@bende mataram@
Bagian 121
MELIHAT SIKAP PANGERAN BOMI GEDE YANG sungguh-sungguh, semua yang hadir
jadi tegang. Titisari yang berada di atas atap ikut tegang pula. Rahasia
apakah yang hendak dibeberkan Pangeran Bumi Gede?
"Hari ini tanggal 26 Juli tahun 1804 Masehi," Pangeran Bumi Gede mulai,
"Kami dan Tuan-tuan sekalian hidup dalam masa kerajaan yang terpecah
menjadi dua. Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta. Tak usahlah kami berbicara
panjang lebar, adanya dua kerajaan itu menjadi sumber pertengkaran
terus-menerus tiada hentinya sampai akhir zaman. Tuan-tuan pun pasti
mengetahui juga apa sebabnya. Karena di dunia ini tidak ada dua matahari
muncul bersama di angkasa. Bila ada, yang satu harus lenyap. Bagaimana
pendapat Tuan-tuan sekalian?"
Mereka yang hadir adalah sebangsa jagoan tukang-tukang pukul. Tak bisa
mereka berpikir yang bukan-bukan. Karena itu mereka membungkam seribu
bahasa. Hanya sang Dewaresi seorang yang tak dapat menebak ke mana arah
tujuan Pangeran Bumi Gede. Meskipun demikian, belum berani dia membuka
suara karena persoalan belum jelas.
"Sejarah zaman dahulu sudah memberi contoh berulang kali," kata Pangeran
Bumi Gede lagi. "Tatkala kerajaan Erlangga terpecah menjadi dua kerajaan,
Jenggala dan Daha— maka dunia melahirkan seorang tokoh bernama Ken Arok.
Dia mendirikan kerajaan tunggal bernama Singasari. Ketika timbul lagi suatu
persaingan—Jayakatwang—datanglah sang Wijaya menumbangkan dan merombak apa
yang sudah usang. Berdirilah kerajaan Majapahit yang aman sentosa. Dan
tatkala Majapahit ditandingi oleh sebuah kerajaan Islam:—Bintara, muncullah
Sultan Hadiwijaya yang membangun kerajaan baru bernama Pajang. Begitulah
sejarah sudah berkata kepada Tuan-tuan sekalian—bahwasanya di dalam satu
negara takkan mungkin diperintah oleh dua orang raja. Bahwasanya matahari
yang tersembul di angkasa adalah tunggal tiada tandingannya. Inilah hukum
alam."
Tiba-tiba Manyarsewu yang berangasan berteriak. "Apakah Pangeran Bumi Gede
mengumpulkan kami semua agar kami membantu paduka menggempur dua kerajaan
Surakarta dan Yogyakarta? Meskipun kami bukan sebangsa cecurut yang takut
mati, tapi rasanya kami semua akan mengecewakan harapan paduka. Apakah arti
kami ini bila dibandingkan dengan pahlawan-pahlawan dua kerajaan yang tak
terhitung jumlahnya? Jangan lagi paduka berharap bisa membangun negara baru
bersandarkan tenaga kami semua, mencoba menggempur salah sebuah kerajaan
itu pun takkan becus. Sebab kami ini bukan golongan serdadu yang pandai
mengatur siasat dan memimpin pasukan. Lainlah halnya, kalau paduka hanya
mengharapkan tenaga kami untuk menggarong atau merampok."
Mendengar teriakan Manyarsewu yang berbicara tanpa pembungkus, mau tak mau
mereka tertawa gelak, meskipun banyak di antaranya tidak menyetujui.
Pangeran Bumi Gede bersikap tenang. Ia seolah-olah telah menduga akan
mendapatkan teguran demikian. Dengan senyum ia berkata seraya membungkuk.
"Ah! Mana berani kami me-mimpikan membangun sebuah kerajaan baru di siang
hari bolong? Lagipula, apakah benar Tuan-tuan yang hadir ini bangsa
perampok dan penggarong?"
Sekali pun kata-kata Pangeran Bumi Gede diucapkan dengan nada halus,
tajamnya tak kurang dari tajam sebilah belati. Seketika itu juga, rasa
harga diri yang lain bangun serentak. Tak mau mereka digolongkan sebangsa
perampok atau penggarong. Itulah sebabnya, pandang mereka lantas saja
melototi si sembrono, Manyarsewu.
Tetapi Pangeran Bumi Gede segera mengambil sikap bijaksana. Dengan meneguk
cawan minuman keras, ia berkata, "Tuan-tuan! Marilah kita kuras habis
minuman yang telah disediakan tuan rumah. Apabila Tuan-tuan setuju, kami
akan meneruskan berbicara."
"Berbicaralah! Berbicaralah!" terdengar suara anjuran serentak.
Mata Pangeran Bumi Gede berkilat-kilat. Yakinlah dia, bahwa semua yang
hadir ada pada pihaknya. Asal saja dia bisa membawa diri tak usah diragukan
hasilnya. Tenaga mereka bisa diharapkan sepenuh-penuhnya. Maka dengan
hati-hati ia berkata, "Tuan-tuan, maafkan kami apabila ada kesan kata-kata
kami seolah-olah kami hendak memimpikan membangun sebuah kerajaan baru.
Sebenarnya bukan itu maksud kami."
"Berbicaralah sebebas-bebas Paduka!" teriak Cocak Hijau, "Tadi Paduka
hendak membeberkan rahasia penting mengenai negara. Nah, kami belum mendengar."
Pangeran Bumi Gede tersenyum. Kemudian mulai, "Dua ratus lima puluh tahun
yang lalu, lahirlah seorang perwira muda bernama Sutawijaya. Konon
dikabarkan, dia adalah anak Lembu Peteng, Sultan Hadiwijaya yang dipungut
sebagai anak-angkat Ki Ageng Pemanahan. Dia seorang manusia lumrah yang tak
beda sekelumit pun dengan kita semua. Hanya saja, di kemudian hari dialah
pendiri kerajaan Mataram. Lantas saja dia terkenal dengan gelar Panembahan
Senopati. Seluruh dunia memuji kegagahannya. Sepak terjangnya mengagumkan.
Apa yang dijangkau tak pernah gagal. Bintangnya terus menanjak dan menanjak
amat cerah. Tuan-tuan, inilah soal yang hendak kami ke-mukakan."
"Apakah dia mempunyai rahasia besar yang patut kita bicarakan?" kata
Manyarsewu memotong.
"Tergantung kepada cara berpikir Tuan-tuan sekalian," jawab Pangeran Bumi
Gede cepat. "Baiklah kami kemukakan beberapa soak Seperti kata sejarah
sendiri, dia mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tak guna. Penakut dan
keperempuan-perempuan. Ketika dia dipilih menjadi jago kerajaan Pajang
untuk memusnahkan Arya Penangsang, sekujur badannya gemetaran. Bahkan
dikabarkan, dia sampai menangis. Tetapi karena anjuran Ki Ageng
Pemanahan, tugas itu dilakukan juga. Demikianlah, maka dia memperoleh
hadiah sebatang tombak sakti bernama Kyai Pleret. Dan dengan Kyai Pleret
itulah, dia berhasil membunuh Arya Penangsang yang sakti dan tangguh.
Tuan-tuan, itulah tataran mula-mula dia dikenal sejarah. Dia dilantik
menjadi hamba kerajaan dengan gelar Raden Ngabehi Lor ing Pasar. Kemudian
bersahabat dengan putera mahkota Pangeran Benowo. Berontak melawan Sultan
Hadiwijaya dan akhirnya berhasil mendirikan kerajaan Mataram yang tak
terkalahkan. Tuan-tuan, apakah Tuan-tuan tak merasakan sesuatu yang ganjil?"
"Ganjil?" mereka mengulang sepatah kata itu hampir berbareng. Kemudian
mereka saling memandang dengan kepala menebak-nebak.
"Ya—ganjil! Benar-benar ganjil!" Pangeran Bumi Gede menguatkan. Kemudian
memberi keterangan, "Marilah kita periksa lagi lebih cermat! Sutawijaya
mula-mula dikenal sebagai seorang pemuda tiada guna. Menurut pantas, jangan
lagi dia. Sekalipun Sultan Hadiwijaya sendiri takkan ungkulan bertanding
melawan Arya Penangsang. Mengapa si bocah ingusan mendadak bisa menang perang?"
"Menurut sejarah, Arya Penangsang mati berdiri kena tusuk tombak Kyai
Pleret!" sahut Manyarsewu.
"Benar. Tetapi apakah tumbangnya Arya Penangsang karena semata-mata oleh
tuahnya tombak Kyai Pleret? Apabila tombak Kyai Pleret benar-benar dapat
mengatasi ketangguhan Arya Penangsang, mengapa Sultan Hadiwijaya tidak
turun tangan sendiri? Baiklah, andaikata Sultan Hadiwijaya emoh turun
tangan sendiri berhubung dengan kedudukannya, pastilah orang-orang sakti di
Pajang bisa diminta bantuannya meminjam tenaga."
Persoalan ini belum pernah terlintas dalam benak mereka, sehingga mereka
jadi terhenyak. Lantas saja mereka sibuk menduga-duga hendak mengungkap
teka-teki itu. Akhirnya Cocak Hijau berkata nyaring. "Barangkali Sutawijaya
adalah satu-satunya orang sakti kala itu."
"Heh—Cocak Hijau! Bukankah tadi sudah dikatakan, kalau Sutawijaya adalah
seorang pemuda yang mula-mula dikenal tidak memiliki suatu keistimewaan
sedikit pun?" damprat Manyarsewu. "Dia seorang pemuda tak berguna, kaudengar?"
Didamprat demikian, Cocak Hijau jadi kelabakan. Segera ia berpaling kepada
Pangeran Bumi Gede. kemudian berkata, "Baiklah, mari kita akui, bahwa
Sutawijaya seorang sakti. Tetapi apakah Sultan Hadi-wijaya yang terkenal
dengan nama Jaka Tingkir di waktu mudanya, kurang sakti? Seperti Tuan-tuan
ketahui, dia pernah ditusuk keris Setan Kobar. Tetapi baru saja, ujung
keris Setan Kobar hendak menyentuh tubuhnya, mendadak saja si penusuk jatuh
terkapar di tanah. Apakah Ki Ageng Pemanahan kurang sakti? Apakah Ki
Jurumartani kurang sakti? Mereka adalah tokoh-tokoh sakti pada zaman itu.
Sebaliknya kesaktian Arya Penangsang sesungguhnya tidak terlawan. Bahkan
mertuanya, Sunan Kudus segan pula kepadanya," ia berhenti mengesankan.
"Tuan-tuan yang hadir di sini, bukan pula orang-orang sembarangan. Taruh
kata, Tuan-tuan hidup pada zaman itu. Kemudian salah seorang di antara
Tuan-tuan kami beri tombak Kyai Pleret, sebagai senjata pamungkas, melawan
Arya Penangsang. Sudahkah Tuan-tuan akan bisa menang? Apakah tombak Kyai
Pleret sudah bisa dibuat pegangan teguh? Tuan-tuan minta bantuan seratus
ribu prajurit? Baiklah, kami berikan. Tetapi... andaikata hancurnya Arya
Penangsang bisa ditentukan oleh jumlah prajurit, tentulah Sultan Hadiwijaya
sudah pula mengambil tindakan demikian."
Orang-orang jadi tegang. Mereka dipaksa berpikir keras. Titisari yang
berada di atas atap, ikut pula mencoba memecahkan teka-teki itu.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar