Good morning awesome Leaders ☕
Bacaan menarik pagi ini : ....
3 Pelajaran Bisnis dari Kasus Kejatuhan NET TV
Menyusul rumor tentang PHK karyawan NET TV, akhirnya manajemen Net mengakui
memang ada proses efisiensi jumlah karyawan. Para karyawan secara sukarela
diminta untuk mengundurkan diri demi perampingan organisasi.
Penyebabnya jelas : kinerja bisnis dan keuangan Net TV masih mengecewakan.
Bahkan sejak tahun lalu lalu, penyandang dana Indika Group resmi mundur
alias pecah kongsi dengan pengelola Net TV.
Net TV didirikan oleh Wishnutama, figur brilian dalam industri televisi,
yang dulu juga sempat membuat TransTV berjaya dengan aneka programnya yang
memukau.
Mungkin karena ingin lebih bebas menyuarakan idealisme dan visi-nya,
Wishnutama memilih mundur dari TransGroup, dan kemudian mendirikan sendiri
stasiun televisi dengan nama NET TV. Penyandang dananya adalah Indika Group
yang menyediakan dana hingga triliunan rupiah.
Namun setelah berjalan lebih dari enam tahun sejak berdiri tahun 2013,
ternyata kinerja bisnis dan keuangan Net TV tidak sesuai harapan.
Rating-nya masih kalah jauh dengan stasiun televisi lain. Alhasil
pendapatan iklan juga seret.
Pada sisi lain, biaya yang dikeluarkan sangat masif. Termasuk investasi
untuk menggunakan teknologi High Definition TV yang amat mahal. Teknologi
HD ini yang bikin kualitas gambar Net TV paling bagus dibanding stasiun
televisi lainnya.
Sejak November tahun lalu, Wishnutama juga sudah tidak menjabat sebagai CEO
Net TV, sebuah pertanda bahwa visi dia dianggap tidak lagi kompatibel
dengan kepentingan bisnis dan keuangan Net.
Belum pasti bagaimana konsep dan masa depan bisnis Net TV setelah terjadi
kasus kemunduran bisnis ini.
Namun dalam tulisan kali ini, saya ingin mengajak Anda semua untuk
menelisik tiga pelajaran bisnis yang bisa kita petik dari kasus kegagalan
bisnis Net TV ini.
3 pelajaran bisnis ini bisa diaplikasikan dalam arena bisnis lain, dan
tidak hanya terbatas dalam bisnis televisi. Mari kita bedah satu demi satu.
Pelajaran Bisnis #1 : Salah dalam Membidik Target Market
Sejak awal, program NET TV memang sudah didesain untuk kalangan menengah
atas yang tinggal di kota-kota besar. Konsep programnya mengarah pada
target market kaum profesional (kelas premium) yang tinggal di kota-kota
besar Indonesia.
Target market yang cerdik sejatinya, sebab jadi berbeda dengan target
market TV lainnya yang lebih menyasar kelas menengah ke bawah yang tinggal
di desa atau kota-kota kecil Indonesia.
Problem besarnya adalah ini : target market yang dibidik NET TV sudah
direbut habis oleh Youtube, Instagram Stories dan layanan TV streaming
seperti Netflix, Hooq, Iflix, dkk.
Dengan kata lain, target market NET TV sudah lenyap, atau makin kecil
populasinya. Sebab sebagian besar sudah melakukan migrasi besar-besaran ke
layar hape demi menyimak Youtube, IG atau Netflix.
Dan itu petaka bagi sebuah bisnis. Ibaratnya Anda mau menjual produk, namun
potensi pasarnya sudah tidak ada. Jualan Anda tidak akan laku, karena tidak
ada lagi pembelinya.
Yang kelam : layanan program NET TV sejatinya lumayan bagus. Konsepnya
kreatif. Sentuhan tangan dingin Wishnutama sebagai sang jenius kelihatan
sekali dalam beragam acara Net TV.
Namun produk yang bagus tetap tidak akan laku, kalau dijual pada pasar yang
kosong melompong. Ibaratnya, Anda jualan produk hebat namun di pasar yang
sudah seperti rumah hantu. Sudah lama tidak ada penghuni dan pengunjungnya.
Itulah pelajaran marketing yang amat penting dari kasus NET TV. Saat Anda
salah menentukan segmen pasar dan target market, maka bisnis Anda akan kolaps.
Kesalahan Net TV adalah memilih target market kelas premium yang sudah lama
enggan menonton layar televisi.
Sebaliknya, target market terbesar bisnis TV itu adalah orang-orang yang
masih suka nonton sinetron Tukang Bubur Naik Haji, Cinta Fitri atau Tukang
Ojek Pengkolan.
Dana iklan triliunan ada dalam sinetron seperti itu, bukan dalam konsep
program yang dibuat oleh NET TV.
Akibatnya : pendapatan iklan Net TV seret, dan akhirnya terus mengalami
kerugian karena biaya opersional TV sangatlah tinggi.
Pelajaran Bisnis #2 : Idealisme dan Passion adalah Bullshit.
Wishnutama adalah figur kreatif dalam industri televisi. Dia punya
idealisme dan passion untuk menghadirkan layanan program TV yang kreatif
dan tidak abal-abal. Dan dia sebenarnya sangat berhasil dalam hal ini.
But business is business.
Business is all about making money.
Kalau produk yang Anda jual sudah sesuai passion dan visi Anda, namun
kemudian tidak ada yang mau beli, lalu keluargamu mau makan apa?
Dulu saat di Trans TV, visi dan passion Wishnutama bisa berkibar, namun
tetap ada rambu bisnis dari sang pemiliknya yakni CT (Chairul Tanjung).
Jadi ada kombinasi yang pas : ada program kreatif yang bagus, namun ada
juga program yang memang ditujukan untuk mendapat uang.
Sebab pada akhirnya, uang juga yang bisa membuat semua operasi bisnis bisa
terus berjalan. Kalau tidak ada profit, ya akhirnya akan bubar jalan.
Pelajarannya adalah : kombinasikan passion dengan profit dan market demand.
Kombinasi maut akan terjadi saat passion dalam bidang yang kita geluti,
juga ternyata memiliki potensi pembeli yang banyak, dan karena itu bisa
hasilkan profit yang maknyuss.
Saat Anda terlalu memburu passion personal, dan gagal melihat potensi
pasar, maka Anda akan terpelanting menjadi sang pujangga yang kesepian dan
jatuh miskin.
Pelajaran Bisnis #3 : Kompetisi Digital yang Makin Kompleks
Yang membuat babak belur NET TV ini ternyata bukan pesaing tradisional dari
sesama staisun televisi lainnya. Sebab seperti yang diulas di depan, segmen
pasar mereka berbeda.
Namun ternyata pesaing yang menghantam bisnis NET TV datang dari tempat
yang sangat powerful, yakni kekuatan layar hape yang makin variatif kontennya.
Youtube, IG Stories dan Netflix adalah pesaing disruptif yang menghancurkan
potensi bisnis Net TV. Dan kekuatan digital players itu terlalu tangguh
untuk dilawan.
Pelajarannya : dalam era digital disruptif seperti saat ini, potensi
persaingan ternyata memang bisa datang dari arah yang tak teduga. Artinya
bukan hanya datang dari pesaing tradisional atau dari pelaku bisnis yang sama.
Rival bisa datang dari mana saja.
Misal pesaing bank kelak bisa bukan sesama bank saja, namun juga dari
layanan dompet digital dan peer-to-peer lending (layanan pinjam dana dari
sesama pengguna internet).
Pesaing hotal datang dari AirBnB. Pesaing toko buku Gramedia datang dari
Facebook dan Twitter (sebab orang sekarang lebih suka baca status FB atau
Twitter, daripada baca buku bagus).
Kalau kata pakar manajemen Michael Porter, ancaman tidak hanya datang dari
rival penyedia produk yang sama, namun juga datang dari "produk subtitusi"
atau produk pengganti yang dirasa lebih memuaskan keinginan pelanggan.
DEMIKINLAH, tiga pelajaran bisnis yang bisa kita petik dari kisah kegagalan
NET TV untuk menjadi stasiun televisi yang kreatif namun sekaligus profitabel.
Pelajaran bisnis ini berharga bagi pelaku bisnis lainnya.
Tiga pelajarannya adalah :
1. Jangan salah menentukan target market
2. Tanpa profit, passion adalah omong kosong.
3. Rival bisnis bisa datang kapan saja, dari arah yang tak terduga.
Source : Blog Strategi Manajemen, www.stategimanajemen.net
Written by : Yodhia Antariksa
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar