7.26.2019

@bende mataram@ Bagian 95

@bende mataram@
Bagian 95


Si pemuda kaget bukan main. Sama sekali lak diduganya kalau Mustapa
bergerak sehe-bat itu, malahan berani menangkis serangan dengan serangan.
Buru-buru ia menarik tangan kirinya dan diangkat tinggi untuk melindungi
mukanya. Mustapa yang sedang kalap, tak mengindahkan gerakan lawan. Tangan
kirinya yang sudah patah pergelangannya ditarik mundur untuk melindungi
dada. Kemudian dengan tangan kanannya ia menyerang. Tatkala si pemuda
menangkis sambil mundur, dengan sebat kaki kirinya menjejak tanah. Sekali
melesat, kaki


kanannya menerjang ringgang. Inilah hebat.


Melihat Mustapa memiliki jurus-jurus berbahaya, pemuda itu kini tak berani
lagi memandang rendah. Gugup ia merapatkan diri. Sekonyong-konyong
tangannya bergerak menyambar pergelangan tangan kanan Mustapa sambil
melesat mundur. Dengan begitu, ia berhasil melakukan serangan tipu
muslihat. Nampaknya ia membalas menyerang, tak tahunya ia sebenarnya
mundur. Saat kedua kakinya jatuh ke tanah, ia melesat lagi dengan
mengembangkan sepuluh jarinya.


Mustapa terkejut. Penontonpun tak kurang terkejutnya. Mereka sampai
berteriak. Sangaji yang memperhatikan gerak gerik pemuda, kian jadi curiga.
Aneh! Ini gerak-gerik Pringgasakti! Apa hubungannya dengan pemuda itu?


Tatkala itu, Mustapa kena diserang. Kini pergelangan tangan kanannya patah
lagi. Dengan begitu, ia kini sama sekali tak berdaya. Masih ia mencoba
mengadu kecekatan kaki. Tapi kakinya yang sebelah bukan kaki utuh. Itulah
sebabnya, dengan mudah ia kena disapu dan jatuh bergelimpangan di atas tanah.


Nuraini pucat lesi. Serentak ia melesat menubruk ayah-angkatnya. Celananya
yang kena robek, disobeknya separo hendak dibuatnya bebat pergelangan
tangan ayahnya. Terang, ia tak memikirkan lagi kepentingan diri. Tetapi
Mustapa menolak dengan mendorongkan sikunya.


"Kauminggir, anakku! Hari ini, biarlah aku mati di depan matamu! Sama
sekali aku tak menyesal. Kelak kusampaikan kejadian ini kepada ayahmu di
alam baka ..."


Wajah Nuraini suram. Perlahan-lahan ia berdiri sambil menatap wajah si
pemuda. Hebat kesannya. Pandangnya tajam. Rambutnya terurai. Celananya
buntung sebelah. Sekonyong-konyong ia melolos sebilah belati mengkilat.
Inilah belati warisan ayahnya almarhum.


Penonton diam menebak-nebak. Apakah Nuraini mau mengadu nyawa pula dengan
si pemuda ningrat? Di luar dugaan, mendadak saja Nuraini menancapkan
belatinya ke dadanya sendiri. Inilah di luar dugaan orang.


Mustapa agaknya mengenal tabiat si gadis. Secepat kilat, tangan kanannya
yang telah patah pergelangannya melesat menghalangi. Tapi mana bisa
tangannya yang sudah patah menghalangi gerakan Nuraini yang begitu tangkas
serta penuh nafsu. Keruan saja, telapak tangannya kena tertumblas dan
tersalib di aias dada si gadis.


Meskipun demikian, maksud Mustapa hendak menghalang-halangi kekalapan
Nuraini, tidaklah seluruhnya gagal. Karena telapakan angannya, dada Nuraini
hanya tertusuk sedalam seperempat dim. Dengan demikian, batallah niatnya
hendak bunuh diri.


Para penonton dengki pada si pemuda berbareng duka. Sama sekali tak mereka
sangka, kalau tontonan yang menarik itu akan berakhir dengan lumuran darah.
Ingin campur tangan, mereka tak berani.


Lain halnya dengan Sangaji. Ia yang dididik oleh kedua gurunya berdarah
ksatria, seketika ku juga tak kuat menahan diri. Serentak ia melompat ke
tengah gelanggang sambil memanggil si pemuda ningrat yang sedang berjalan
balik ke arah kudanya.


"Hai sahabat Nanking Cirebon!" ujarnya. Ia belum mengenal nama pemuda itu.
Sebaliknya teringat akan pertemuannya di restoran Nanking Cirebon, lantas
saja berseru demikian. Penonton golongan bajul dan para pengiring pemuda
ningrat, tertawa berbareng mendengar ujarnyaJ Mereka menganggap lucu bunyi
seruan SangajiJ


Pemuda ningrat itu menoleh. Begitu melihat Sangaji, ia terhenyak sebentar.
Kemudian ikufi pula tertawa sambil berkata, "Eh ... kamul Kamu memanggil
Nanking Cirebon di Kota Pekalongan, apa maksudmu?"


Kembali penonton golongan bajul dan para pengiring tertawa geli.
Benar-benar mereka menganggap, Sangaji seorang pemuda tolol yang tak masuk
hitungan. Memang sikan Sangaji




waktu itu berkesan ketolol-tololan. Ia sendiri belum tahu dengan pasti apa
yang harus dilakukan. Begitu mendengar kata-kata! si pemuda, ia berdiri
melongoh. Derai tertawa! penonton belum disadari, kalau mereka sedang
menertawakan ketololannya.


"Apa kamu lalu meninggalkan mereka dengan begitu saja?" serunya.


"Habis? Apa aku harus mencampuri urusan mereka? Biar mereka bunuh diri, apa
kepen-l ringanku?"


"Kamu harus kawin dengan Nona itu!"


Si pemuda ningrat tercengang. Penonton golongan bajul tercengang. Para
pengiringpun Bcrcengang. Akhirnya mereka semua tertawa berkakakkan.


"Jika aku tak sudi... kamu mau apa?" kata pemuda ningrat dengan suara nyaring.


"Jika kau tak sudi mengawini dia, mengapa kau tadi memasuki gelanggang? Apa
kau tak Kndengar keterangan bapak itu tentang maksud arena ini?"


Si pemuda ningrat menaikkan alisnya. Ia xjemandang tajam kepada Sangaji.
Lalu Jkerkata tegas, "Sebenarnya kamu mau apa?"


Sangaji menoleh kepada Nuraini.


"Nona itu cantik dan ilmu silatnyapun bagus. Mengapa kamu tak sudi kawin
dengan dia? Apa celanya? Sekiranya kau mengambil dia sebagai istrimuu,
kalian berdua akan menjadi sepasang garuda yang elok. Sebaliknya jika
rsenolak, di belakang hari kau akan menyesal. Dananakah ada seorang gadis
yang begitu cantik memiliki ilmu silat pula?"


"Eh ... kamu ini mau jadi comblang?"


Pemuda itu tertawa geli. Para pengiring dan penonton golongan bajul ikut
tertawa geli pula. Kata pemuda ningrat itu lagi, "Kamu ini siapa, sfi? Kamu
murid siapa? Kamu memanggil apa pada Adipati Karimun Jawa Surengpati?"


Sangaji heran. Ia menggelengkan kepala.


"Siapa guruku, tak dapat aku memperkenalkan. Aku tak kenal pula siapa itu
Adipati Karimun Jawa Surengpati."


"Habis, siapakah yang mengajarimu Ilmu Sentilan Istimewa yang pernah
kauperlihatkan di restoran Nanking Cirebon? Bukankah itu Ilmu Sentilan
ajaran Adipati Karimun Jawa?" pemuda ningrat heran.


"Semua kepandaianku adalah berkat ajaran guruku." "Siapa gurumu?"


"Tak mau aku memberitahukan."


"Baiklah... " sahut si pemuda ningrat setelah menimbang-nimbang sebentar.
Kemudian ia berbalik hendak menghampiri kudanya.


Sangaji buru-buru menyanggah sambil berseru, "Hai! Kau mau ke mana?"


Si pemuda ningrat menoleh. Pandangnya heran menebak-nebak. Menyahut,
"Habis... kau mau apa?"


"Bukankah aku tadi menyarankan, agar kamu mengawini dia?"


Pemuda ningrat itu tertawa dingin. Ia mendongkol bercampur geli pada
Sangaji. Segera ia memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan gelanggang.


Mustapa yang melihat peristiwa itu, sekonyong-konyong datang menghampiri
Sangaji. Ia tahu, Sangaji seorang pemuda berbaik hati. Hanya saja, tak
pandai mengadu lidah. Maklumlah, Sangaji seorang pemuda yang baru saja
melihat dunia. Lika-liku penghidupan sama sekali belum diketahui.


"Saudara kecil, apa perlu melayani manusia semacam dia," Mustapa berkata.
Waktu menginap




di teritisan toko di Tegal, ia tak begitu memperhatikan muka Sangaji.
Kecuali itu, hari amat gelap. Itulah sebabnya ia tak mengenalnya. Setelah
berkata demikian, sambil menatap si pemuda ningrat ia meneruskan, "Asal
saja nyawaku masih melekat pada tubuhku yang cacat ini, suatu kali aku akan
dapat membalas sakit hati. Siapa namamu, anak muda?"


Sangaji hendak menjawab, sekonyong-konyong ia mendengar pemuda ningrat tertawa.


"Hai tua bangka!" ujarnya. "Sudah kutegaskan tadi, kalau tak sudi aku
memanggilmu mertua. Kenapa kau memaksa saja?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar