@bende mataram@
Bagian 125
Tetapi Sangaji tidak dapat menahan sabar lagi. Begitu ia melihat si pegawai
istana menerima ramuan obat, segera disambarnya dan dimasukkan ke dalam
saku. Orang itu tak mampu berkutik. Meskipun demikian, ia cerdik.
Pikirannya lantas saja bekerja.
Dengan sedikit membungkuk ia mempersilakan Sangaji berjalan mendahului
bersama si pemuda berpakaian putih. Dia sendiri memperlambat langkahnya.
Tatkala si pemuda berpakaian putih dan Sangaji sudah berada di luar kamar,
sekonyong-konyong ia meng-gabrukkan daun pintu sambil memadamkan obor.
Pintu dengan cepat dikuncinya, lantas mulutnya bekerja.
"Awas! Maling! Maling!"
Si pemuda berpakaian putih, ternyata bukan seorang pemuda goblok. Memang
dia murid Yuyu Rumpung. Begitu mendengar teriak si pegawai istana, ia
terkejut dan heran. Secepat kilat ia berputar dan menubruk Sangaji.
Sangaji sendiri kurang berwaspada. Ia terkejut dan mendongkol mendengar
teriakan si pegawai istana. Dalam gusarnya ia menjadi terburu nafsu.
Serentak ia berputar dan menubruk daun pintu. Dengan sepenuh tenaga ia
menghajar pintu. Hebat akibatnya. Daun pintu tergempur sampai somplak.
Penuh sengit ia menyerang si pegawai istana dan melampiaskan kegusarannya
seperti banjir membobol bendungan. Si pegawai istana kena gempurannya dan
roboh terpelanting tak berkutik lagi. Tetapi selagi ia mengumbar amarahnya,
si pemuda berpakaian putih sudah berhasil merampas bungkusan ramuan obat
dan dilemparkan asal terlempar saja.
Rasa dongkol Sangaji kian memuncak. Dengan mata berkilat-kilat ia berputar
menyambar si pemuda berpakaian putih. Tetapi si pemuda berpakaian putih,
ternyata licin. Begitu berhasil merampas bungkusan ramuan obat, ia segera
melarikan diri. Sudah barang tentu Sangaji tidak membiarkan dia bisa
melarikan diri seenaknya. Tubuhnya lan-tas saja melesat mengejarnya.
Si pemuda berpakaian putih mendengar ke siur angin. Gugup ia mengendapkan
tubuhnya sambil memutar diri. Kemudian menyerang dengan sapuan kaki.
Sangaji bertambah mendongkol, la menyerang lebih sengit. Dua kali ia
berhasil menggaplok muka si pemuda. Tapi si pemuda ternyata bandel. Masih
saja dia berusaha menghindarkan diri sambil memberondong pukulan.
Terpaksalah Sangaji melepaskan jurus ajaran Jaga Saradenta. Si pemuda kena
disampok dan dipukulnya sampai terpental berjumpalitan. Ternyata ia roboh
pingsan tak ingat batang hidungnya.
Segera Sangaji kembali memasuki kamar. Dengan meraba-raba ia mengumpulkan
ramuan obat menurut ingatannya sewaktu si pemuda berpakaian putih mengambil
beberapa jenis ramuan. Tatkala kakinya menyentuh tubuh si pegawai istana
yang masih saja tak berkutik, darahnya meluap lagi. Dengan hati masih
gregeten, ia mendupaknya keras hingga bergulingan. Hatinya jadi puas.
Segera ia bekerja. Tapi kini, ia jadi kebingungan.
"Eh... yang mana tadi?" ia mencoba mengingat-ingat. Karena sadar akan
bahaya, ia segera mengambil keputusan cepat. Pikirnya, biar Aki sendiri
nanti yang memilih jenis ramuannya. Sekarang kuambil semuanya saja...
Memikir demikian, ia mengantongi semua ramuan obat yang tadi berada di
depan si pemuda berpakaian putih. Setelah itu, cepat-cepat ia keluar kamar.
Mendadak saja, selagi ia berada di luar sesosok bayangan berkelebat
menubruk padanya. Belum lagi ia sadar apakah yang harus dilakukan,
kepalanya kena gempur, la terpelanting ke belakang dan tengkuknya
menghantam tiang dinding. Seketika itu juga, matanya berkunang-kunang.
Napasnya sesak dan tubuhnya sekonyong-konyong menjadi lemas tak berdaya. Ia
jatuh pingsan...
Bayangan yang memukulnya tidak memperhatikannya. Dengan menggenggam
perge-langan tangan seorang perempuan, bayangan itu terus melesat pergi.
Ternyata bayangan itu— Mustapa yang sedang melarikan diri dari kurungan. Ia
berhasil membohongi penjaga. Dengan dalih minta dibebaskan dari kurungan
karena hendak berbicara dengan Sanjaya, ia dapat menghampiri penjaga dan
memukulnya sampai pingsan. Kemudian dengan membimbing Nuraini, ia segera
melarikan diri. Mendadak saja selagi melintasi gedung tempat penyimpan
obat-obatan terpapaslah dia dengan Sangaji. Mengira, kalau Sangaji adalah
pula salah seorang penjaga yang sedang beronda, tanpa berpikir lagi lantas
saja mengayunkan bogem mentahnya. Sangaji yang sama sekali tidak menduga
buruk, kena dipukulnya rebah. Setelah itu ia melompat dinding kadipaten dan
lenyap di tengah malam.
Dan pada saat itu, si pemuda berpakaian putih telah pulih kesadarannya.
Sekeliling dirinya gelap pekat. Mengira, bahwa si maling sudah kabur segera
ia menguatkan diri. Lantas larilah dia memasuki gedung pertemuan menghadap
Yuyu Rumpung.
Titisari terkejut mendengar kata-kata aduan si pemuda berpakaian putih.
Tanpa berpikir panjang lagi, segera ia menjejak atap gedung dan meloncat
turun ke tanah. Gerak-geriknya gesit dan cekatan. Meskipun ia melompat dari
tempat tinggi, namun tidak menimbulkan suara. Tetapi mereka yang berada di
dalam gedung pertemuan bukan orang-orang sem-barangan. Begitu ia nampak
berkelebat, Cocak Hijau tiba-tiba saja telah menghadang di depannya. Segera
menegor, "Siapa kau?"
Titisari sadar akan bahaya. Ia tahu, di dalam kabupaten terdapat
orang-orang sakti. Orang yang menghadang padanya bukan orang-orang sakti.
Orang yang menghadang padanya bukan pula orang picisan. Karena itu ia harus
mencari akal untuk dapat membebaskan diri. Sekonyong-konyong ia tersenyum,
kemudian tertawa manis.
"Sudah larut malam begini, masih saja pada berbicara. Apa yang mereka
bicarakan?" sahutnya berlagak menjadi salah seorang anggota keluarga tetamu
undangan. Akal ini ternyata mempan. Cocak Hijau berbimbang-bimbang. Tanpa
berkedip ia merenungi si gadis. Kepalanya sibuk menebak-nebak dan
menduga-duga. Lama ia berdiri terhenyak. Kemudian berkata agak lunak.
"Mengapa kau berada di sini?"
"Apakah ada yang aneh? Fajar hari bukankah hampir tiba? Kudengar tadi
kentung subuh bertalu di kejauhan."
Karena perhatiannya tadi terpusat pada tutur-kata Pangeran Bumi Gede, tak
dapat Cocak Hijau mengingat-ingat apakah kentung subuh benar-benar sudah
berlalu. Tanpa disadari ia menengadah melihat udara, seakan-akan lagi
bertanya kepada alam apakah benar-benar waktu fajar hampir tiba.
Di ambang pintu orang-orang berkumpul berjubel mengawasi mereka berdua.
Titisari mempergunakan kesempatan itu, untuk berlalu. Tenang-tenang ia
berputar mengung-kurkan para tetamu dan berjalan dengan langkah pelahan.
"Paduka Pangeran Bumi Gede!" Cocak Hijau berteriak, "Apakah Nona ini
termasuk salah seorang anggota keluarga paduka?"
"Bukan," jawab Pangeran Bumi Gede sambil menggeleng kepala.
"Hm," geram Cocak Hijau. Kecurigaannya timbul sampai ke benak. Masih dia
mencoba mencari keyakinan dengan melontarkan pertanyaan nyaring kepada
tetamu-tetamu undangan lainnya. "Apakah Tuan-tuan yang " hadir pernah
mengenal Nona itu?"
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar