7.23.2019

@bende mataram@ Bagian 92

@bende mataram@
Bagian 92


Waktu itu si tua bangkotan dan si cambang tebal masih saja mengadu omongan.
Lalu Mustapa memberi jalan penyelesaian. Katanya nyaring, "Kamu berdua
berkelahilah dulu. Siapa yang menang, maju melawan aku."


"Bagus!" seru si cambang tebal bergembira. Ia meludah ke tanah sambil
merapikan pa-kaiannya. "Ayo kita mulai, hai anjing buduk!" tantangnya.


Si tua bangkotan gusar bukan kepalang. Terus saja dia mengirimkan tinjunya.
Begitulah, maka mereka berdua lantas saja berkelahi amat serunya.


Sangaji memperhatikan cara mereka berkelahi. Masing-masing mempunyai
gerakan-gerakan tubuh yang berbeda. Si cambang tebal mengandalkan
keperkasaan tubuhnya.


Tinjunya menyambar-nyambar hebat dan bergemuruh. Sebaliknya, si tua
bangkotan seperti mempunyai ilmu kebal. Ia tak takut kena gebuk. Malahan,
seringkali kepalanya sengaja dibuat perisai.


Satu kali, si cambang tebal berhasil menggebuk si tua bangkotan sampai
empat kali beruntun. Tapi. si tua bangkotan, benar-benar bandel. Gebukan
hebat itu tak dihiraukan. Ia menyusup ke bawah ketiak dan menumbuk perut si
cambang tebal. Tumbukan itu sama sekali tak terduga-duga. Si cambang tebal
terpental dan jatuh cekakaran di atas tanah. Keruan saja penonton jadi
tertawa mengguruh, mengingat lagaknya yang tadi begitu merendahkan si tua
bangkotan.


Sejalan dengan watak orang Jawa Timur, si cambang tebal itu tak mau dihina
orang. Ia lebih suka mati daripada menanggung hinaan. Cepat ia bangkit dan
menghunus golok. Serunya, "Anjing buduk, kau mempunyai ilmu kebal. Sekarang
coba tahan bacokanku."


Si tua bangkotan jadi was-was. Ia mencabut senjatanya pula yang berupa
sebuah pengga-da terbuat dari besi. Melihat mereka mencabut senjata,
penonton jadi ketakutan.


"Tahan mereka!" terdengar seruan di antara penonton.


Mendengar teriak penonton, Mustapa jadi tersadar. Kalau sampai terjadi
suatu pembu-nuhan, mau tak mau ia akan diseret di depan pengadilan.
Maklumlah, dia yang bertanggung jawab terjadinya arena adu nasib.


Cepat-cepat ia bertindak. Ia maju tertatih-tatih sambil berteriak keras,
"Tahan! Tahan! Tak boleh kalian menggunakan,senjata tajam!"


Dua orang itu sedang bertempur mati-matian. Sudah barang tentu tak
mendengarkan teriakan Mustapa.


Melihat mereka tak menghiraukan dirinya, mendadak ia melesat menyerbu.
Dengan sekali tendang, kedua senjata masing-masing kena dikaburkan. Sehabis
itu ia menghajar masing-masing pula dengan satu depakan. Kedua-duanya
terpental jatuh dengan napas kempas-kempis.


Para penonton kagum kepada keperkasaan Mustapa, sampai mereka bersorak
memuji. Sama sekali mereka tak menyangka, kalau si buntung bisa berkelahi
begitu hebat. Dengan garang ia menantang si tua bangkotan dan si cambang
tebal. Kedua-duanya menjadi kuncup dan pergi meninggalkan gelanggang dengan
berdiam diri.


Sangaji kini mengamat-amati Mustapa. Perawakan Mustapa tinggi besar.
Dadanya bidang dan mengesankan bentuk tubuh yang kekar. Punggungnya bungkuk
sedikit, tetapi pandang




mukanya tajam berwibawa. Sayang, agak keruh dan berkerinyut. Rambutnya
sudah separoh putih. Dibandingkan dengan kekekaran tubuhnya, rambutnya
putih terlalu cepat. Teringatlah dia tutur-kata orang, kalau orang yang
banyak berduka akan cepat menjadi tua.


"Ayo, kita pulang. Tak perlu lagi menginap di kota ini. Kita terus ke
Semarang!" katanya mendongkol kepada Nuraini.


Si gadis mengangguk dan penonton siap bubar. Selagi mereka hampir
berpencaran, ter-dengarlah suara tapak kuda berderapan. Beberapa penunggang
kuda datang menghampiri lapangan. Dilihat dari pakaiannya, terang mereka
bukan penduduk Pekalongan. Yang berada di depan adalah seorang pemuda yang
berpakaian amat mentereng. Roman mukanya tampan luar biasa. Sangaji
terkejut. Begitu melihat si pemuda, lantas saja dia mengenalnya. Itulah si
pemuda mentereng yang dulu menyerang dirinya di restoran Nanking Kota Cirebon.


Yang menunggang kuda di belakangnya berlaku sangat hormat kepadanya.
Ternyata mereka adalah pengiring si pemuda. Mereka segera menghentikan
kudanya, tatkala si pemuda mentereng menahan les. Si pemuda mentereng
ternyata sedang memperhatikan gelanggang. Ia heran melihat kesibukan orang.
Saat pandang matanya tertumbuk kepada Mustapa dan Nuraini, hatinya jadi
tertarik. Segera ia menghampiri dan bertanya minta penjelasan, "Apa sudah
bubar?"


Dengan gugup, Mustapa menghadap padanya. Sekali pandang tahulah dia, kalau
pemuda itu pasti bukan orang sembarangan. melihat dandanannya paling tidak
anak seorang adipati atau pangeran.


"Sebenarnya ini pertunjukkan Gendang Pencak," jawabnya hormat. "Gendang
Pencak? Apa itu?"


Mustapa kemudian menerangkan dengan sejelas-jelasnya. Si pemuda jadi makin
tertarik. Katanya, "Apa dia yang bernama Nuraini?"


Mendengar namanya disebut, Nuraini menundukkan pandang. Wajahnya memerah
dadu. Justru begitu, kecantikannya malahan bertambah. Ia berusaha membuang
muka ke samping. Jantungnya berdegupan. Selama merantau hampir ke seluruh
pulau Jawa, belum pernah ia menjumpai seorang pemuda begitu tampan.


Ternyata pemuda itu tertarik pula pada kecantikan wajahnya. Ia melompat
turun dari kudanya dan buru-buru salah seorang pengiringnya menyambar les.


"Bagaimana aturan pertandingan ini?" tanyanya.


Mustapa segera memberi penjelasan dengan sikap sangat hormat. "Hm ... apa
aku boleh mencoba-coba?" kata si pemuda.


"Ah, paduka bergurau ..." sahut Mustapa dengan tertawa lebar. "Kenapa aku
mesti bergurau?"


"Sebabnya begini. Kami ini termasuk rakyat jelata, tetapi sebisa-bisanya
meniru adat para kesatria. Kalau berkata satu harus satu. Kalau sudah
berjanji, pantang mengingkari," ujar Mustapa. "Nuraini diserahkan almarhum
ayahnya kepadaku. Kubawa dia berkeliling ke selu-ruh negeri dengan harapan
agar cepat mendapat jodoh. Barang siapa mampu mengalahkan, dialah jodohnya.
Baik Nuraini maupun yang akan mencoba kepandaiannya, masing-masing terikat
janji kesatria ..."


"Apa selama ini belum pernah ada yang mengalahkan?" si pemuda memotong
seolah-olah tidak mendengarkan ujar Mustapa.


"Seluruh daerah Jawa Timur dan hampir seluruh daerah Jawa Tengah pernah
kami lalui. Jika sudah ada yang berhasil mengalahkan, tentu saja tak bakal
kami tiba di Pekalongan."


"Ah! Masa tidak ada yang bisa mengalahkan? Aku tak percaya."




"Benar." Mustapa mencoba mempertahankan. "Barangkali, karena para pendekar
segan memenuhi harapan kami berdua. Mungkin karena suatu alasan tertentu.
Mereka sudah beristeri atau karena tak tega bertarung melawan Nuraini..."


"Kalau begitu, biarlah aku mencoba-coba. Ayo!" kata si pemuda. Mendengar
kata-kata si pemuda yang diucapkan dengan jelas, penonton yang hampir
bubaran berkumpul kembali. Sebentar saja arena pertandingan penuh sesak.
Yang tadi membuat pertaruhan, mulai pula berunding dan mencari
petaruh-petaruh baru.


Diam-diam Mustapa girang hatinya. Pemuda itu tampan lagi seorang anak
ningrat. Ia berdoa, moga-moga dialah jodoh si gadis. Nuraini sendiri
menaksir si pemuda. Selama berkeliling ke seluruh wilayah Jawa Timur dan
Jawa Tengah, belum pernah ia bertemu seorang pemuda seperti dia. Roman muka
dan perawakan tubuhnya yang singsat sedang, mengagumkan hatinya. Maka itu,
begitu habis memberi hormat lalu menanggalkan baju luarnya.


Si pemuda mentereng membalas hormat seraya bersenyum. Giginya yang putih
bersih tersembul seleret dari kedua bibirnya.


"Silakan nona. Kaulah yang membuka dulu permainan ini," katanya. "Silakah
Tuan membuka baju luar dulu," balas si gadis.


"Ah, tak usah. Masa permainan akan sampai mengeluarkan keringat?" pemuda
itu berkata dengan angkuh. Dan para penonton yang sudah bisa menilai ilmu
silat si gadis berkata dalam hati, "Eh—kamu berlagak benar. Sebentar kau
akan merasakan gaplokkan-nya ..."


'Tuan! Apakah kita boleh mulai?" Nuraini bertanya. "Kaulah yang membuka
permainan."


"Masa aku dahulu? Mestinya Tuan."


Menimbang kata-kata Nuraini bernada angkuh, pemuda itu tidak berlaku segan
lagi. Tiba-tiba saja ia berkisar ke sudut kanan, sehingga baju luarnya yang
terbuat dari kain sutra, berkibaran. Setelah itu ia melesat berputaran dan
sekonyong-konyong tangan kirinya menyambar secepat kilat.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar