7.24.2019

*Lewat Secangkir Kopi [1]* Penulis : Dwi Retno Handayani

*Lewat Secangkir Kopi [1]*


Penulis : Dwi Retno Handayani


Menikahlah denganku, kalau begitu!


Kenyataannya memang aneh, namun begitulah yang ia ucapkan padaku enam bulan
yang lalu di depan kasir kedai kopi milikku.


Ia telah menjadi langganan kami selama beberapa bulan ini. Aku sendiri
belum pernah sekali pun ngobrol dengannya, kecuali kalau ia sedang memesan
kopi atau makanan kecil. Itu pun hanya sebatas mau pesan apa, harga
keseluruhan dan ucapan pemanis, seperti, Silakan menikmati. Semua itu
kupikir tidak akan menjadi alasan utama kenapa ia ingin menikahiku.


Setiap kali ia datang dan menikmati kopi panasnya (ia tidak pernah pesan
kopi dingin atau es kopi), ia selalu duduk di sudut ruangan. Ia duduk di
bangku yang menghadap ke jalan raya dan dengan mata menerawang. Tidak jelas
apa yang biasanya ia lihat, namun pikirannya seperti melayang entah ke mana.


Aku kaget saat ia mengatakan lamaran itu. Baru kusadari suaranya agak berat
dan lembut. Warna matanya yang tampak muda kecokelatan menatap warna hitam
mataku. Ya, aku memang terkecoh pada wajah dan suaranya.


Ada satu hal pasti, yang paling membuatku ingin secepat mungkin mengiyakan
permintaan itu adalah karena minggu lalu pernikahanku dengan pria lain
batal. Pernikahan yang sudah kurencanakan dengan baik ternyata gagal total.
Calon suamiku meninggalkanku tepat sebelum acara janji pernikahan dimulai.
Tidak ada tanda-tanda apa pun sebelumnya, kecuali ungkapan bodoh seperti
'aku mencintaimu' setiap hari, dan intensitasnya lebih sering sebelum hari
pernikahan kami sepakati.


Akbar pria mapan yang tampan. Tapi, caranya meninggalkanku secara mendadak
di hari pernikahan, rasanya tidak menjamin sedikit pun bahwa hatinya
seindah wajahnya.


Aku gemetaran, ketika salah satu panitia pernikahan memberitahukan hal itu.
Ia sibuk menelepon Akbar dan kerabat mereka, sementara aku panik tak
keruan. Saudara-saudaraku sibuk mencari Akbar dan menjemputnya di rumahnya
yang ternyata sudah kosong. Aku hanya bisa menangis hebat di atas ranjang
yang harusnya menjadi saksi malam pertama kami.


Akbar menghancurkan mimpi-mimpiku tentang indahnya hidup pernikahan,
tentang kebahagiaan. Ia menghancurkan seluruh harapan hidupku,
menghancurkan janji yang telah kami buat, menghancurkan cinta yang telah
kami bangun mulai dari nol. Ia membuatku merasa sangat malu dan dipermainkan.


Ia benar-benar menyebalkan. Benar-benar kejam.


Aku tidak bisa tidur nyenyak setelah peristiwa itu. Aku sangat malu pada
teman–temanku, lingkungan sekitar, dan tentu saja keluargaku. Umurku tidak
muda lagi. Bukanlah hal yang mudah untuk membuka lagi lembaran baru yang di
dalamnya sudah terkoyak penuh tinta hitam yang menyebar hingga ke
halaman–halaman berikutnya.


Aku sudah tidak tahu lagi apa yang kuinginkan dalam hidup, kecuali
menjalankan bisnis kedai kopiku. Kubuang jauh–jauh pikiranku tentang
berumah tangga dan lain–lainnya untuk menenangkan jiwaku. Tapi, entah
kenapa, pria yang tidak kukenal itu, datang tiba-tiba ke dalam hidupku,
menawarkan hal yang ingin kuhindari. Betapa bodohnya aku menyadari bahwa
sebenarnya aku sangat menginginkannya. Tanpa berpikir panjang atau takut
bahwa orang itu hanya mengada–ada, aku mengatakan 'ya'.


Pernikahanku dan Shota sangat berbeda dari pernikahan pada umumnya. Aku
baru tahu bahwa Shota adalah warga keturunan Indonesia-Jepang saat kulihat
paspornya. Bahasa Indonesia-nya memang amat bagus, tapi tidak pernah
kusangka ia punya darah Indonesia. Aku pikir ia hanya pria asing yang
menetap di Jakarta dan menyuruhku menikah dengannya untuk keperluan
pekerjaannya. Menikah demi sebuah green card.


Hatiku sudah keburu mati oleh cinta. Jadi tidak pernah terpikirkan bahwa
aku mungkin saja sedang dimanfaatkan. Aku sudah tidak peduli. Aku hanya
mementingkan status. Tidak peduli nantinya aku akan dipermainkan atau
dibuang, yang penting secara sah aku pernah dinikahi oleh seseorang. Aku
masih bisa menikah lagi dengan orang lain, walaupun pernah ditinggal pergi
oleh calon pendamping hidupku.


Di Jakarta, apalagi di kota besar seperti ini, kenyataan bahwa wanita bisa
lebih sukses daripada pria bukanlah hal aneh. Namun, di usiaku yang sudah
30-an dan masih melajang, pasti mudah jadi bahan omongan. Selama aku
mendapatkan statusku dan membuat seluruh orang yang mencibirku diam, maka
tenanglah hidupku. Cukup jelas alasanku. Tapi, Shota, sampai hari ini,
tidak pernah membicarakan alasan lamaran mendadaknya itu padaku.


Ia bekerja di salah satu kantor yang letaknya dekat dengan kedai kopiku,
suatu perusahaan Jepang. Ia libur setiap Sabtu dan Minggu. Kadang–kadang ia
menghabiskan hari liburnya itu hanya di depan meja kerjanya, menggambar
sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaannya. Terkadang ia pergi dan pulang
membawa banyak buku. Kadang–kadang ia pulang dan membawa banyak kertas
berisi esai yang harus dikoreksi. Aku tidak mengerti mengapa ia terkadang
bekerja di kantor, menggambar seperti seorang arsitek, tapi juga mengoreksi
esai seperti seorang guru.


Ia sangat sibuk, sampai kadang lupa makan atau berbicara denganku. Dulu,
sebelum kami menjadi sepasang suami-istri yang aneh ini, ia tinggal di
kawasan selatan Jakarta, di sebuah apartemen. Setelah menjadi suamiku, ia
pindah ke kedai kopiku. Ia membayar seluruh sewa dan membeli bangunan yang
telah kusewa ini. Ia bilang bahwa ia juga punya hak untuk membayarnya,
karena ia akan tinggal bersamaku.


Kami menyepakati persetujuan tersebut dan membagi kamar. Kamarku berada di
lantai dua sebelah kiri, sementara kamar Shota berada di depan kamarku.
Sebenarnya ada tiga kamar di tempat yang kusebut 'rumah' ini, kalau–kalau
salah satu dari anggota rumah kami datang menginap. Aku dan Shota akan
pura–pura menjadi sepasang suami-istri normal dan kami tidur di kamar yang
sama.


Teorinya memang begitu. Namun, setiap kali suara pintu telah tertutup dan
aku mengunci pintu kamar, Shota segera beranjak dari kasur tanpa perlu
kusuruh. Ia pindah ke sofa malas dekat jendela dan tidur di tempat itu
seperti sedang tidur di kasur kesayangannya saja. Ia kelihatan
menikmatinya. Ia kelihatan sangat menikmati setiap hari–hari aneh kami yang
kami jalani bersama. Ia tidak begitu menyukai keluarganya dan kadang–kadang
ia sering menunjukkan sikap tidak sukanya, setiap kali mereka bertamu di
rumah kami.


Aku jadi mulai berpikir, mungkin alasan Shota menikahiku karena hal ini. Ia
menginginkan ketenangan, sementara aku sangat menginginkan status yang
membuatku tenang dari segala ocehan dan rasa pedih tentang impian
pernikahanku yang sesungguhnya. Shota terkadang sering membantuku, walau
aku tahu dari setiap pandangan matanya itu, ia merasa seperti tidak hidup
di dunia ini.
Karena pagi ini Shota berangkat lebih awal, aku bangun pagi–pagi sekali.
Aku ingin membuatkan bekal untuknya, karena ia jarang sekali ingat bahwa ia
butuh makan. Aku menyetel alarm ponselku, agar bisa bangun sebelum Shota
bangun.


.......bersambung....😛😛😛

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar