@bende mataram@
Bagian 124
Sampai di sini, Pangeran Bumi Gede berhenti bercerita. Dengan mata
berkilat-kilat ia mencari kesan. Orang-orang terdiam seperti tersekap. Sang
Dewaresi yang bisa berpikir lantas saja dapat menebak maksud Pangeran Bumi
Gede. Diam-diam ia memuji kecerdikannya.
"Tanah Jawa adalah milikku, pesan Pangeran Semono kepada Mapatih Lawa
Hijau," kata Pangeran Bumi Gede mengesankan. "Orang tak berhak
memperebutkan. Orang tak berhak pula saling berebut. Hanya kepada
barangsiapa yang dapat mewarisi ketiga pusaka tanah Jawa, dialah yang
berhak memiliki tanah Jawa sebagai ahli waris. Tahukah Tuan-tuan, di
manakah ketiga pusaka kini berada?"
Mendengar pertanyaan itu, orang-orang mulai sadar. Lapat-lapat mereka mulai
bisa menebak maksud Pangeran Bumi Gede. Masing-masing berpikir dalam hati,
ah, kiranya dia mengundang orang-orang tertentu untuk diajaknya mencari
jejak ketiga pusaka yang telah diciumnya... Tetapi apakah ketiga pusaka itu
benar- benar ada di dunia ini?
Pangeran Bumi Gede berkata lagi, "Dengan ketiga pusaka itu, sejarah
membuktikan kalau Sutawijaya bisa menumbangkan Arya Penangsang. Dengan
ketiga pusaka itulah, mendadak saja Sutawijaya bisa mempunyai pribadi kuat,
sehingga orang-orang rela bersujud dan mengabdi padanya. Dengan ketiga
pusaka itulah, dia berhasil menjadi pendiri kerajaan Mataram yang tak
terkalahkan. Sebagai orang yang berbakti kepada leluhur, kerajaannya yang
baru dinamakan Mataram: mengambil alih nama kerajaan Jawa pada zaman dahulu."
"Ketiga pusaka itu kemudian diwariskan kepada Sultan Agung yang kelak
menjadi salah seorang raja yang angker dan keramat. Sayang—pada pertengahan
usia—mendadak saja ketiga pusaka itu hilang dari istana. Orang mengabarkan,
kalau ketiga pusaka itu dicuri bupati Madura. Ada pula yang mengatakan,
ketiga pusaka itu jatuh ke tangan Belanda. Seorang bupati istana yang lagi
bangkrut, berhasil mencurinya dan dijual kepada Gubernur Jendral Yan
Pieters Zoon Coen. Benar tidaknya, siapakah yang dapat menerangkan. Tapi
menilik gelagatnya, mirip juga. Bukankah Sultan Agung bisa dikalahkan oleh
Gubernur Jendral itu di medan perang Jawa Barat?"
"Bintang istana kerajaan Jawa lantas saja menjadi pudar. Terbitlah
kekacauan di mana-mana. Mula-mula pemberontakan Trunojoyo. Lantas peristiwa
Pangeran Puger. Dia mendirikan kerajaan baru, Kartasura namanya. Lantas
pemberontakan Tionghoa. Belum genap tiga turunan, pecahlah suatu persaingan
baru. Kerajaan Yogyakarta berdiri bagaikan matahari kembar. Kini—kedua
kerajaan itu— menghadapi perpecahan Mangkunegoro. Dan di Yogyakarta...
tahukah Tuan-tuan sepak-ter-jang Pangeran Notokusumo? Semuanya itu... ya
semuanya itu, tidak akan terjadi, apabila salah seorang daripada raja-raja
yang bertahta memiliki ketiga pusaka Pangeran Semono pemilik kerajaan Tanah
Jawa."
Mendengar kata-kata Pangeran Bumi Gede, sang Dewaresi yang bisa berpikir
benar-benar kagum akan kecerdikan dan kelicikannya. Titisari yang berada di
atas atap diam-diam ikut pula memuji. Pikirnya, hebat Pangeran ini! Dengan
menitikberatkan pembicaraan pada kekeramatan ketiga pusaka sakti Pangeran
Semono, orang-orang sudah bisa diajak mengambil kesimpulan, bahwa raja-raja
yang bertahta di Surakarta dan Yogyakarta adalah tidak syah. Tanpa
menyinggung persoalannya, lantas saja dan bisa menganjurkan bahwa segala
bentuk pemberontakan melawan raja adalah syah. Benar-benar mengagumkan!
Jika kelak timbul pemberontakan-pemberontakan liar, bukankah dia bisa
memboncengkan kepentingan diri?"
"Tuan-tuan yang hadir di sini adalah golongan pejuang-pejuang keadilan.
Semuanya akan bersedia mengorbankan kepentingan diri demi menuntut
keadilan. Karena itu dengan tak segan-segan kami mengemukakan persoalan ini
kepada Tuan-tuan sekalian," kata Pangeran Bumi Gede dengan pandang
berkilat-kilat. "Perkenankan kami bertanya kepada Tuan-tuan, apabila negara
terus berada dalam kekacauan, siapakah yang akan menjadi korban utama?
Bukankah rakyat jelata yang tak tahu apa arti negara dan pemerintahan?"
Tak setahunya sendiri, orang-orang mengangguk.
"Karena rakyat kini hidup miskin dan terombang-ambing oleh nafsu hati
perseorangan, bukankah tidak ada jalan lain kecuali mengundang Tuan-tuan
sekalian yang dilahirkan oleh alam sebagai tokoh-tokoh pejuang penegak
keadilan?"
"Kami bukan golongan yang memimpin tahta kerajaan di siang hari bolong.
Jika ada kesan demikian, sebenarnya adalah jalaran dari suatu perjuangan
mencari dasar-dasar landasan penegak keadilan. Tuan-tuan yang hadir bukan
orang-orang sembarangan yang bisa diperkuda tanpa alasan tertentu. Tetapi
Tuan-tuan adalah golongan warga-negara yang bisa diajak berbicara dan
berpikir. Kini rakyat Tuan-tuan mengalami pancaroba. Kini negara dalam
keadaan goyah. Karena soko-guru sejati tidak ada yang sedang berkuasa. Bila
Tuan-tuan meragukan keterangan kami ini, nah pergilah menghadap raja.
Tanyakan, mana ketiga pusaka tanah Jawa. Jika dia menjawab tidak ada,
tanyakan juga, mengapa dia lantas saja duduk di atas tahta kerajaan
seolah-olah ahli waris yang syah? Harus Tuan-tuan ketahui, bahwa Sultan
Hamengku Buwono 11 pada waktu ini berusaha mengangkat diri menjadi penguasa
tunggal. Semuanya yang tidak mendengar kata hatinya, disingkirkan. Anehnya,
mengapa dia mendengarkan tiap-tiap kata isteri-isterinya? Kalau perempuan
sudah mulai ikut berbicara dalam tata-pemerintahan, apakah yang dapat
disumbangkan?"
"Sultan Hamengku Buwono II sedang berusaha mengembalikan tata pemerintahan
seperti pada zaman Panembahan Senopati atau Sultan Agung. Mana bisa dia
berbuat begitu? Kita semua akan dibentuk menjadi kawula Jawa Sejati,
sedangkan dia tidak memiliki pusaka Tanah Jawa..."
"Pangeran Bumi Gede!" tiba-tiba Manyarsewu memotong. "Tak peduli siapa yang
menjadi raja, tetapi apakah ketiga pusaka Tanah Jawa itu benar-benar pernah
ada di dunia ini?"
"Di sini hadir pula yang mulia sang Dewaresi dan Tuan Pendekar Yuyu
Rumpung. Sepuluh— dua belas tahun yang lalu, kami pernah mendengar kabar,
kalau sang Dewaresi pernah berhasil merampas ketiga pusaka Tanah Jawa itu
dari Cirebon dan kemudian membawanya pulang. Tetapi, kami mendengar kabar
kalau ketiga pusaka itu hilang di tengah jalan."
Mendengar keterangan Pangeran Bumi Gede, semua yang hadir mengarah kepada
sang Dewaresi. Pandang mata mereka lantas saja menjadi tegang. Setengah
dari mereka mulai berpikir, ini hebat! Kalau sang Dewaresi benar-benar
mengangkangi ketiga pusaka Tanah Jawa itu, apakah Pangeran Bumi Gede
bermaksud mengajak kita beramai-ramai mengkerubut? Belum lagi mereka
mendapat ketegasan, sang Dewaresi nampak berdiri dengan sikap garang. Ia
melemparkan pandang tajam kepada Pangeran Bumi Gede. Kemudian berkata,
"Kata-kata Paduka sepatah pun tidak ada yang salah. Memang benar, pusaka Tanah
Jawa itu pernah kami miliki... dan hilang dirampas orang. Kebetulan sekali
selama dua hari di sini, kami pernah melihat ilmu tata-berkelahi putera
paduka. Tata-berkelahi itu mengingatkan kami kepada ketiga pusaka Tanah
Jawa. Perkenankan kami bertanya, di manakah itu pendeta gila Hajar Karang
-pandan?"
Semua orang yang mendengar ucapan sang Dewaresi jadi keheranan. Untuk
kesekian kalinya, mereka dipaksa sibuk menduga-duga. Tatkala Pangeran Bumi
Gede hendak menjawab, sekonyong-konyong masuklah seorang laki-laki
berpakaian serba putih. Dialah salah seorang anggota Banyumas yang
diperintah Yuyu Rumpung mengantarkan si pegawai Pangeran Bumi Gede
mengambil ramuan obat.
Orang itu pucat lesi! Pipinya bengkak biru. Dengan napas terengah-engah ia
menghadap Yuyu Rumpung, "Ma... ma... ma... maling! Awas... maling!"
SANGAJI yang mengikuti si pegawai Pangeran Bumi Gede dan si pemuda
berpakaian putih untuk mengambil ramuan obat, kala itu telah meninggalkan
gedung pertemuan. Jalan di halaman kadipaten ternyata berlika-liku.
Penerangan tidak ada pula, sehingga ia harus mendekati si pegawai tak lebih
dari selangkah. Ia meniru cara kerja Titisari. Dihunuslah belatinya dan
diancamkan ke punggung si pegawai, karena khawatir dipermainkan.
Si pemuda berpakaian putih yang berjalan di depan telah sampai di sebuah
kamar tempat penyimpan obat-obatan. Ia mendorong pintu kamar, kemudian
memasuki sambil menyalakan obor. Ternyata di dalam kamar itu penuh dengan
obat-obatan yang nampak berserakan di atas meja. Sangaji segera
menyarungkan belatinya. Kini ia melayangkan pandang ke seluruh ruang kamar.
Botol dan guci-guci tempat penyimpan obat berdiri berleret-leret pula di
sepanjang dinding.
"Hm—pantas di Pekalongan tidak ada obat-obatan lagi. Jahanam-jahanam itu
benar-benar telah menguras habis semua obat-obatan yang berada di dalam kota."
Si pemuda berpakaian putih rupanya mengerti perkara jenis ramuan obat. la
me-nyontak lima macam ramuan obat-obatan dan kemudian diberikan kepada si
pegawai istana setelah membungkusnya rapih.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar