7.28.2019

@bende mataram@ Bagian 97

@bende mataram@
Bagian 97


Sangaji merasa, ia menang tenaga. Maka itu, cepat-cepat ia mengumpulkan
tenaga lagi. Kemudian mengadu tumbukan. Si pemuda ningrat terpaksa pula
melayani. Dengan begitu, mereka berdua lantas saja jadi berkutat.


Perlahan-lahan tapi pasti, Sangaji berhasil mendorong lawannya. Diam-diam
ia gembira. Ia sudah memikirkan pula jurus berikutnya untuk meruntuhkan
lawan. Tetapi tiba-tiba tenaga lawannya hilang begitu saja. Tak ampun lagi
tubuhnya lantas saja terhuyung ke depan, karena tak sempat lagi menahan
diri. Selagi ia terhuyung, tangan lawannya melayang memukul punggungnya.
Masih dia berusaha menangkis dengan memutar tubuh. Tetapi lawannya bukan
lawan bodoh. Begitu ia berpaling, lantas saja kaki lawannya menendang lututnya.


Sangaji jadi keripuhan. Tubuhnya tak dapat ditahannya lagi. la jatuh
terbalik untuk yang kedua kalinya. Tetapi kali ini, tubuhnya tak! sampai
mengenai tanah. Dengan cepat siku-nya disanggakan, lalu kakinya menjejak
dada lawannya sangat sebat.


Ternyata lawannya dapat mengelakkan diri. Tetapi Sangaji mendadak saja bisa
meneruskan menyerang beruntun. Kali ini, dia menggunakan jurus-jurus ajaran
Wirapati dan Jaga Saradenta dengan berbareng. Itulah sebabnya, sekarang ia
nampak tangguh dan cepat. Jurus ajaran Wirapati dan Jaga Saradenta sangat
berbahaya jika dilakukan dengan berbareng. Apabila sekali mengenai tubuh
lawan, bisa memisahkan tulang-belulang. Untung Sangaji bukan seorang pemuda
yang kejam. Ia sadar, kalau dirinya tak mempunyai permusuhan mendalam
dengan si pemuda ningrat. Tujuan perkelahian itu, semata-mata hanya
mendesak agar si pemuda mau membayar pulang harga celana Nuraini.


Tetapi lawannya berpikir sebaliknya. Melihat Sangaji bertempur dengan
jurus-jurus yang sangat berbahaya, lantas saja ia memikirkan suatu
tipu-muslihat lagi. Ia sengaja membuka dadanya, seolah-olah mengesankan tak
dapat menjaga diri.


Sangaji kena terjebak. Melihat dia membuka dada, tak sampai hati ia
meneruskan serangannya. Ia menarik tangannya. Kini hanya mengarah kepada
lambung. Tak tahunya, ini-lah kejadian yang diharap-harapkan lawannya.
Begitu ia sembrono, kedua tangan lawannya lantas saja bekerja. Yang sebelah
kiri menyodok lengan dan yang sebelah kanan menumbuk dada.


Sangaji kaget. Cepat-cepat ia menarik kedua tangannya untuk melindungi
dada. Mendadak lawannya membatalkan pula serangannya. Kali ini hanya
menyambar dan menangkap pergelangan. Kemudian sambil menarik kuat ia
melompat tinggi. Kakinya menjejak paha Sangaji dan terus melesat ke udara
berjumpalitan. Karuan saja, Sangaji jatuh terbalik kena dorongan tenaga.
Mukanya sampai mencium tanah begitu panjang.


Mustapa kala itu telah terbebat rapi. Kedua pergelangan tangannya, dapat
digerakkan sedikit meskipun nyeri luar biasa. Melihat Sangaji kena
dirobohkan tiga kali berturut-turut, ia merasa iba. Tanpa memikirkan
dirinya sendiri, lantas saja ia maju menolong membangunkan Sangaji. Ia
tahu, Sangaji bukan lawan si pemuda ningrat. Maka ia berkata menyabarkan,
"Anak muda, jangan layani dia. Apa gunanya berkelahi melawan seorang anak
muda yang tak mempunyai harga diri?"


"Sangaji roboh dengan kepala berputaran dan mata kabur. Ia tak mengira,
diperlakukan lawannya begitu kejam. Sedangkan tadi, ia berlaku memaafkan
kepadanya. Kini, timbullah dendamnya. Serentak ia merenggutkan diri dari
tangan Mustapa kemudian melompat maju.


"Eh ...! Kamu belum takluk juga?" seru si pemuda ningrat.


Sangaji tak menyahut. Ia terus merangsak dengan sungguh-sungguh. Hebat kali
ini, karena dia


tak sudi lagi memberi ampun.


"Bagus!" seru si pemuda ningrat. "Tapi jangan salahkan aku! Aku terpaksa
melayani-mu dengan sungguh-sungguh. Nah mundurlah, sebelum terlanjur!"


"Bayar pulang dahulu celana dia. Baru kita bicara," sahut Sangaji.


Si pemuda ningrat serta pengiringnya terpaksa tertawa geli, menyaksikan
ketololannya. "Hai! Nona itu kan bukan adikmu?" seru salah seorang
pengiring. "Mengapa ngotot?"


Sangaji tak mendengarkan ocehan orang itu. Ia terus merangsak sambil
mengancam lagi, "Kamu bayar pulang tidak?"


"Eh, sahabat!" sahut si pemuda ningrat. "Nampaknya kau mau mengadu nyawa.
Buat apa? Kalau aku kawin dengan gadis itu, apa kamu lantas bisa menjadi
iparku?"


"Aku bukan kakaknya. Mengapa kauhilang seolah-olah dia adikku?" damprat
Sangaji. Benar-benar ia marah kali ini. Matanya melotot, sedang napasnya
kembang-kempis. "Bagus! Kau mau jadi pahlawan? Majulah!" tantang si pemuda
ningrat.


Mereka jadi bertarung lagi. Kali ini Sangaji tak berkelahi dengan setengah
hati. Itulah sebabnya, lambat-laun si pemuda ningrat kena didesak mundur
sampai merasa keripuhan. Dia mencoba mengadu kegesitan, tetapi Sangaji bisa
bergerak dengan gesit berkat ajaran jurus-jurus Wirapati.


Pada saat itu, penonton makin lama makin banyak. Mustapa yang memperhatikan
me-reka, jadi tak enak hati. la sadar, kalau polisi sampai datang urusan
bisa bertambah runyam. Lagi pula, ia tahu kalau di antara mereka terdapat
pendekar-pendekar sakti yang ikut pula memperhatikan jalannya pertempuran.
Pandang mata mereka luar biasa tajam. Di antara mereka ada pula yang
membekali senjata rahasia. Kalau saja mere-. ka tiba-tiba ikut campur
dengan melepaskan senjata rahasia, akan celakalah. Kalau mengenai si pemuda
ningrat, bagaimana bisa dia bebas dari suatu urusan besar. Sebaliknya kalau
mengenai Sangaji, bagaimana mungkin dia membiarkan pemuda itu berkorban
untuk dirinya?


Mendapat pikiran demikian, hati-hati ia menyelinap di antara penonton, la
menaruh curiga kepada segerombol penonton yang sikapnya luar biasa. Orang
yang berdiri di depan, berperawakan tinggi besar. Dia mengenakan kopiah
putih seperti seorang haji. Tapi pandangnya keruh mengingatkan pada
raut-muka seorang algojo. Yang berdiri di sebelah iurinya, seorang
laki-laki berperawakan kurus. Orang ini sudah berusia lanjut. Rambutnya
hampir putih semua. Wajahnya berkerinyut. Meskipun demikian, pandangnya
berwibawa, flfeng berdiri di sebelah kanan, seorang pemu-a berkumis tebal
dan mengenakan pakaian *erba putih. Perawakan tubuhnya kukuh. Dialah
Kartawirya yang dulu mengancam Sangaji di dalam losmen.


"Manyarsewu!" kata laki-laki kurus berusia tenjut. "Kamu datang dari
Ponorogo ke mari, semata-mata hendak memenuhi panggilan Pangeran Bumi Gede.
Bocah ngganteng berpakaian mentereng itu, putera Pangeran Bumi Gede. Apa
kamu mau membiarkan dia dirangsak habis-habisan pemuda tolol itu? Kalau
sampai putera Pangeran Bumi Gede ter-'kika, apa nyawa kita bisa selamat...?"


Manyarsewu adalah seorang laki-laki Berperawakan tinggi besar yang
mengenakan kopiah haji. Mendengar kawannya berkata demikian, ia hanya
tersenyum sambil menjawab, "Cocak Hijau, kauusilan. Meskipun dia mampus di
depan kita, paling-paling ayahnya cuma mematahkan kakimu sebelah. Mustahil
Pangeran Bumi Gede menginginkan nyawamu..."


Mustapa terperanjat. Orang yang bernama Cocak Hijau itu berkata, kalau si
pemuda ningrat adalah putera seorang pangeran. Kalau begitu tak dapat
disalahkan, kalau dia menolak mengawini anakku, pikir Mustapa. Ah,
jangan-jangan inilah permulaan bencana. Kalau dia sampai dilukai pemuda
itu, celaka. Di antara pengiringnya terdapat orang-orang begini perkasa.




"Jangan takut!" sambung Kartawirya. "Berani aku bertaruh, kalau putera
Pangeran Bumi Gede tak bakal bisa dikalahkan. Lihat!"


Manyarsewu tertawa melalui dadanya. Menyahut, "Putera Pangeran Bumi Gede
pasti bisa mentaksir kekuatan lawan. Sepuluh tahun lamanya, kabarnya dia
sudah mengenal ber-macam-macam ilmu silat. Gurunya banyak. Akan sia-sia
jadinya, kalau sekali-kali dia tak mencoba ketangguhan ilmunya."


"Itu benar." ujar Cocak Hijau. "Cuma saja, kalau kita bisa membuat jasa,
akan baik aki-batnya. Pasti kita akan mendapatkan keistimewaan, selama
rapat berlangsung."


"Hihaa... mana bisa beliau senang, seandainya kita datang membantu ..."
Manyarsewu tetap membandel. Mendadak Kartawirya mengalihkan pembicaraan.


"Eh, Paman Manyarsewu dan Paman Cocak Hijau! Ilmu silat dari mana yang
dipergunakan putera Pangeran Bumi Gede? Coba tebak!"


Manyarsewu dan Cocak Hijau tertawa hampir berbareng. Hampir berbareng pula
mereka menyahut, "Anak haram! Kau menguji kami! Ilmu silat yang
dipergunakan terang berbau daerah Gunung Lawu ... Benar, tidak?"


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar