7.24.2019

@bende mataram@ Bagian 93

@bende mataram@
Bagian 93


Nuraini terkejut melihat gerakannya yang begitu cepat. Selama berkeliling
ke berbagai daerah, belum pernah ia bertemu tanding sehebat kali ini.
Buru-buru ia mengendapkan kepala dan terus menyusup ke bawah ketiak si
pemuda. Tapi di luar dugaan, si pemuda sa-ingat gesit. Tangan kirinya
tiba-tiba turun dan dibarengi dengan sodokan kanan. Melihat gerakan pemuda
itu begitu hebat, penonton ber-teriak terkejut. Mereka mengira, Nuraini
sukar meloloskan diri. Tak tahunya, Nuraini masih bisa menghindar dengan
menjejak tanah. Tubuhnya lantas saja melesat mundur beberapa langkah.


"Bagus!" seru penonton hampir berbareng. Kemudian salah seorang penonton
ada yang berteriak, "Siapa yang bakal menang?"


"Si pemuda," sahut seorang lagi.


"Mana bisa? Dilihat gerakannya, si gadis Jang bakal menang. Coba tadi
pemuda itu jyang menyerang dulu sehingga si gadis bisa -rrdesak dan hampir
keripuhan, itu sudah pasti. Tapi kalau si gadis begitu dapat membebaskan
diri dari serang cepat, itulah yang patut dibicarakan."


"Kita bertaruh?" "Ayo!"


Mereka berdua lalu bertaruh. Penonton yang lain ikut pula bertaruh. Tetapi
kemudian, terdengar lagi suara lain.


"Nanti dulu ... lihat!"


Semua mengawaskan ke gelanggang. Waktu sekali lagi, si pemuda ningrat
sedang merangsak si gadis. Nuraini dengan cepat mundur jumpalitan. Tetapi
si pemuda terus memburu. Terang,




dia tak mau lagi memberi kesempatan. Ia ingin menjatuhkan Nuraini secepat
mungkin. Melihat dia berlaku kejam, Nuraini tak kehilangan akal. la
meloncat mundur lagi dan mendadak sebelah kakinya dijejakkan ke atas dan
mengancam hidung. Si pemuda terperanjat. Sama sekali tak diduganya, kalau
Nuraini bisa mengirimkan serangan selagi berloncat undur. Untuk,
membebaskan diri, si pemuda terpaksa melompat tinggi ke udara pula. Dengan
begitu, mereka turun ke tanah seperti saling berjanji. Pakaian mereka yang
longgar, berkibar-kibar kena angin.


"Hebat! seru penonton.


"Apa pendapat kalian?" tanya suara lain yang tadi berseru. "Aku mempunyai
bunyi pertaruhan lain. Pemuda itu memang bakal dikalahkan, tetapi dengan
cara lain."


"Dengan cara lain bagaimana?"


"Dengan periahan-lahan, supaya tak usah menanggung malu. Mengapa begitu?
Sebab, pemuda itu terlalu ngganteng dan anak ningrat."


Orang-orang yang mendengar pada tertawa.


Tetapi mereka ikut menyetujui bunyi per-aruhan itu. Diam-diam Sangaji
menaruh per-hatian kepada pertarungan si pemuda mentereng dan Nuraini.
Mereka belum mengeluarkan ilmu simpanannya masing-masing, tetapi terang
sekali kalau mereka bisa berkelahi dengan baik.


Pemuda itu ngganteng. Gadis itu cantik, kata Sangaji di dalam hati. Sama
pula memiliki Kecakapan berkelahi. Kalau si pemuda bisa memperisterikan
dia, itulah pantas. Mereka bakal jadi suami-isteri yang berharga untuk
dibicarakan ...


Dulu, ia tidak begitu senang terhadap si pemuda, tatkala menyerang dirinya
di restoran Banking Cirebon. Tetapi kini setelah mempunyai pikiran
demikian, tak lagi dia benci. Malahan, dia mengharap-harap agar pemuda
mentereng itu dapat mengalahkan Nuraini.


Dalam pada itu pertandingan berjalan terus. Makin lama makin seru. Kini,
Nuraini tidak bedaku segan-segan lagi. Perlahan-lahan dia mulai bisa
menguasai dan tiba-tiba terdengar suara: brett


...! Ternyata lengan baju luar si pemuda kena disambar dan robek sekaligus.
Nuraini kemudian melompat mundur jauh-jauh sambil mengibaskan ujung
rambutnya yang panjang.


"Berhenti dulu!" seru Mustapa. "Silakan paduka menanggalkan baju luar, baru
menen-tukan babak terakhir siapa yang menang."


Wajah si pemuda ningrat kelihatan geram. Tangannya lalu bergerak dan
robeklah baju luar dengan suara berkerebetan. Seorang pengiring lari
menghampiri dan dengan sikap hormat membuka baju luarnya yang terbuat dari
bahan sutra mahal. Kini, nampaklah dia mengenakan baju dalamnya. Baju
dalamnya terbuat pula dari bahan sutra.


Warnanya biru laut sangat indah. Ia jadi semakin tampan. Wajahnya nampak
berca-haya dan matanya yang cemerlang tambah berkilauan. Siapa gadis yang
takkan gandrung melihat kegantengannya.


Begitu selesai merapikan pakaiannya, tanpa berkata sepatah katapun terus
saja menyerang Nuraini. Sekarang ia menggunakan tangan kiri dan melesat
berputaran sangat gesit dan indah. Melihat gerakannya, Nuraini terperanjat.
Tak terkecuali Mustapa dan Sangaji. Mereka tak menyangka, kalau pemuda
ningrat itu benar-benar hebat dan gagah.


Ternyata dia tidak lagi bersenyum atau memperlihatkan wajah berseri.
Benar-benar dia bertekad hendak menjatuhkan si gadis di depan umum. Pandang
matanya bersungguhsungguh dan seolah-olah menyala bagaikan Dintang bergetar
di tengah langit hitam kelam. Gerak-geriknya cepat rapih dan berbahaya.


Sangaji memusatkan seluruh perhatiannya. Mendadak dia seperti terhentak.
Ih! Bukankah gerak-gerik dan corak ilmu silatnya seperti Surapati, pemuda
yang menyerangku di Jakarta dulu? Ah—apa dia seperguruan dengan
Surapati...? pikir Sangaji.


Memikir demikian, perhatiannya makin terpaku. Ia melihat pemuda itu mulai
bisa me-nguasai




Nuraini dengan kecepatannya. Sekarang mulai nampak juga, sukar untuk
membalas menyerang. Mempertahankan diri, belum tentu dapat tahan lama.


Pemuda ini lebih mahir daripada Surapati. N'uraini bukan lagi tandingnya,
pikir Sangaji. Lalu ia telah mendapat kepastian. Pikirnya, sebentar lagi,
kalian akan diumumkan menjadi sepasang suami-isteri..."


Mustapapun girang menyaksikan jalannya pertempuran. Dengan bekal
pengalamannya tahulah dia, siapa yang bakal menang dan kalah. Maka dia
berseru, "Nuraini, anakku! Sudahlah, tak usah kau lawan lebih lama lagi!
i_awanmu menang jauh daripadamu ..."


Tetapi dia sedang berkutat mati-matian melawan si pemuda. Seman Mustapa tak
digubrisnya. Bahkan ia merasa diri seperti direndahkan di depan umum.
Itulah sebabnya, timbullah ketekatannya. Tanpa mempedulikan segala, lantas
saja dia menyerang. Inilah bahaya.


Melihat dia menyerang, si pemuda ningrat berkata dalam hati, eh, kamu
nekad. Kalau aku mau menjatuhkan segampang memuntir leher itik. Cuma
sayang, kamu begitu jelita.


Benar saja. Begitu Nuraini merentang kaki hendak menjejak, si pemuda
mengibaskan tangan dan dengan gesit akan menangkap. Nuraini tahu bahaya.
Cepat-cepat ia menarik kembali dengan dibarengi sebelah kakinya menusuk
pinggang. Si pemuda tak menjadi gugup. Kaki itu disambarnya. Karena Nuraini
berlaku cepat, celananya saja yang kena terkam. Celaka! Celana itu kena
dirobek sampai di bawah lutut. Seketika itu juga nampaklah kulit lututnya
yang bersih kuning.


Penonton bersorak kaget. Nuraini tak kurang kagetnya. Tetapi si pemuda jadi
gembira. Tiba-tiba saja terpancarlah nafsu birahinya. Cepat luar biasa ia
menyerang dan kembali lagi menangkap kaki Nuraini sambil tangannya yang
lain merangkul punggung.


Semenjak celananya kena dirobek pemuda itu sampai di bawah lutut, hati
Nuraini sudah menjadi keripuhan. Karena itu, dengan gampang si pemuda dapat
menangkap kakinya embali. Baru sekarang, dia menjadi malu penar-benar dan
sadar akan kelalaiannya.


Penonton bersorak lagi. Kali ini bernada gembira dan meriuh. Tetapi yang
penasaran aan cemburu, menggerutu dan memaki-maki rialam hati. Yang agak
tebal agamanya, segera menngundurkan diri karena melihat suatu pemandangan
mengerikan di depan umum. Tetapi si pemuda tak peduli. Kaki Nuraini makin
diangkat naik, sehingga tak bisa berkutu lagi. Kemudian berkata,
"Bagaimana, nona?"


Dengan suara perlahan, Nuraini meminta, "Lepaskan aku!"


Si pemuda ningrat tertawa. Menyahut. "Perkara melepaskan sih, gampang.
Panggillah aku 'kangmas' terlebih dahulu!"


Nuraini mendongkol diperlakukan demikian. Serentak ia meronta, tetapi
benar-benar tak berdaya. Pemuda itu menggenggam kakinya erat-erat dan
pelukannya makin merapat. Me-ihat itu, Mustapa segera maju menghampiri.


"Paduka telah menang. Tolong lepaskan akinya!"


Si pemuda tak menggubris. Ia bahkantertawa melebar. Pelukannya kian erat
dari kaki Nuraini diangkat kian tinggi. Karuari Nuraini bertambah malu.
Kini, timbullah kemarahannya. Dengan sekuat tenaga ia menje jakkan kaki dan
melesat maju. Dan terlepaslah kakinya. Tetapi si pemuda tak mau dikalahkan.
Tangannya menyambar lagi dan robeklah! celana si gadis. Sekarang
benar-benar sampai di pangkal lutut.


Nuraini terpaksa berjongkok sambil mera- patkan robekan celananya. Ia
hampir mena-j ngis karena menanggung malu. Sebaliknya si pemuda tertawa
berkikikkan. Penonton yang rada-rada mempunyai bakat bajul, lalu berteriak
menyetujui.


"Robek terus, nDoromas! Sekali-kali bolehlah dia mengalami telanjang di
depan umum." Mendengar mereka berkata demikian pemuda itu merasa mendapat
hati. Matanya menyala dan


tertawanya kian berkikikkan Senang dia melihat Nuraini kerepotan menutupi
lututnya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar