7.27.2019

*Lewat Secangkir Kopi [6]*

*Lewat Secangkir Kopi [6]*


Yang bisa aku harapkan hanya Shota bersedia untuk menceritakan padaku isi
pembicaraan itu.


Tidak sampai setengah jam, tamu itu sudah berpamitan. Aku segera bergegas
menghampiri Shota. Namun, belum sampai aku ke mejanya, Shota buru-buru
melangkah ke belakang, menaiki anak tangga ke lantai atas. Aku mendengar
pintu kamarnya tertutup keras. Cepat-cepat aku mengejarnya.


"Shota... Shota...!"


"Ada apa?" Shota menjawab. Nada bicaranya terdengar sedikit tak terkontrol.
Aku mengetuk pintu kamarnya lagi. Shota pun menyahut dari dalam bahwa ia
tidak ingin diganggu, oleh siapa pun. Aku terdiam ketika itu. Aku tidak
mengerti kenapa Shota jadi bersikap aneh setelah beberapa detik yang lalu
ia bersikap sangat hangat kepadaku. Aku mengalah. Kuputuskan untuk kembali
turun ke kedai sambil menunggu Shota keluar
dari kamarnya.


Di depan kasir kedai, Edo menanyaiku tentang rencana kepergian Shota ke
Jepang. Aku sedang melamun sehingga tak kudengar pertanyaan Edo. Dia pun
harus bertanya untuk kedua kalinya. Karena aku tidak tahu sama sekali apa
yang ia maksud, aku hanya bisa menggeleng.


"Ke Jepang apa?"


"Lho, memangnya Mbak Ayu nggak tahu? Memangnya tadi nggak dengar Shota-san
bilang apa?" Edo bertanya padaku, sengaja memperhitungkan penguasaan bahasa
Jepang-ku yang boleh dibilang nol jongkok. Aku menatap kesal ke arahnya.


"Sori, nih, bukannya nyindir, Mbak.


Tapi, Shota-san kayaknya mau pergi ke Jepang, deh!"


"Kamu tahu dari mana, Do?"


"Mbak, tadi aku dengar sendiri waktu Shota-san ngobrol sama tamunya. Si
tamu bilang, dia harus segera pergi ke Jepang. Begitu...," Edo menjelaskan
padaku. Aku lupa, Edo mengambil kuliah jurusan bahasa Jepang. Sudah pasti
ia mengerti apa yang dibicarakan oleh mereka. Aku segera mendekati Edo dan
memintanya mengingat semua hal yang ia dengar dari perbincangan Shota dan
tamunya. Sayangnya, Edo cuma dengar bahwa si tamu mau ke Jepang, itu saja.


Biasanya, aku baru tutup kedai ketika malam sudah tiba. Namun, kali ini aku
tutup lebih awal. Edo telah pulang dan aku menutup semua gorden jendela
kedai. Kudengar langkah Shota menuruni tangga menuju dapur belakang. Aku
segera menyiapkan makan malam untuknya. Shota duduk di dekat halaman
belakang. Tubuhnya menyandar pada tembok dan pandangannya tertuju pada
tanaman-tanaman kecil yang tertata rapi dalam berbagai macam pot berukuran
kecil. Ia mengenakan celana panjang dan sweater panjang bertudung. Ia
kelihatan kaku seperti biasanya.


"Aku mau kopi," Shota berbicara pelan, tapi matanya tidak menoleh ke arahku.


Aku ke dapur untuk menyiapkan kopi untuknya. Begitu aku kembali sambil
membawa kopi, kutemukan Shota telah ketiduran. Ia kelihatan sangat letih,
walaupun hari ini tidak bekerja. Ia terlelap menyandar pada dinding tembok.
Tangannya terlipat dan kacamatanya sedikit turun tersangkut pada batang
hidungnya yang mancung. Aku mendekatinya. Tadinya aku cuma ingin
membangunkan nya dan menyuruhnya makan. Tapi, melihat tidurnya yang pulas
itu, aku mengurungkan niatku.


Kupandangi wajahnya yang putih kepucat-pucatan. Kugerakkan tanganku
perlahan menyentuh kacamatanya. Aku ingin membetulkan posisinya, tapi sulit
sekali, karena itu kulepas kacamata itu dari pandangannya. Tidak kuat
menahan betapa memesonanya dia, kubiarkan tanganku lancang menyentuh
kulitnya, menyentuh wajahnya, menyentuh setiap bagian kecil dari hidupnya.
Aku pun ingin menyentuh hatinya.


Aku tidak tahu apa yang sedang kurasakan, apa yang sedang Shota rasakan.
Kami seperti terjebak dalam satu situasi yang sama. Kami telah hidup
bersama, membawa masalah hidup kami masing-masing. Aku tidak pernah tahu
apa yang pernah dialami oleh Shota. Namun, melihat pandangan matanya yang
terlihat tidak hidup, aku mengerti bahwa persoalannya jauh lebih sulit dari
yang kupunya. Tapi, Shota berbeda dari laki-laki yang pernah kukenal. Aku
merasakan kehangatan yang luar biasa setiap kali duduk di sisinya,
mendengarnya berbicara dengan nada yang kaku. Aku merasa sangat aman berada
di sisinya.


Kusentuh kembali wajahnya yang kelihatan lelah. Kupandangi berulang kali
sesosok dirinya di hadapanku. Aku tidak yakin, bisakah seumur hidup aku
bersama pria ini? Pria yang diam-diam menghangatkan hatiku yang sudah membeku?


Shota terbangun ketika itu juga. Perlahan, kedua matanya mulai terbuka.
Cepat-cepat aku menjauh darinya. Kuberikan secangkir kopi untuknya, namun
ia menolak. Aneh mengetahui bahwa kali ini ia menolak kopiku.


"Maaf, Yu, aku ngantuk sekali…."


"Tidak apa-apa," kujawab seadanya. Shota menatapku ketika itu. Lama sekali.


"Kalau boleh, maukah kau tidur bersamaku malam ini? Maukah kau menemaniku
malam ini?"


Jantungku berdetak kencang saat kata-kata itu terdengar di telingaku. Shota
tidak berhenti menatapku. Aku menunduk mengetahui ia tidak berhenti
mengalihkan pandangannya dari hadapanku. Aku tidak menjawabnya. Aku takut
sekali mengatakan ya. Aku takut juga akan menolaknya. Secara hukum kami
benar-benar sah untuk tidur bersama, tapi apa perasaan ini juga akan
mengesahkan dua insan yang saling menyimpan misteri hidupnya?


"Kenapa tidak dijawab?" Shota bertanya, pandangannya masih belum lepas
dariku. Ia beranjak dari tempatnya, mendekatiku, memegang telapak tanganku.
Aku tidak mengerti apa yang terjadi, namun ada kekuatan yang begitu
besarnya merobohkan semua pertahananku. Ada kekuatan besar yang membuatku
diam tak berdaya mengiyakan semuanya. Shota menggandeng tanganku,
menuntunku menuju kamarnya. Ia menyihirku untuk naik ke ranjang dan
berbaring di sampingnya.


"Aku ingin kau tetap berada di sampingku, itu saja."


Shota memelukku dari belakang. Aku berbaring dengan perasaan tak keruan.
Sebagian tubuhku merasakan kehangatan yang lembut, beberapa di antaranya
merasakan ketegangan yang luar biasa. Shota tetap melingkarkan tangannya ke
tubuhku. Berulang kali ia mengatakan bahwa ia sangat kedinginan. Makin
dingin yang ia rasakan, makin kencang lingkaran tangannya di tubuhku. Aku
balikkan tubuhku, menghadap ke arahnya.


Suhu tubuhnya dingin sekali, sementara aku benar-benar merasa panas. Apa
yang dirasakan oleh Shota? Kenapa hanya ia seorang yang merasa begitu
dingin? Apa ia kena demam? Aku mulai khawatir. Kuperiksa kepalanya dan suhu
tubuhnya. Kepalanya panas sekali. Aku segera beranjak dan mencari
termometer. Kupasangkan pada ketiaknya, dan begitu termometer itu berbunyi,
suhunya mencapai 39 derajat Celsius.


Aku turun untuk mengambil baskom berisi air hangat. Kuambil handuk kecil
dan kukompres kepalanya berulang kali. Aku tidak bisa diam menunggunya. Apa
yang membuatnya demam? Seharian ini ia ada di rumah, kok! Kuingat-ingat
lagi apa yang telah dilakukannya sejak pagi tadi. Aku baru ingat, ia belum
makan. Mungkin ia demam karena telat makan sejak siang tadi. Bagaimana bisa
aku lupa kebiasaan buruknya itu? Aku cari obat penurun panas. Setelah ia
meminumnya, ia kembali tertidur. Aku kompres lagi kepalanya dan aku cek
lagi apakah suhu panasnya sudah turun. Kulakukan itu berulang-ulang. Aku
pun mulai mengantuk dan terlelap di sampingnya hingga pagi.


"Shota?" tanganku meraba-raba sisi kiri kasur agar mendapati tubuh Shota di
sampingku. Waktu tanganku terus menjelajah, Shota tidak tergapai. Aku
segera terbangun. Aku melihat ke arah jam dinding Shota dan melihat jam
sudah menunjukkan pukul delapan pagi. Sial!! Lagi-lagi aku kesiangan!

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar