@bende mataram@
Bagian 122
Tentang permusuhan antara Sultan Hadiwijaya dan Arya Penangsang, sudah lama
ia mengenal dari tutur-kata sejarah. Ayahnya sering memperbincangkan
keperkasaan Arya Penangsang dengan kuda hitamnya bernama Gagakrimang. Kedua
tokoh itu memiliki keis-timewaan-keistimewaannya sendiri. Kerapkali mereka
bentrok dan saling berbenturan. Masing-masing memiliki pusaka sakti. Pusaka
Arya Penangsang berwujud sebilah tombak bernama Kyai Pleret.
Arya Penangsang pernah mencoba membunuh Sultan Hadiwijaya dengan keris
Setan Kobar, tetapi gagal. Keris
Setan Kobar yang pernah menghisap darah Sunan Prawoto, Pangeran Hadiri dan
beberapa tokoh kerajaan Bintara, ternyata tak mampu membunuh Sultan
Hadiwijaya. Sebaliknya, sudah semenjak lama Sultan Hadiwijaya berusaha
menyingkirkan lawannya dari percaturan dunia. Osaha inipun sia-sia belaka.
Andaikata tombak Kyai Pleret benar-benar merupakan senjata mutlak pemusnah
kesaktian Arya Penangsang, mestinya Sultan Hadiwijaya sudah lama
menyingkirkan lawannya. Mengapa mesti menunggu lahirnya seorang pemuda
bernama Sutawijaya? Mengapa Sutawijaya akhirnya berhasil membunuh Arya
Penangsang dengan tombak itu? Sesungguhnya, peristiwa tersebut merupakan
teka-teki besar. Dengan diketengahkan persoalan itu oleh Pangeran Bumi
Gede, lantas saja jadi menarik hati.
"Tuan-tuan!" kata Pangeran Bumi Gede lagi. "Pernahkah Tuan-tuan mendengar
dongeng pertemuan ajaib antara Sutawijaya dengan seorang aneh pada malam
hari men-jelang pertempuran yang menentukan? Sudah tentu dongeng ini tidak
pernah tertulis dalam sejarah. Sebab baik si penulis sejarah, maupun
Sutawijaya sendiri merahasiakan peristiwa pertemuan itu sebagai sesuatu hal
yang dirahasiakan demi keselamatan negara.
Orang-orang menegakkan kepala dengan berdiam diri. Mereka menajamkan
pendengaran dan berusaha duduk tenang-tenang, agar tidak mengganggu
pengucapan Pangeran Bumi Gede. Itulah sebabnya ruang kadipaten jadi
sunyi-tegang. Titisari yang berada di atas mengendapkan diri. Hati-hati ia
menguasai pernapasannya agar bebas dari pengamatan pendengaran mereka.
Maklum, sedikit ia berkutik pastilah mereka akan mengetahui kehadirannya
ditengah kesunyian demikian.
"Malam menjelang pertempuran yang menentukan itu, diam-diam Sutawijaya
keluar dari perkemahan." Pangeran Bumi Gede mulai bercerita. "Ia bermaksud
hendak minggat. Ya— bagaimana dia mampu melawan kesaktian Arya Penangsang?
Sedangkan para wali sendiri tidak ada yang berani menyanggupkan diri.
Ketika itu, bulan tidak ada di langit. Malam jadi gelap-gulita. Mendadak
saja, dia dihampiri oleh sesosok bayangan serba hitam. Perawakan bayangan
itu, tinggi besar. Tegap perkasa dan tangguh. Ia memberikan tiga buah
pusaka dengan berdiam diri. Kemudian membisiki sesuatu. Apakah yang
dibisikkan, tidak ada seorang pun yang pernah hidup di dunia ini mengetahui
bunyinya. Saat Sutawijaya bertanya siapakah dia—bayangan itu menjawab, "Aku
adalah Semono." Bayangan itu lantas melesat dan lenyap begitu saja seperti
tertelan kabut."
"Semono?" Mereka berteriak hampir berbareng. "Ya—Semono."
"Siapakah Semono itu?" Manyarsewu mendesak dengan bernafsu.
Pangeran Bumi Gede menaikkan pundak sambil menjawab, "Bagaimana aku harus
meneruskan? Orang yang hidup sezaman dengan Sutawijaya, tak mampu pula
mengabarkan. Di kemudian hari orang hanya mengenal nama Semono itu sebagai
Pangeran Ganggeng atau Pangeran Semono, karena tahta kerajaannya berada di
negara Mono. Tetapi Pangeran Semono hidup pada zaman ribuan tahun yang
lalu. Meskipun demikian orang tidak menyangsikan."
"Kenapa?"
"Karena ketiga pusaka yang diberikan kepada Sutawijaya itu cukup menjadi
saksi." "Pusaka apakah itu?" Manyarsewu kian bernafsu.
"Yang sebuah berwujud jaring, bernama, Jaka Korowelang. Yang kedua sebuah
bende.
Kelak terkenal dengan nama Bende Mataram. Dan yang ketiga sebilah keris,
bernama Tunggulmanik. Dengan bersenjata ketiga buah pusaka itulah,
Sutawijaya bisa merajai seluruh kepulauan Nusantara. Kelak ketiga pusaka
itu diberikan kepada cucunya—Sultan Agung. Tapi
sayang, pada pertengahan usia Sultan Agung, mendadak saja ketiga pusaka itu
musna tak keruan beradanya."
Orang-orang yang mendengar kisah itu jadi ikut kecewa dan menyesali.
"Tentang asal mula ketiga pusaka itu dan nama Semono, pernah kudengar
dongengnya." Pangeran Bumi Gede meneruskan. "Begini, ribuan tahun yang lalu
hiduplah seorang pangeran bernama Jayakusuma. Dia adalah adik kandung
seorang raja yang memerintah negeri Jawa Timur. Sebagai seorang pangeran,
dia berkewajiban meng-hadap raja sekali seminggu. Ini suatu tanda, bahwa
dia tetap berbakti terhadap raja dan negara. Mula-mula kewajiban itu
dipenuhi. Tetapi kemudian terjadilah suatu perubahan. Sudah hampir satu
tahun lamanya, dia mangkir. Raja jadi keheran-heranan. Segera dikirimlah
suatu utusan untuk menyelidiki. Ternyata Pangeran Jayakusuma sakit hati
terhadap raja.
"Apakah yang menyebabkan Paduka sakit hati?' utusan raja minta penjelasan.
'Apakah Raja kurang menaruh perhatian terhadap Paduka?'
Mula-mula Pangeran Jayakusuma enggan menceritakan. Tetapi setelah didesak
berulang kali, akhirnya dia menerangkan sebab-musababnya. Sudah semenjak
lama dia menaruh cinta kepada bibinya sendiri bernama Endang Retno Dyan
Sulasniwati. Cintanya berbalas juga. Hanya sayang, puteri itu adalah
bibinya sendiri. Baik dia jadi bersedih hati. Kesedihan hatinya memuncak,
ketika bibinya itu dipinang oleh putera Bhatara Loano—Sang Anden Loano.
Kakaknya meluluskan. Dan semenjak itu Endang Retno Dyan Sulasniwati
dikawinkan dengan Anden Loano dan dibawa pulang ke negeri Loano. Karena
sakit hati, Pangeran Jayakusuma mencari alasan untuk menyesali sikap
kakaknya. Ia mencari kegemaran lain sebagai perintang hati. Pada suatu hari
ia men-dapat seekor burung gemak dan semenjak itu, sibuklah dia memelihara
burungnya. Itulah sebabnya, tak dapat lagi ia memenuhi kewajiban.
Demikianlah!—ketika penjelasan Pangeran Jayakusuma dihadapkan kepada raja,
segera ia dipanggil. Raja merasa diri terhina. Masa harga seorang raja jauh
lebih rendah daripada seekor burung gemak. Pangeran Jayakusuma berkata,
kalau burung gemaknya itu bukanlah sembarang burung. Pernah suatu kali
diadu bertanding melawan seekor harimau. Harimau . itu mati dipatuknya.
Raja kian marah. Dengan serta merta, ia menjatuhkan hukuman. Ketika
mendengar penjelasan lagi tentang pekerti Pangeran Jayakusuma yang menaruh
hati kepada bibinya, kemarahan raja tak terkendalikan lagi. Pangeran
Jayakusuma diusir dari negeri.
Dengan membawa burung gemaknya, Pangeran Jayakusuma meninggalkan negeri.
Adiknya perempuan bernama Dewi Kusuma-ningsih yang amat kasih padanya, ikut
menyertai ke mana perginya. Demikianlah, maka mereka berdua merantau tanpa
tujuan. Sepanjang jalan mereka bertapa agar mendapat kesaktian-kesaktian
ajaib. Mereka berhasil pula menciptakan berbagai ragam tata-berkelahi. Dan
sebagai sendi pencaharian hidupnya, Pangeran Jayakusuma memper-sabungkan
burung gemaknya yang tak terkalahkan.
Pada suatu hari sampailah mereka di sebelah selatan Bukit Jambu. Hari
sangatlah terik dan sudah beberapa hari mereka tak melihat dusun dan
pedesaan. Makan dan minumnya jadi tak teratur. Bagi Pangeran Jayakusuma,
penderitaan itu tidak mengusik hatinya. Maklumlah, dia sadar akan arti
ke-pergiannya. Sebaliknya bagi Dewi Kusumaningsih, benar-benar merupakan
siksaan lahir batin.
Karena menanggung haus tak tertahankan lagi, Dewi Kusumaningsih jatuh
tersimpuh di atas bumi, Pangeran Jayakusuma segera melesat hendak berusaha
menemukan sebuah dusun. Tetapi usahanya sia-sia belaka. Dengan bersusah
hati, kembalilah dia mendapatkan adiknya. Kemudian—untung-untungan—ia
mencabut keris pusakanya bernama Panubiru dan ditancapkan ke tanah. Tatkala
ditarik, sekonyong-konyong menyemburlah sebuah mata air menanjak tinggi ke
udara. Oleh rasa terharu, ia meloncat-loncat gembira, sambil berseru "Dewi!
Dewi! Hidup! Hidup!"
Adiknya segera diteguki air, lantas dia sendiri. Alangkah segar dan nikmat.
Karena besarnya rasa terima kasih, ia lantas berkata, "Adikku! Apabila
dikemudian hari tempat ini menjadi sebuah dusun atau desa, aku mem: berinya
nama, Banyu Urip."
Demikianlah—semenjak itu berdirilah sebuah desa bernama Banyu Grip.
Pangeran Jayakusuma sendiri bermukim di bawah rindang lima batang pohon
jati. Kelak diberi nama, Jati Pandowo.
Pada suatu hari ia mendengar kabar, bahwa tempat beradanya bibinya—Endang
Retno Dyan Sulasniwati—tak jauh dari padepokannya. Bibinya ternyata masih
setia padanya. Meskipun ia telah dikawin sang perwira Anden Loano, tetap
saja ia menolak untuk hidup sebagai suami-isteri. Berita itu sudah barang
tentu menggembirakan dan mengharukan Pangeran Jayakusuma. Segera ia mau
berangkat menjenguk ke Loano. Sayang, adiknya—Dewi Kusumaningsih—selalu
saja ingin menyertai. Maka dicarilah akal untuk membebaskan diri. Ia
menemui seorang sakti bernama Kyai Manguyu. Ditantangnya bersabung dengan
pertaruhan adiknya perempuan. Kyai Manguyu menyanggupi, dengan kesaktiannya
ia mencipta seekor burung gemak dari palu besi. Sebaliknya, Pangeran
Jayakusuma tidak bersungguh-sungguh hendak mencari kemenangan. Dalam hati
ia berdoa, mudah-mudahan burung gemaknya dapat dikalahkan. Dengan demikian
ia akan menyerahkan adik perempuannya dengan terhormat.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar