@bende mataram@
Bagian 126
Serentak mereka menjawab, "Sama sekali tak kenal." "Jadi bukan sanak
keluarga Tuan-tuan sekalian?"
Mereka tidak menjawab. Sikap ini sudah cukup jelas bagi Cocak Hijau untuk
menentukan sikap. Maka dengan sekali menjejak tanah, tubuhnya lantas saja
melesat terbang. Tahu-tahu ia sudah
berada di depan Titisari.
'Tunggu Nona. Hari belum lagi terang tanah. Mari kita bersama-sama berjalan
menghirup udara sejuk...," kata Cocak Hijau. Terus ia mengulur tangan
kanannya hendak menangkap pergelangan. Tiba-tiba—serba luar biasa— berubah
gerakannya. Kini dengan kurangajar tangannya hendak menerkam dada Titisari.
Titisari kaget bukan main. Sebenarnya, ia bermaksud berpura-pura tidak
mengerti ilmu tata-berkelahi. Tetapi satu hal ia salah perhitungan. Cocak
Hijau bukan anak kemarin sore. Dengan sekali pandang, tahulah dia kalau
Titisari mengerti ilmu tata-berkelahi. Dengan sengaja pula, dia hendak
membongkar kedok si gadis dengan satu kali gerak saja. Yakni hendak
menerkam buah dada. Maka mau tak mau Titisari terpaksa membuka kedoknya.
Cepat luar biasa, ia menyentil pergelangan tangan Cocak Hijau. Inilah ilmu
khas milik si gadis yang mengejutkan Cocak Hijau pula. Pergelangan tangan
jago tua itu, ternyata tergetar oleh suatu tenaga dorong yang sangat tajam.
Gugup Cocak Hijau menarik tangannya. Dengan begitu loloslah dia dari
bahaya. Sebab waktu itu, Titisari akan melancarkan suatu serangan aneh
lagi. Diam-diam ia heran menyaksikan ilmu tata-berkelahi si gadis. Mereka
yang menyaksikan gerakan kilat itu, terkejut dan heran pula.
"Eh, Nona! Sebenarnya kau, siapa? Siapa pula gurumu?" Cocak Hijau mencoba
mencari keterangan.
Titisari berlagak bodoh. Ia seperti tak merasa melakukan pembelaan diri.
Sambil tertawa manis ia menyahut, "Kita menghirup udara sejuk di mana? Di
tepi laut atau di pinggir kota?"
Kembali Cocak Hijau terhenyak heran. Ia mengira, si gadis tak mendengar
kata-katanya. Tapi masa, kata-kata yang diucapkan keras pula tak mampu
menembus pende-ngaran si gadis. Maka ia mengulang.
"Sebenarnya kau siapa? Siapa pula gurumu? Kaudengar tidak pertanyaanku?"
Tapi Titisari tetap tertawa manis. Sama sekali tidak ada kesan, ia telah
melakukan sesuatu yang mengejutkan jago-jago tua yang berkumpul di ruang
kadipaten.
Manyarsewu yang berangasan tak sabar lagi. Lantas saja ia ikut menghampiri
sambil mendamprat, "Eh Nona! Masa Nona secantik kamu, bertelinga tebal?
Kaudengar tidak, kata-kata rekanku tadi?"
"O... apa dia sedang berbicara?" sahut Titisari seraya menaikkan tertawanya.
Manyarsewu menatap wajah si gadis. Mendadak saja ia seperti teringat
sesuatu. Dengan pandang heran, ia menoleh kepada Cocak Hijau sambil berkata
nyaring, "Cocak Hijau! Apa matamu yang sudah tua, kini mulai lamur?"
Mendengar tegoran Manyarsewu, Cocak Hijau tercengang. Berseru minta
penjelasan. "Apakah maksudmu?"
"Ah, benar-benar kaulamur," sahut Manyarsewu sambil tertawa berkakakkan.
"Bukankah dia yang menyamar tadi pagi menjadi seorang pemuda berpakaian kumal?"
Sekali lagi Cocak Hijau tercengang-cengang. Pandangannya tak berkedip
meng-amat-amati si gadis mulai dari ujung rambut sampai ke mata kaki,
kemudian dari mata kaki ke ujung rambut. Cepat sekali dia mengenal
perawakan tubuh Titisari. Lantas saja, hawa amarahnya meluap. Sambil
menuding Yuyu Rumpung, pandang matanya menentang lebar kepada Titisari.
"Kranjingan! Yuyu Rumpung, dialah manusianya yang mempermain-mainkan bocah
asuhanmu tadi pagi. Kauingat? Nah, biarlah kutolong membasuh coreng
mukamu!" bentaknya.
Mendengar seruan Cocak Hijau, mana bisa Yuyu Rumpung menerima budi orang.
Benar-benar ia terhina terang-terangan di depan Pangeran Bumi Gede. Segera
ia berdiri tegak dan hendak menyerbu ke halaman. Tetapi tubuhnya masih
bergemetaran, sehingga geraknya Jadi
sempoyongan. Insyaf akan keadaan tubuhnya yang belum sehat kembali dan
khawatir pula luka dalamnya akan membayakan nyawanya, maka mau tak mau ia
menahan diri. Meskipun demikian, nampak sekali betapa ia gusar hati, sampai
mukanya pucat lesi.
Dalam pada itu, Cocak Hijau sudah memperoleh pegangan. Ia tak ragu-ragu
lagi. Dengan mementang kedua tangannya, ia menubruk. Titisari cukup
berwaspada. Ia tahu, dirinya berada di dalam sarang harimau. Begitu melihat
serangan Cocak Hijau, terpaksa menjejak kaki membebaskan diri. Tetapi di
luar dugaan, Manyarsewu ikut pula menerjang. Rekan Cocak Hijau itu tak rela
membiarkan si gadis bisa bergerak leluasa. Teringat akan kemampuannya
mempermain-mainkan anakanak sang Dewaresi begitu mudah tadi pagi, ia
mengkhawatirkan bisa pula mempermain-mainkan Cocak Hijau. Kalau sampai
terjadi begitu, bukankah akan runtuh pamor rekannya. Maka ia segera
merintangi dan sekali bergerak tangannya sudah menyambar pergelangan tangan
sambil membentak. "Ha iblis! Kau mau ke mana?"
Titisari kaget bukan kepalang. Sama sekali tak diduganya, kalau Manyarsewu
bisa bergerak sehebat itu. Tahu-tahu pergelangan tangannya telah kena
terkam. Namun ia tak kekurangan akal. Cepat sekali otaknya yang cerdik
bekerja secara wajar. Dengan dua jari tangan kanan ia menotok gundu mata
Manyarsewu.
Heran! Hampir-hampir luput dari pengamatan bagaimana Manyarsewu menangkis,
mendadak saja pergelangan tangan kanan Titisari telah tertangkap erat.
"Ah begini macam," teriak Titisari kaget.
"Begini macam bagaimana?" Manyarsewu membalas bertanya. "Macam kampungan."
"Kampungan? Apa yang kampungan?" Manyarsewu heran.
"Kamu berdua sudah begini tua bangka. Mengapa main keroyokan pada seorang
gadis?
Sudah pantas aku menjadi cucumu, tapi heran kau masih bisa berlaku kurang
ajar. Apakah ini perlakuan seorang ksatria, menangkap pergelangan tangan
seorang gadis di depan umum? Apakah ini bukan kampungan?"
Manyarsewu benar-benar terperanjat. Memang, umurnya sudah bukan muda lagi.
Kecuali itu, dia seorang sakti yang terkenal di seluruh daerah Jawa Timur.
Kalau untuk menangkap seorang gadis sebelia Titisari dengan cara
mengkerubut, rasanya memang kurang jantan. Mau tak mau ia melepaskan
pergelangan tangan si gadis sambil membentak seram,
"Masuk ke dalam...!"
Tak dapat Titisari membantah perintah Manyarsewu. Terpaksa ia menurut dan
masuk ke ruang kadipaten dengan langkah perlahan.
"Manyarsewu!" kata Cocak Hijau. "Jangan berkecil hati. Aku salah seorang
sahabatmu yang lahir di Makasar. Perkara sopan-santun tata pergaulan di
Jawa, apa peduliku? Biar nanti kucacati tubuhnya. Dia mau apa?"
Setelah berkata demikian, Cocak Hijau terus saja melangkah menghampiri
Titisari hendak membuktikan ucapannya. Tetapi Manyarsewu menyanggah.
"Jangan terburu-nafsu! Tanyakan dahulu, siapakah guru dan ayah-bundanya!
Lantas siapa pula yang memberi perintah dia sampai berani mengintip
pembicaraan kita."
Cocak Hijau tak mendengarkan saran dan sanggahan Manyarsewu. Hatinya masih
mendongkol, karena tadi ia kena dipermain-mainkan Titisari. Dua kali
berturut-turut serangannya kena dielakkan dengan mudah. Pikirnya, kalau dia
sampai bisa lari, mana dapat aku mengejarnya. Gerak-geriknya benar-benar
gesit....
Lantas saja tangannya menyambar hendak menggaplok. Tetapi Titisari mengelak
cepat. Dengan begitu, tiga kali berturut-turut ia selalu membentur udara
kosong.
"Hm—kau mau mengadu kepandaian?" tantang Titisari setengah mengejek. "Kalau
mau adu kepandaian, bilang dong!"
"Apa kau bilang? Kau menantang aku?" bentak Cocak Hijau.
Tapi Titisari tak mengindahkan. Pandangnya melayang kepada orang-orang,
kemudian berkata seperti mengadu.
'Tuan-tuan, aku tak pernah bermusuhan dengan dia. Jika dia bersikap garang,
bagaimana nanti jadinya kalau tanganku sampai kena melukai dia?"
Bukan main gusar hati Cocak Hijau. Cepat ia melangkah maju sambil
memiringkan kepala seolah-olah tak percaya pada pendengarannya sendiri.
"Kau bilang apa? Kau bilang, aku akan bisa kaulukai?" dampratnya.
Kembali Titisari bersikap dingin seakan-akan tak mengambil pusing. Ia
berkata lagi kepada mereka yang hadir.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar