setan! Iblis!" maki Cocak Hijau. "Benar-benar kamu menantangku?"
Titisari tak mempedulikan. Tadi ia telah mengenal gerakan-gerakan tubuh
Cocak Hijau. Ia melihat orang itu kurang gesit. Karena itu ia mau mengadu
kecerdikan dan mempergunakan kelemahan lawan untuk dapat membebaskan diri.
"Tuan-tuan menjadi saksi, bagaimana dia memaksaku untuk mengadu kepandaian.
Karena Tuan-tuan sudah menjadi saksi, maka sekali lagi aku minta bantuan
Tuan-tuan agar menjadi saksi pula dalam tata mengadu kepandaian ini. Bila
nanti aku salah tangan sehingga melukainya, bukan aku bermaksud jahat
terhadapnya. Tetapi semata-mata karena terdesak belaka," katanya dingin.
Cocak Hijau adalah seorang pendekar dari Gresik yang dulu berasal dari
Sulawesi. Selama hidupnya, dia berkelana mengadu kepandaian dan selalu
menang. Namanya tenar dan disegani orang di seluruh Jawa Timur. Mendadak
saja, pada hari itu ia kena direndahkan demikian rupa oleh si gadis di
depan tetamu-tetamu undangan. Sudah barang tentu, darahnya meluap dan
dadanya bergetar seperti mau meledak. Mukanya merah padam dan sebentar
berubah menjadi pucat lesi, karena menahan deru amarah yang meluap-luap.
Sebaliknya mata Titisari nampak berkilat-kilat. Sama sekali ia tak gentar
menghadapi Cocak Hijau jago Jawa Timur yang sedang meluap, amarahnya.
Sesungguhnya, itulah yang diharapkan. Jika seorang terlalu mengumbar
amarahnya, ia akan kehilangan pengamatan diri. Tak jarang seorang jago
jatuh di bawah perlawanan seorang musuh lemah yang bisa menggunakan kecerdikan.
"Tuan-tuan! Aku mau bertanding mengadu kepandaian secara ksatria. Kalau dia
minta berkelahi secara kampungan, sudahlah—aku menyerah kalah. Bagaimana
menurut pendapat Tuan-tuan? Apakah dia kira-kira mau menerima perjanjian ini?"
"Hai! Hai! Hai?" damprat Cocak Hijau tergegap-gegap. "Kamu bicara melantur
tak keruan! Kauanggap apa aku ini? Perlihatkan kepandaianmu. Kalau aku
seorang tua tak dapat membuatmu puas, biar kutumbukkan kepalaku ini ke
dinding."
"Bagus!" sahut Titisari gembira. Kemudian tata-lagu nada suaranya beralih.
"Begini, kalau berkelahi secara kampungan, setiap orang bisa berbuat
begitu. Karena pokoknya asal menang. Tapi kemenangan begitu adalah murah.
Sebaliknya aku mengharapkan kemenangan sejati."
"Cepat bilang!" Cocak Hijau tak sabar lagi.
'Tenang Tuan, aku takkan minta padamu agar mengikat kedua kaki dan
tanganmu," sahut Titisari cepat. "Aku hanya minta kamu membawa minuman
keras. Lantas kejarlah aku! Tangkaplah aku! Seranglah aku semaumu! Kalau
minuman itu sampai tumpah, kau kalah. Nah,
cepat benturkan kepalamu ke dinding!"
Cocak Hijau kena terbakar hatinya. Maklumlah, dia bukan orang sembarangan.
Kini kena direndahkan demikian rupa. Demi menjaga kehormatan diri, maka
tanpa pikir lagi ia menyambar dua cawan dan diisi minuman keras penuh-penuh.
"Bagus!" puji Titisari, 'Itu namanya laki-laki sejati. Sekarang—marilah
kita adu kepandaian..."
Benar-benar Titisari seorang gadis cerdik. Dengan mengadu ketajaman lidah,
akhirnya ia bisa memaksa lawan untuk tunduk pada peraturan-peraturan
tata-berkelahi yang dikehendaki. Dengan demikian, kegarangan dan kebebasan
gerak Cocak Hijau bisa dikurangi. Mereka yang hadir adalah golongan
jago-jago dan pendekar-pendekar sakti. Melihat usia si gadis masih muda
belia dan Cocak Hijau yang sudah terkenal sebagai seorang pendekar sakti,
memang sudah sewajarnya apa bila si jago tua memberi keleluasaan padanya.
Tetapi kini mereka terkejut menyaksikan kegesitan si gadis di luar dugaan
orang.
Waktu itu Cocak Hijau mulai menyerang. Ia menggunakan kedua kakinya
berganti-ganti jika menyerang. Gerak-geriknya terbatas dan nampak sekali
bagaimana kedua cawan yang tergenggam dalam tangannya sangat mengganggu.
Langkahnya panjang dan bertenaga. Sebaliknya gerak-gerik Titisari ringan
tak bersuara. Kakinya lincah dan cekatan. Apa yang mengejutkan mereka ialah
cara dia bergerak menghindari serangan lawan. Tubuhnya tetap tegak. Kedua
kakinya pun berdiri kencang. Tetapi dengan menekan-nekankan ibu jari kaki,
ia melesat gesit seperti seekor ikan mengibaskan ekornya. Inilah suatu
gerakan indah yang sukar dipelajari orang. Bila guru si gadis bukan orang
sakti luar biasa, pastilah takkan bisa mewariskan kepandaian demikian hebat.
Makin lama serangan Cocak Hijau makin mengguntur. Kedua kakinya bergerak
cepat dan menerbitkan kesiur angin. Meskipun Titisari bebas mempergunakan
kaki dan tangannya, ia tak dapat bergerak lebih banyak daripada menangkis
dan menghindari. Bahkan daerah geraknya kian menjadi sempit.
Titisari tak gugup. Kini ia melesat mencari ruang gerak lebih lebar sambil
melepaskan serangan-serangan jari. Kadang-kadang ia nampak berusaha
membentur siku lawan, agar minuman keras yang berada dalam cawan kena
ditumpahkan.
"Bocah ini benar-enar hebat!" pikir Manyarsewu di luar gelanggang.
"Sebenarnya siapa gurunya? Melatih tata-gerak segesit itu, tidak gampang...
Tetapi, tak usah lama dia bakal kena dijatuhkan Cocak Hijau..."
Yuyu Rumpung yang menyaksikan perkelahian itu berpikir lain. la terganggu,
karena luka dalamnya. Mengingat luka dalamnya, sekaligus teringatlah dia
kepada Panembahan Tirtomoyo yang kena dilukai pula. Itulah sebabnya dengan
cepat dia bisa mendugaduga mengapa si gadis datang memasuki kadipaten.
"Ah! Pastilah dia datang bersama si pemuda tadi pagi mencuri obat untuk si
tua..."
Teringat akan laporan muridnya perkara si pencuri obat, ia jadi gelisah
sendiri. Ingin ia keluar dari ruang kadipaten dengan diam-diam, tetapi
kesempatan yang bagus belum nampak. Kalau ia meninggalkan gelanggang
pertarungan sebelum Cocak Hijau menjatuhkan si gadis, bukankah berarti
menghina kawan serikat? Maka mau tak mau ia menahan diri sebisa-bisanya...
Sangaji kala itu telah sadar kembali. Yang mula-mula diingatnya ialah
ramuan obat-obatan yang baru diambilnya. Ia menggapai sakunya. Bungkus
ramuan obat masih utuh. Hatinya jadi lega. Sekarang ia mencoba
mengingat-ingat siapa tadi yang membentur dirinya begitu tiba-tiba.
Bayangkan tadi begitu cepat geraknya. Tidak juga berniat jahat. Sekiranya
berniat jahat, mana bisa dia dibiarkan hidup. Bukankah tadi dia jatuh
pingsan kena benturannya. Mendapat pertimbangan itu, Sangaji lantas sibuk
menduga-duga. Pikirnya, kalau begitu, pasti dia bukan termasuk golongan
orang-orang yang berkumpul di kadipaten. Lantas siapa dia?"
Mendadak teringatlah dia, kalau bayangan tadi seperti membimbing seorang
perempuan. Mau ia menduga,—itulah Mustapa dan Nuraini. Baikiah kutengok
dia. Sekiranya benar-benar dia, syukurlah. Tetapi kalau bukan, bagaimana
aku akan membiarkan mereka terkurung dan terhina, pikirnya.
Memikir demikian lantas saja ia lari mengarah ke gedung tahanan. Ternyata
gedung itu dalam keadaan gelap gulita. CIntung ia pernah memasuki gedung
tersebut. Dengan demikian— sekalipun meraba-raba—sampailah dia ke tempat di
mana dia dengan Titisari mengintip permainan Sanjaya sebentar tadi.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar