@bende mataram@
Bagian 91
Ia menyusup di antara penonton. Ternyata benar dugaannya. Orang-orang lagi
merubung tontonan lenong Jawa Barat. Tapi anehnya, tetabuhannya hanya
sebuah gendang. Dari pembicaraan orang-orang di depannya, tontonan itu
adalah sebuah Gendang Pencak.
Sangaji melongok ke dalam arena. Alangkah terkejutnya! Di dalam arena
nampaklah seorang laki-laki berkaki buntung lagi memukul gendang dengan
seorang gadis berdiri di sampingnya. Gadis itu mengenakan pakaian merah
potongan laki-laki. Bukankah mereka berdua yang menginap di teritisan
sebuah toko di Tegal, kemarin malam? Kalau dulu Sangaji tak begitu
memperhatikan, kini diam-diam mengagumi perawakan si gadis. Ternyata gadis
itu berperawakan tinggi sedang. Tubuhnya singsat, rambutnya terurai panjang
dan berwajah amat cantiknya.
Sangaji seorang pemuda yang masih terbuka hatinya. Meskipun ia tahu arti
cantik, tetapi tidak berpikir lebih jauh. Karena itu, hatinya belum bisa
tertambat oleh arti kecantikan se-orang gadis. Itulah sebabnya, ia bisa tak
menghiraukan kejelitaan Sonny De Hoop.
Si gadis merah kelihatan membisiki telinga laki-laki buntung. Segera
laki-laki buntung meninggalkan gendangnya dan kemudian berbicara keras,
"Tuan-tuan, kami berasal dari Jawa Barat. Sebenarnya aku dulu pernah hidup
di Jawa Tengah. Namaku Mustapa. Karena sesuatu kejadian, aku meninggalkan
kampung halaman dan merantau tanpa tujuan. Aku bertemu dengan ayah si
gadis. Dia seorang ahli pencak dari Garut. Pada suatu malam ia sakit keras
dan menyerahkan gadisnya. Dia berpesan sebelum meninggal, kalau gadisnya
mewarisi ilmu silatnya. Itulah warisan satu-satunya yang bisa diberikan
kepada gadisnya. Biarlah anakku kelak mendapat jodohnya dengan berbekal
ilmu silatnya, kata ayahnya. Setelah dia meninggal,' gadisnya ikut merantau
denganku. Gadis ini bernama Nuraini. Sudah kuajak dia menjelajah negeri.
Mulai dari Jawa Timur sampai Banyumas. Terus ke Cirebon dan hari ini tiba
di sini. Di mana kami berada, selalu kami selenggarakan arena mengadu
nasib. Barangsiapa dapat me-ngalahkan ilmu silatnya, Nuraini akan bersedia
menyerahkan diri. Aku selalu mengharap-ha-rapkan kebahagiaannya, agar dia
jangan ikut bersengsara seperti nasibku. Tetapi di mana saja kami berada,
belum pernah Nuraini dikalahkan orang. Itulah sebabnya, aku mohon bantuan
Tuan-tuan sekalian. Pekalongan terkenal dengan harimau dan naga-naganya
yang bersembunyi di belakang tembok kotanya. Aku berharap, moga-moga
harimau dan naga pekalongan muncul pada hari ini. Siapa tahu, disinilah
bersembunyi jodoh Nuraini... Tuan-tuan, janganlah segan-segan. Memang
pertunjukan ini masih asing bagi tata pergaulan di Pekalongan. Sebaliknya
sudah menjadi suatu kelumrahan di Jawa Barat..."
Kemudian Mustapa mengabarkan tentang pertunjukan semacam itu di Jawa
Barat.-Menurut dia, semua anak-anak ahli silat akan mencari jodohnya dengan
berbekal ilmunya. Barangsiapa bisa mengalahkan, dia akan bersedia
mengabdikan diri seumur hidupnya.
Bahkan bagi seorang gadis yang benar-benar tinggi ilmunya, berani
mencanangkan diri berlebih-lebihan. Barangsiapa dapat menyentuh dadanya,
dia sudah mengaku kalah.
Sehabis Mustapa mencanangkan diri, kembali ia memukul gendang
sejadi-jadinya. Dan kembali Sangaji mengamat-amati si gadis Nuraini.
Benar-benar dia rupawan tidak bercela. Pribadinya agung. Sayang, dia bukan
anak seorang pangeran atau bupati. Sekiranya dia anak seorang pangeran atau
bupati takkan mungkin mencari jodohnya lewat suatu pertandingan umum.
Selagi ia merenung-renung, sekonyong-konyong melompatlah seorang laki-laki
tegap tinggi. Mendengar logat bahasanya, ia berasal dari daerah Jawa Barat
pula. Rasa segan atau malu tidak nampak. Mungkin arena pertandingan begitu,
sudah seringkali dikenal dan pernah juga menguji untung nasibnya.
Nuraini lantas saja melesat di tengah gelanggang. Sangaji terperanjat. Ia
tak menyangka, si gadis bisa bergerak begitu enteng dan tangkas. Pikirnya,
benar-benar mengherankan! Ilmu silatnya, ternyata tak lemah. Pantas ia
susah dikalahkan ... Memikir demikian, hatinya jadi semakin tertarik.
Sebentar saja perkelahian telah dimulai.
Perkelahian itu makin lama makin seru. Penonton bersorak-sorai menjagoi
masing-masing. Setelah berlangsung beberapa waktu, mulailah terjadi suatu
kelompok pertaruhan.
Nuraini tidak hanya pandai bersilat, tetapi cerdik pula. Ia berpura-pura
membuka lo-wongan. Terang, ia sedang memancing. Sebaliknya melihat lowongan
itu, lawannya menduga dia sedang lengah. Cepat ia diserang. Dengan
kecepatan luar biasa, Nuraini mengendapkan diri dan menyapu lawannya dengan
kakinya. Tak ampun lagi, laki-laki yang mencoba mengadu untung jatuh
terjengkang sampai kedua tangannya sibuk menerkam tanah. Penonton bersorak
mengguntur. Dan laki-laki itu melompat menyelinapkan diri dengan wajah
merah dadu. Ia hilang di antara penonton dan kabur entah ke mana.
Arena jadi sepi kembali. Sekali lagi, Mustapa bercanang memperkenalkan si
gadis. Setelah itu menunggu beberapa waktu lamanya. Jika tidak ada lagi
yang berani memasuki gelanggang ia berdiri sambil berkata nyaring, ""Sayang
Tuan-tuan ... hari sudah menjadi panas. Perkenankan kami mengundurkan diri.
Kami bermalam di sebuah losmen murahan di dekat pemberhentian kuda. Besok
pagi, kami akan datang kembali. Mudah-mudahan keda-tangan kami ini akan
lekas tersiar di seluruh pelosok-pelosok kota. Kami mengharapkan muncul
harimau dan naga pekalongan yang sudah terkenal semenjak satu abad yang
lalu..."
Sehabis berkata begitu, ia bersiap-siap hendak meninggalkan gelanggang.
Penontonpun akan segera bubar. Mendadak terdengarlah suara keras parau,
"Tunggu dulu!"
Itulah suara seorang laki-laki sudah ubanan. Mukanya sudah berkeriput.
Punggungnya bongkok. Terang, dia berumur melebihi 60 tahun. Tapi ia gesit.
Habis berseru, ia melompat ke tengah gelanggang.
Melihat munculnya si tua bangkotan, orang-orang jadi tertawa bergegaran.
Seorang laki-laki usia pertengahan yang bercambang tebal, lantas memasuki
gelanggang sambil men-damprat, "Hai anjing buduk! Benar-benar kau mau
merebut isteri?"
Orang-orang tertawa lagi bergegaran. Karuan si tua bangkotan merasa
tersinggung kehormatannya. Ia membalas mendamprat, "Kenapa? Kenapa? Ini kan
merdeka. Siapa saja boleh mengadu untung, bukan? Meskipun aku berusia
lanjut, tapi aku laki-laki. Lagi pula, aku tak beristeri."
"Baik! Baik! Biarpun kau tak beristeri dan
emudian bisa memenangkan pertaruhan ini, apa tidak iba kepada nasib si
gadis? Paling-paling kau bisa tahan hidup hanya tiga tahun lagi. Apakah si
gadis yang begini remaja, akan terpaksa hidup jadi janda?"
Si tua bangkotan gusar bukan kepalang. Ia maki kalang-kabut.
"Kau bukan Tuhan! Kau bukan malaikat! Kau bukan iblis yang bisa meramalkan
umurku. Aku percaya, umurku bakal cukup panjang. Apalagi kalau aku
memperisteri dia, umurku bisa mencapai dua ratus tahun lagi..."
Laki-laki berusia pertengahan yang bercambang tebal, tertawa geli. Katanya,
"Aku berasal dari
.Jawa Timur. Terus terang, aku pernah kawin sampai lima kali. Namun selalu
gagal. Kali ini, akupun akan mencoba mengadu untung. Kalau aku bisa membawa
bunga itu pulang ke Jawa Timur, aku akan bersumpah takkan kawin lagi."
Penonton tertawa berbareng. Mereka mendapat kesan lain daripada si tua
bangkotan. Meskipun demikian, artinya setali tiga uang. Kedua-duanya paling
tidak bekas buaya buntung.
Sebaliknya kasihan buat Nuraini. Meskipun terpaksa mengadu untung nasib
dirinya lewat gelanggang, dia seorang gadis yang bersih suci. Begitu
mendengar omongan mereka berdua, mukanya merah dadu karena merasa terhina.
Serentak ia hendak melesat menghajar mereka berdua dengan sekaligus. Tetapi
Mustapa mencegahnya.
"Tenangkan dirimu. Ayahmu telah mempercayakan dirimu kepadaku. Mana bisa
aku membiarkan kamu dihina orang? Kalau mereka nekad mau memasuki
pertaruhan ini, biarlah aku yang maju."
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar