7.31.2019

@bende mataram@ Bagian 100

@bende mataram@
Bagian 100


Waktu itu si pemuda ningrat telah menghadap ibunya. Nampak sekali, kalau
dia manja benar pada ibunya. Ia menjengukkan kepalanya ke dalam kereta
sambil berbicara tak begitu terang. Ibunya—yang disebut Raden Ayu Bumi
Gede—terdengar pula berbicara. Lamat-lamat dia berkata, "Mengapa berkelahi?
Lihat, kau tak mengenakan baju luar. Kalau sampai masuk angin, apa jadinya?"


"Ibu. aku sedang bermain-main. Bukan berkelahi seperti Ibu sangka," si
pemuda ningrat memberi keterangan.


Lengan Raden Ayu Bumi Gede, nampak menjulur dari balik dinding kereta.
Lengan itu berwarna kuning manis dan berkesan bersih. Kemudian terdengar
Raden Ayu Bumi Gede berkata agak terang, "Pakailah bajumu! Mari kita ke
Kadipaten! Ayahmu sudah lama menunggu kehadiranmu."


Mendengar suara terang itu, kembali Mustapa terkejut sampai tubuhnya
bergetaran. Tak disadari sendiri, mulutnya berkomat-uml 'Ah, masa dia? Apa
benar ada dua wanita yang mirip suaranya di dalam pagutan hidup ini? Mana
bisa!"


Nuraini yang berdiri dekat padanya, kembali minta penjelasan, "Ayah
berbicara dengan siapa?'


Mustapa terkejut. Gugup ia menjawab sambi tersenyum pahit seakan-akan
mengejek dirinya sendiri, "Ah, pikiranku sedang angot, anakku. Aku teringat
kepada ibumu."


Mendengar keterangannya, Nuraini jadi perasa. Berkatalah dia menenteramkan,
"Bukankah Ibu telah lama meninggal dunia?"


Maksud Mustapa hendak mewartakan tentang isterinya, tetapi Nuraini mengira
dia sedang membicarakan ibu kandungnya. Meskipun demikian, Mustapa tidak
berusaha menjelaskan. Kembali ia tersenyum pahit sambil menjenak napas.


Seorang pengiring segera memungut jaket si pemuda ningrat yang dibuang
Sangaji ke tanah tatkala menungkrap kepalanya. Pengiring itu agaknya hendak
membuat jasa di hadapan Raden Ayu Bumi Gede. Dengan mata melotot ia
mendamprat Sangaji.


"Kau monyet kampungan! Lihat, kau membikin kotor jaket nDoromas."


Sangaji tak meladeni. Melihat sikap orang, pengiring itu memperoleh hati.
Terdorong oleh suatu keinginan hati agar mendapat pujian Raden Ayu Bumi
Gede dan mengira pula Sangaji seorang pemuda kampung yang tidak
berkepandaian, pengiring itu lantas saja meng-hampiri dengan membawa
cambuk. Dengan sekuat tenaga ia mengayunkan cambuknya hendak menghajar
Sangaji sesuka hatinya. Tak tahunya, Sangaji meloncat membela diri. De-ngan
sebelah tangan ia menangkap lengannya, kemudian tangannya menyapu sambil
me-nyodokkan siku. Tak ampun lagi, si pengiring yang malang itu jatuh roboh
terguling. Sangaji nampaknya benar-benar mendongkol bercampur dengki.
Serentak ia merampas cambuk itu dan disabetkan pulang balik ke muka si
pengiring sampai babak belur berbentong-bentong.


Sebagian penonton yang tadi kena gertak dan cemeti polisi, diam-diam memuji
kebera-nian Sangaji. Mereka bersyukur dalam hati, menyaksikan salah seorang
pengawal kereta berkuda kena hajar.


Tetapi polisi-polisi yang lain, yang menjadi pula pengiring istri Pangeran
Bumi Gede, datang




membela rekannya. Mereka lantas mengepung Sangaji dan menyerang setengah
kalap karena gusar. Sangaji tidak gentar. Dengan cekatan ia menangkap salah
seorang di antara mereka, lalu dilemparkan ke udara. Belum lagi orang itu
jatuh ke tanah, lainnya terlempar pula. Begitulah saling susul seperti bola
keranjang terjun dari udara ke udara.


Penonton bersorak gembira, mengagumi keperkasaan Sangaji. Sebaliknya si
pemuda ningrat jadi penasaran. Segera ia melompat kembali ke tengah
gelanggang sambil membentak, "Hai! Kau masih saja berani ugal-ugalan di
depanku?"


Terus saja ia menyambar Sangaji yang sedang menerkam dua orang polisi.
Sangaji tak menjadi gugup. Cepat ia mendorong dua orang polisi itu sebagai
perisai. Maka celakalah nasib mereka berdua. Mereka kena hajar majikannya
sendiri, sampai berkaok-kaok kesakitan.


Si pemuda ningrat semakin bertambah gusar. Lantas saja ia merangsak maju
dengan melepaskan jurus-jurus berbahaya. Sangaji mengelak dan membela diri.
Dan sebentar saja, mereka berdua bertempur kembali.


"Jangan berkelahi! Tahan!" teriak Raden Ayu Bumi Gede dari dalam keretanya
sambil melongok ke luar jendela.


Agaknya pemuda ningrat itu biasa dimanjakan ibunya. Ternyata ia tak
mendengarkan larangan ibunya, malahan menjawab, "Ibu! Biar kulabraknya
bocah kampungan ini!"


la lantas memperhebat tekanan. Terang sekali, maksudnya hendak mencari muka
dan memamerkan kepandaiannya pula kepada ibunya. Tetapi ia kecele. Sampai
lebih dari empat belas jurus, serangannya selalu saja kena digagalkan
Sangaji. Itulah sebabnya, kini ia benar-benar menumpahkan seluruh
perhatiannya. Ia, merangsak dan merangsak tiada henti. Akhirnya pada jurus
ke delapan belas, ia berhasil merobohkan Sangaji sampai dua kali
berturut-turut.


Dalam pada itu Mustapa tidak lagi menaruh perhatian kepada perkelahian itu.
Pandangannya lagi dipusatkan kepada Ibu si pemuda ningrat yang menjengukkan
kepalanya di jendela kereta. Ternyata Raden Ayu Bumi Gede seorang perempuan
yang berwajah manis luar biasa. Rambutnya tersisir rapi dan digelung bagus.
Padang raut mukanya terang ben-derang, karena bermata cemerlang, beralis
tebal dan berhidung mungil. Di atas bibirnya bersemayam sebuah tahi lalat
hitam menyolok. Inilah suatu keselarasan yang jarang terdapat di kolong
dunia. Dan begitu Mustapa mengamat-amati wajah perempuan itu, lantas saja
berdiri terpaku dengan pandang mata tak berkedip.


Sangaji kala itu, kena dirobohkan lagi. Tetapi ia emoh menyerah kalah.
Bahkan kian lama kian ngotot. Tubuhnya seolah-olah kian perkasa bagaikan
sebuah patung besi. Sekarang, ia tak bisa dirobohkan lagi. Gerak geriknya
mantap dan berbahaya.


Si pemuda ningrat heran sampai tercengang sebentar. Tak dapat ia menebak,
mengapa lawannya bertambah lama nampak bertambah kuat serta ulet. Kalau
tadi ia berhasil me-robohkan manakala kakinya mengenai sasaran, kini jatuh
sebaliknya. Beberapa kali ia melepaskan tendangan. Tetapi aneh! Sangaji tak
bergeming. Malahan terasa tenaganya kena terhisap. Ia tak mengerti khasiat
pohon sakti pohon Dewadaru yang telah mendarah daging dalam tubuh Sangaji.
Seseorang yang telah menghisap getah pohon itu, akan bertambah kuat dan
kuat manakala tubuhnya terus bergerak. Karena otot-ototnya lantas menjadi
kejang dan aliran darahnyapun semakin cepat. Darah ini seperti berdesakan
mencari tempat dan berusaha meruap keluar. Apabila tubuh kena pukulan,
dengan sedirinya bebareng mendesak melegakan diri. Itulah sebabnya, Sangaji
tak mempan kena pukulan betapa keraspun. Ia nampak seperti orang kebal yang
tahan melawan tajamnya senjata atau peluru.


Dalam pada itu, si pemuda kumal dan Kartawirya nampak kembali
berlari-larian me-masuki gelanggang. Kali ini keadaan Kartawirya tambah
korat-karit. Rambutnya jadi awut-awutan dan wajahnya keruh seperti babi
terpanggang. Goloknya yang bercabang tiga nampak mentublas selembar kertas
cukup besar yang tertera sederet tulisan: "Babi ini dilelangkan."




Dengan demikian, terang-terangan Kartawirya dianggap sebagai seekor babi
yang hendak dilelangkan karena tiada guna. Sudah barang tentu, mereka yang
dapat membaca tulisan itu sekaligus tertawa berkakakkan. Sedangkan yang
buta-huruf buru-buru minta penjelasan. Apabila telah mendapat penjelasan
segera mereka tertawa bergegeran.


Si pemuda kumal benar-benar hendak nsempermain-mainkan Kartawirya
sepuas-puas harinya, la lari bolak-balik sambil meloncat-loncat gesit. Tak
lama kemudian, ia me-ngduarkan segulung kertas lagi yang ada tulisannnya
pula. Entah kapan ia menulis, orang tak tahu. Hanya saja gulungan kertas
itu lantas dipetang pada sebilah tongkat semacam bendera. Dan di antara
kibaran angin terbacalah uksannya: "Minggir! Minggir! Babi hitam itu
terlalu galak!"


Keruan saja, penonton yang bisa membaca bertambah tertawa gelak. Mereka
sampai berlompat-lompatan ke udara karena geli bercampur kagum. Tak lama
lagi munculah Tiga badut lainnya. Merekalah si Setan Kobar, Cekatik gelar
Simpit Ceker Bebek dan Maling. Mefeka beriari-larian seperti sedang
berlomba. pada pantatnya masing-masing terpancang tali panjang seperti
ekor. Pada ujungnya tertempel selembar kertas pula, yang berkibar-kibar ke
udara. Kertas inipun ada hurufnya yang terbaca cukup terang: "Inilah
anak-anak kuda binal."


Manjarsewu dan Cocak Hijau tercengang-cengang sampai berdiri bengong.
Terang sekali, mereka bertiga kena dirobohkan si pemuda kumal. Mukanya
nampak benjut dan gosong. Lantas saja mereka berdua sibuk menduga-duga
tentang si pemuda kumal.


Sangaji sedang bertempur dengan sengitnya melawan si pemuda ningrat, la tak
mempunyai kesempatan untuk melihat permainan badut-badutan itu. Lengannya
kena dihajar dua kali oleh lawannya. Tetapi segera ia dapat membalas dua
kali pula dan kini berkelahi dengan menggunakan jurus-jurus gabungan ajaran
Wirapati dan Jaga Saradenta. Dia nampak tangguh, kuat, bengis, dan
berbahaya. Si pemuda ningrat sendiri lantas saja terpaksa mengeluarkan ilmu
simpanannya yang berbahaya. Dengan demikian, kedua-duanya terancam oleh
suatu serangan yang bisa mengakibatkan luka parah tak terlukiskan.


Manjarsewu, Cocak Hijau dan Yuyu Rum-pung yang merasa diri sebagai,
pendekar sakti, tahu menjaga kehormatan diri. Mereka tak mau melerai atau
mencampuri urusan. Hanya saja mereka nampak mengkhawatirkan keselamatan si
pemuda ningrat. Karena itu nampak sekali, kalau mereka sedang bersiaga
membantu si pemuda ningrat, apabila benar-benar dalam keadaan berbahaya.
Tetapi munculnya si pemuda kumal, sedikit banyak mengganggu juga pemusatan
perhatiannya. Apalagi Yuyu Rumpung. Orang tua bertubuh pendek buntet itu
merasa sebal, menyaksikan kemenakan muridnya kena dipermainkan si pemuda
kumal demikian rupa.


Makin lama Sangaji kelihatan makin gagah. Hal ini tidak mengherankan. Getah
Dewa-daru kini benar-benar sedang bekerja. Getah sakti itu seolah-olah ikut
bertempur dengan sibuknya. Sebaliknya si pemuda ningrat nampak letih.
Maklumlah, sebagai seorang yang biasa hidup dimanjakan di dalam istana
mungkin juga kurang berlatih dengan sungguh-sungguh. Itulah sebabnya,
lambat laun ia jadi terdesak. Sekarang bahkan hanya bisa membela diri saja.
Mendadak Sangaji melompat menerkam. Cepat-cepat ia meninju sejadi-jadi-nya
dengan maksud menahan serangan. Tetapi Sangaji dapat berlaku sebat.
Gerakannya lebih cepat. Dengan tangan kanan ia membentur siku si pemuda
ningrat. Berbareng dengan itu tangan kirinya maju membekuk leher.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar