7.24.2019

*Lewat Secangkir Kopi [3]*

*Lewat Secangkir Kopi [3]*


"Do, aku kan sedang serius konsentrasi. Kok, kamu gangguin."


"Konsentrasi apa, sih, Mbak?" ledek Edo.


Anak ini sering betul membuatku tersipu malu atau kadang–kadang bertingkah
aneh. Mungkin karena aku memang tidak punya saudara di rumah, berhubung aku
anak tunggal, keberadaan Edo sangat membuat hatiku kembali muda.
Kekonyolannya dan hal–hal bodoh yang ia lakukan sejujurnya membuatku senang.


"Kamu sudah makan?" Aku menoleh ke arah Edo. Kali ini ia sedang membuatkan
secangkir ice cappuccino dengan sepiring kecil croissant. Edo mengangguk ke
arahku. Aku bermaksud mengajak Edo bergabung untuk makan bersama dengan
Shota, jika ia belum makan. Tapi, karena Edo sudah makan, aku segera
meninggalkannya menuju satu ruangan paling spesial yang Shota dan aku pakai
sebagai ruang makan kami.


Aku berjalan melewati lorong di belakang kedai ke satu ruangan yang di
belakangnya ditumbuhi tanaman–tanaman hijau dan beberapa bunga berwarna
mencolok. Pintu ruangan tersebut langsung menuju halaman belakang.
Sebenarnya ruangan ini baru dibuat Shota seminggu setelah kami menikah,
enam bulan yang lalu. Ia menginginkan suasana yang sedikit bergaya Jepang
kemudian membuat tatami kecil dengan bantalan duduk, meja persegi yang
lebar dan berkaki pendek. Pemandangan halaman belakang yang asri serasa
menyapa kami di sebelah kanan ruangan yang dibuka.


Shota sudah duduk di bantalan tersebut. Pandangannya tertuju pada kebun
belakang. Begitu mendengar aku masuk, pandangannya teralihkan. Rambut hitam
Shota yang panjang tapi tidak gondrong itu terlihat basah. Ia wangi sekali.
Ia selalu begitu.


"Maaf, ya, kedai sedang ramai," aku membuka percakapan. Lalu, kuletakkan
lauk-pauk yang aku hangatkan beberapa menit yang lalu dengan semangkuk
sayur bayam kesukaannya.


"Kau tidak perlu seperti itu setiap hari," ucap Shota tiba–tiba.


Aku tidak mengerti perkataannya.


"Kau tidak harus melayaniku setiap hari, Yu. Aku bisa melakukannya sendiri."


"Kau kan tinggal bersamaku di sini. Aku nggak bisa mengabaikanmu begitu
saja," jawabku apa adanya.


"Aku tidak mau merepotkan."


"Tidak ada yang direpotkan. Aku biasa melakukan ini, kok. Bahkan, jauh
sebelum kau datang, aku memang kebagian jadi seksi masak-memasak di acara
kumpul–kumpul," aku berusaha menghilangkan kekakuan dengan melucu. Jelas
sekali aku kehilangan bakat humorku belakangan ini. Shota tidak tertawa
sama sekali.


Sejak kejadian menyakitkan itu, entah kenapa, aku sering menarik diri dari
teman–temanku. Dan kalau bisa, menjauhkan diri dari banyak orang yang
mengenalku, tapi tidak benar–benar mengenalku. Mungkin kejadian menyakitkan
itu bisa dengan mudah kulupakan, namun sakit hati dan malu yang kurasakan
tidak juga hilang. Hingga saat ini. Bahkan, ketika Shota duduk di sampingku
dan mengucapkan janji pernikahan. Aku tetap tidak bisa melupakan rasa sakit
ini.


Harusnya aku sudah menikmati keluarga yang bahagia, jika Akbar memang
benar–benar ingin menikahiku. Harusnya aku sudah mendambakan seorang anak
darinya, jika ia memang telah menjadi suamiku. Entah kenapa, aku begitu
memercayai semua hal yang pernah ia katakan. Aku sangat mencintainya... dulu.


"Aku tidak suka melihatmu melamun!" suara Shota terdengar, bagai tanda
bagiku untuk kembali ke dunia nyata.


"Aku tidak melamun," tangkisku.


Kami berdua pun akhirnya diam dan menikmati makan malam kami penuh
keheningan. Setelah selesai makan, Shota beranjak dari tatami dan berjalan
ke luar ruangan. Aku membereskan piring–piring kotor dalam diam. Udara
terasa sangat u dingin bagiku, walau keadaan yang sesungguhnya sangatlah
berbeda.


Namun, tiba-tiba ada kehangatan kurasakan menjalar di pergelangan
tanganku. Ketika aku menoleh, Shota telah memegang tanganku. Ia menatapku,
tapi aku tidak pernah merasakan tatapannya hadir di dalam hatiku. Aku
sangat terkejut pada sikap Shota yang seperti itu. Aku pikir ia telah
beranjak dari ruangan ini.


"Jangan pikirkan dia lagi...," akhirnya ia berbicara, pelan.


Aku hanya bisa mengangguk. Diam-diam, ada ketenangan mengalir di dadaku.
Shota sebenarnya sama seperti kebanyakan pria pada umumnya. Ia bekerja
pagi–pagi dan pulang di sore hari. Ia mengendarai SUV yang sama seperti
hampir kebanyakan pria di sini. Hobinya membaca buku dan buku. Aku belum
pernah melihatnya diam tanpa buku di sampingnya.


Ia pendiam, sangat pendiam. Beberapa minggu sejak kami menikah, Shota
jarang sekali berbicara denganku. Jika berbicara, ia hanya mengeluarkan
sepatah dua patah kata singkat seperti 'terima kasih', 'aku pergi'.


Sebenarnya, aku merasa sangat berterima kasih pada Shota karena mau
menikahiku, meski saat itu kami belum saling mengenal. Aku pun tidak tahu
siapa namanya, dulu. Yang aku tahu, di sore itu, ia datang kepadaku dan
mengajakku menikah. Karena ia pendiam dan tidak banyak bicara, aku merasa
sangat aman, tidak tahu kenapa.


Suatu ketika, beberapa minggu setelah pernikahan kami, aku duduk diam di
lantai satu, tempat kedai kopiku. Saat itu aku baru saja tutup dan
kumatikan seluruh lampu kedai. Hatiku sangat kacau, karena baru saja
melihat Akbar melewati kedaiku dan sedang bersama wanita lain. Aku kalut.
Shota berada di lantai dua. Suatu nilai plus bahwa ia tidak melihatku yang
sedang kacau. Ketika semua gorden sudah tertutup dan semua lampu kedai
dimatikan, aku menangis. Aku menangis sekencang–kencangnya melihat
pemandangan tersebut.


Mungkin tangisku terlalu kencang, karena Shota tiba–tiba berdiri di
hadapanku yang sedang penuh air mata. Ia tidak banyak bicara, hanya
memberikan tisu kepadaku. Ia menemaniku menangis sampai pagi tiba. Ia tidak
tidur, tidak juga memelukku. Ia hanya diam dan menemaniku. Di pagi itulah
akhirnya aku menceritakan padanya seluruh rentetan menyakitkan yang kualami
karena pria bernama Akbar.


Edo pergi kuliah pagi ini, jadi ia baru akan datang ke kedai setelah makan
siang. Hari ini kedai tidak terlalu ramai, makanya aku bisa sedikit santai
dan mulai membuka laptop-ku. Sudah lama aku tidak membuka komunitas
sosialku di dunia maya.


Salah satu temanku men-tag salah satu acara kebudayaan. Ia mengundang
datang sambil membawa suamiku. Sepertinya tawaran yang bagus, lagi pula
sudah lama aku tidak bersenang–senang di luar rumah. Aku segera menuliskan
komentar: 'aku akan datang'.


"Bagaimana?"


"Apanya?"


"Apakah kita akan ikut?"


Aku mengikuti Shota menaiki tangga menuju lantai dua, ketika ia tiba dari
kantor. Aku tahu ia mulai risi aku ikuti terus sejak turun dari mobil. Ia
duduk di sofa maroon kesayangan kami dan minum secangkir kopi panasnya.


"Aku juga punya undangannya." Shota menoleh ke arahku.


"Hah? Apa?"
"Sebenarnya aku sudah punya undangannya sejak beberapa hari yang lalu. Aku
bingung mau datang atau tidak. Masalahnya aku tidak terlalu menyukai
keramaian... tapi aku diharuskan datang. Beberapa teman kerjaku menjadi
panitianya."


"Lalu?" tanyaku lagi.


"Tadinya aku ingin mengajakmu," ia menjawab. Saking senangnya, aku meremas
pergelangan tangannya dan tertawa gembira!


"Ooh, demi Tuhan, Shotaaaa! Aku senang sekali!"


Aku lalu memeluknya penuh cita. Ia tidak banyak berbicara, hanya tersenyum.
Mungkin aku terlalu kencang memeluknya, karena rasanya ia berteriak padaku
bahwa ia tidak bisa bernapas.


......bersambung.....

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar