7.29.2019

@bende mataram@ Bagian 98

@bende mataram@
Bagian 98


Kartawirya terkejut. Mendadak wajahnya jadi agak pucat. Katanya minta
penjelasan. "Apakah gurunya pendeta gila yang bernama Hajar Karangpandan?"


Mereka berdua tertawa mendongak.


"Ah!" Kartawirya benar-benar terkejut. Memang antara golongannya dengan Ki
Hajar Karangpandan mempunyai ganjelan dalam. Dua belas tahun yang lalu,
anak buah sang Dewaresi yang diutus mengawal Keris Tunggulmanik dan Bende
Mataram, bisa dirampas Ki Hajar Karangpandan. Rombongan yang terdiri dari
dua puluh orang, mati semua tiada seorangpun yang selamat.


"Ah, tak mungkin! Tak mungkin!" seru Kartawirya. "Pendeta gila itu
mempunyai sejarah buruk terhadap sang Dewaresi. Dia seorang musuh bebuyutan
kaum ningrat. Sedangkan sang Dewaresi adalah sekutu Pangeran Bumi Gede.
Bagaimana bisa Pangeran Bumi Gede membiarkan puteranya berguru pada musuh
kaum ningrat?"


Manyarsewu menyahut, "Apa kaukira Dewaresi mempunyai hubungan baik dengan
Pangeran Bumi Gede? Eh, seperti kau tak mengenal peraturan dunia. Kalau
saja sekarang mau akur, semata-mata bukan karena tali persekutuan melainkan
karena kepentingan yang sama."


"Apa itu?"


"Masa kau tak tahu? Pemimpinmu kepengin menjadi Bupati Banyumas yang syah.
Sedangkan Pangeran Bumi Gede mengharap bisa mendapat bantuannya untuk suatu
tujuan Jertentu."


"Mana bisa pemimpinku gila pangkat? Biarpun bukan seorang bupati, tapi
kekua-saannya melebihi seorang adipati mancanegara." Kartawirya membela
kehormatan pemimpinnya.


Manyarsewu dan Cocak Hijau tertawa melalui hidung. Sejurus kemudian berkata,


"Baiklah kalau begitu kehadiranmu di Pekalongan bukankah seaneh Ki Hajar
Karang-pandan menjadi guru putera Pangeran Bumi Gede?"


Kartawirya diam menimbang-nimbang. Berbicara mengenai keanehan, memang
kehadiran pemimpinnya di Pekalongan untuk nemenuhi undangan Pangeran Bumi
Gede susah ditebaknya.


"Pendek kata, Pangeran Bumi Gede bukan orang sembarangan. Kau tahu?" ujar
Cecak Hijau. "Beliau seorang pangeran yang pandai berergaul dan yang
mempunyai hari depan gemilang. Kalau sedari siang-siang kita bisa
menyesuaikan diri, bukankah kita bakal kebagian rejeki? Nah, lihat
pertarungan mereka!"


Mereka bertiga lantas saja melepaskan pandangannya ke arah gelanggang.
Sangaji ternyata




merubah tata-berkelahinya. Kini dia tak bergerak banyak. Malahan nampak
seperti berajal-ajalan. Tubuhnya terjaga rapat, sehing-a ke mana saja si
pemuda ningrat hendak Imelepaskan serangannya selalu batal.


"Cocak Hijau! Kau sudah tua bangkotan, coba tebak darimana asal
tata-berkelahi anak muda itu!"


Cocak Hijau diam sejenak. Ia mencoba menebak. Tetapi ternyata sia-sia belaka.


Akhirnya berkata, "Kelihatannya ilmunya kacau tak karuan. Pasti bukan
seorang guru-nya".


"Kau tua bangkotan benar," sahut Manyarsewu tertawa berkakakkan. "Melihat
gerak-geriknya dia ahli waris seorang guru yang mengutamakan tenaga jasmani."


"Hai! Bukankah hampir serupa dengan tata-berkelahinya si Kodrat dulu?" seru
seseorang dari jauh sana.


Mustapa mengamat-amati orang yang berseru itu. Ternyata ia seorang
laki-laki yang berperawakan pendek buntet. Kepalanya botak. Berkumis putih
agak tak terpelihara. Dia mengenakan pakaian putih pula seperti Kartawirya.
Meskipun Mustapa belum mengenal siapa dia, tapi dengan cepat dapat menebak
kalau dia termasuk dari golongan Kartawirya anak-buah dari orang yang
disebut sang Dewaresi. Nampaknya dia lebih tangguh daripada Kartawirya.
Mestinya kepandaian-nyapun bukan sembarangan. Selagi dia berpikir, mendadak
Kartawirya melompat ke dalam gelanggang sambil berteriak dengki, "Ah,
celaka! Kaulah bocah yang main gila...!"


Semua orang kaget. Mustapa sendiri sampai tersirat darahnya. Segera ia
bersiap hendak menolong Sangaji, jika Kartawirya terus menyerang. Tapi di
luar dugaan, Kartawirya bukan menyerang Sangaji, melainkan mengarah kepada
pemuda yang menggenakan pakaian kumal. Pemuda itu memekik terkejut. Terus
dia lari berputaran sambil memekik-mekik, "Ayo! Ayo! Ayo bermain
tikus-tikusan!"


Sangaji sedang menumpahkan seluruh perhatiannya, la heran, ketika mendengar
suara yang sudah dikenalnya. Itulah suara pemuda kumal yang dulu menjadi
temannya makan di restoran Nanking Cirebon. Tatkala ia mengerlingkan mata,
hatinya terkesiap. Pemuda ini sedang diuber-uber Kartawirya yang dulu
mengancamnya di losmen Cirebon. Perhatiannya jadi buyar, sehingga ia kena
tendang lawannya.


"Berhenti dulu!" ia berseru, sambil melompat ke luar gelanggang. "Aku
hendak pergi sebentar. Segera aku kembali."


"Lebih baik kau mengaku kalah ..." ejek lawannya.


Sangaji tidak ada niat mau berkelahi mati-matian dengan si pemuda ningrat.
Pikirannya sedang kusut, karena memikirkan nasib pemuda kumal yang sedang
diuber-uber Kartawirya. Mendadak, sewaktu ia hendak mengejar Kartawirya, si
pemuda kumal nampak kembali sambil tertawa senang. Ia lariberputar-putar
dengan mata berseri-seri. "Ayo! Ayo! Ayo main tikus-tikusan!" Dan di
belakangnya, nampak Kartawirya menguber dengan muka penasaran.


Kartawirya mencoba menubruk dengan sekuat tenaga. Tetapi si pemuda kumal
ternyata sangat gesit, la meloncat tinggi dan terus lari berputaran. Dan
dia benar-benar dapat bergerak segesit tikus. Karuan saja Kartawirya
mendongkol bukan main sampai dadanya serasa hampir meledak. Mulutnya lantas
saja bekerja, la memaki kalang kabut tak karuan juntrungnya.


Penonton jadi tertawa bergegaran. Inilah permainan lain lagi yang tak
kurang menarik perhatian. Mereka bersorak-sorak gembira. Dan si pemuda
kumal bertambah gembira. Ia lari berlompat-lompatan. Sekarang gayanya
seperti seekor kuda lagi meloncati galah. Dan demikian Kartawirya tambah
menjadi-jadi. Karena merasa dipermainkan, serentak ia menghunus sebilah
golok bermata cabang tiga. Ia terus memburu sambil menyabetkan goloknya.




Seketika itu juga, penonton jadi terdiam. Hati mereka tegang luar biasa
karena mence-maskan si pemuda kumal, bahkan kian edan-edanan. Dia lari
berputar, kemudian melesat dengan sekali melompat. Mendadak melesat kembali
seolah-olah mau menubruk dada. Karuan saja Kartawirya menjadi keripuhan.
Masih dia menyabetkan goloknya. Tapi pemuda kumal itu meloncat tinggi dan
di luar dugaan bisa mengemplang pipi pulang pergi, sehingga raut muka
Kartawirya jadi merah ungu seperti jantung babi.


"Ayo! Ayo! Sekarang bermain kuda lumping!" teriak si pemuda kumal sambil
tertawa mengejek. Ia mencibirkan bibirnya sambil melambai-lambaikan tangannya.


"Bangsat! Jangkrik! Babi! Kambing! Itik! Iblis! Setan! Gendruwo! Kuda!"
maki Karta-wirya kalang-kabut. "Kalau aku tak berhasil membeset kulitmu,
lebih baik kumakan sendiri tulang-tulangku...!"


la terus melejit, tetapi si pemuda kumal tak takut. Dia bahkan memperhebat
ejekannya sambil bersumbar-sumbar. Kemudian lari memasuki gelanggang. Tak
lama lagi menyusup di antara penonton dan muncul kembali seperti orang
bermain kucing-kucingan.


Penonton yang kena disusupi, jadi bubar berderai. Tetapi mereka bergembira.
Mereka tertawa riuh bergegeran. Apa lagi jika menyaksikan Kartawirya makin
lama makin jadi kalap.


Pada saat itu, muncullah tiga orang lagi yang memburu si pemuda kumal
dengan serentak. Perawakan mereka berbeda-beda. Yang seorang tinggi kurus
bermuka bopeng. Itulah dia si Setan Kobar. Yang kedua, berperawakan pendek
gendut. Dialah Cekatik gelar Simpit Ceker Bebek. Dan yang ketiga seorang
pemuda bernama Maling. Merekalah dulu yang ter-gantung di atas pohon.
Mereka berteriak-teriak kacau, "Kurang ajar iblis kuda! Kauanggap apa sih
kami ini, lantas kaugantung di atas pohon?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar