@bende mataram@
Bagian 89
Mereka kemudian tidak berkata-kata lagi. Kesenyapan menyulubungi seluruh
alam. Hanya napas mereka berdua terdengar kempas-kempis. Sangaji
menghampiri pembaringan. Hati-hati ia menidurkan diri. Tapi sampai hampir
pagi, matanya tetap menyala.
Tatkala matahari menjenguk di udara, pelayan rumah penginapan datang
membuka kamar. Pelayan itu mengucapkan selamat pagi dan datang mengantarkan
makan pagi. Sangaji melompat dari tempat tidur. Betapa herannya, Kasun dan
Maling tidak nampak batang hidungnya. Jadi semalam, kamarnya tidak terjaga.
Tapi karena sudah berjanji, ia mempersiapkan diri untuk menemui Kartawirya
di suatu tempat yang sudah ditentukan semalam. Cepat-cepat ia makan dan
segera membayar penginapan. Di luar penginapan, mendadak ia disambut oleh
Kasun. Orang itu memperlihatkan goloknya sambil memberi syarat agar mengikuti.
Kalau mau melawan, Sangaji merasa sanggup menumbangkan pemuda itu. Tetapi
ia -'didik kedua gurunya berwatak kesatria. Sekali berjanji, emoh ia
mengingkari. Maka ia menurut.
Ternyata dia dibawa mengarah ke timur. Sampai di perbatasan wilayah
Cirebon, ia tak menjumpai sesuatu. Kini, hutan panjang mulai lergelar di
depannya. Sangaji mulai berpikir, Guru berada di suatu tempat entah di
mana. Tak mungkin mereka bisa tiba menolong diriku. Daripada aku di hina
mereka, lebih baik kulawan sampai mati.
Mendapat keputusan demikian, hatinya mantap. Ia disuruh menunggu di bawah
pohon. Kasun kemudian pergi meninggalkannya seorang diri. Karena lama tidak
muncul kembali, duduklah dia bersemadi menurut ajaran Ki Tunjungbiru. Getah
Dewadaru lantas saja bekerja. Seluruh tubuhnya terasa hangat dan segar.
Hampir siang hari, dia menunggu. Kasun tak muncul lagi. Ke mana dia? Apa
dia sedang mengatur jebakan bersama teman-temannya? Serentak ia berdiri dan
menghunus pedang. Selangkah demi selangkah ia memasuki hutan. Matanya
dilayangkan ke sekitarnya, hendak berjaga-jaga jika terjadi suatu serangan
tiba-tiba. Sekonyong-konyong teringatlah dia kepada pesan gurunya Wirapati,
'Sekiranya kau merasa tak bisa memenangkan lawan, lebih baik mengundurkan
diri!' Karena ingatan itu dia berpikir, sekarang tidak se-orangpun yang
mengawasi aku. Mengapa aku tak melarikan diri. Hutan ini cukup lebat. Masa
kurang akal untuk menyembunyikan diri?
Ia segera mau melarikan diri, sekonyong-konyong terdengarlah suara makin
kalang-kabut. "Hai monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!"
Ia heran bercampur kaget. Menilik suaranya, itulah lagu-suara si
kurus-bopeng dan ketiga temannya. Dimanakah mereka berada? Sangaji memutar
pedangnya, menjaga suatu kemungkinan. Tapi, mereka tidak juga datang menyerang.
"Hai monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!" Terdengar lagi mereka
memaki *alang-kabut.
Sangaji terkesiap. Cepat ia mendongak. Ia sercengang-cengang sampai berdiri
ter-longoh-longoh. Di atas pohon si kurus bopeng, Cekatik gelar Simpit
Ceker Bebek dan Maling kelihatan bergantungan. Kedua kaki dan kedua tangan
mereka terikat erat-erat. Nampaknya, mereka seperti terkerek ke atas dahan
yang paling tinggi. Tali kerekan ternyata terpancang pada pohon lain,
mereka mencoba meronta-ronta saat melihat Sangaji. Tetapi justru bergerak,
tubuhnya lantas berputaran. Karena di antara seluruh anggota badannya hanya
mulutnya yang bebas, maka mereka memaki kalang-kabut sejadi-jadinya.
Sangaji benar-benar heran. Tetapi melihat rubuh mereka berputaran dan
bagaimana mereka repot hendak berusaha menghentikan Sri. mau tak mau dia
tertawa tergelak-gelak.
"Apa kamu sedang main akrobat? Jangan banyak cing-cong? Ayo turun! Tak sudi
aku Telihat permainanmu." Sangaji agak geli.
Mendengar Sangaji berteriak demikian, si mrus bopeng yang berangasan lalu
memaki *:aJang-kabut lagi, "Monyet! Kambing! Jangkrik! Anak haram jadah!
Moga-moga kau dige-rumuti iblis!"
Sangaji tertawa terbahak-bahak. Ia memang telah memutuskan mau melarikan
diri. Begitu ia melihat mereka berada di atas pohon, bukankah sudah terang
di mana mereka kini berada? Maka ia mengundurkan diri sambil berseru,
"Maaf! Tak bisa aku memenuhi undangan pemimpinmu! Aku terpaksa pergi!"
Mereka memaki kalang-kabut lagi. Kali ini lebih seram dan sibuk. Merasa
diri sebagai anak-buah sang Dewaresi yang disegani orang di seluruh
Banyumas, mereka malu untuk minta pertolongan. Tetapi begitu melihat
Sangaji hampir menghilang di balik belukar, berubahlah pikiran si kurus
bopeng. Ia takut mati kering di atas pohon. Dengan melupakan rasa harga
diri, ia berteriak, "Bocah bagus, kami menyerah kalah! Bebaskan kami dari
siksaanmu!"
Sangaji heran mendengar bunyi teriakannya. Mereka mengira, dialah yang
mengerek-nya ke atas pohon? Ia berpikir sejenak. Kemudian menghampiri
sambil berseru, "Sebenarnya siapa yang menggantungmu?"
"Kau masih saja mau mempermainkan kami? Kalau bukan kamu, siapa lagi?"
Sekarang dia tak ragu-ragu lagi. Pasti ada seseorang yang menolong dirinya
dengan dam-diam. Siapa? Apakah si pemuda mentereng di restoran kemarin?
Menimbang, antara dia dan mereka sebenarnya tidak pernah merasa bermusuhan,
maka ia memutuskan mau menolong juga. Perlahan-lahan ia mengerek mereka
turun sampai ke tanah. Ternyata mereka terikat erat-erat mulai dari leher
sampai ke ujung kaki de-gan tali duk. Pantas mereka tak bisa berkutik sama
sekali.
Sebelum membebaskan ikatan, ia menotok urat-urat nadi mereka agar tak bisa
bergerak. Kemudian pangkal paha di depaki. Sekalipun mereka berkaok-kaok
kesakitan, ia tak mem-pedulikan.
"Mana pemimpinmu yang bernama Kartawiya?"
"Bangsat!" maki si kurus bopeng sambil menahan rasa nyeri. "Bukankah dia
sedang mengejarmu? Kausesatkan di mana dia sekarang?"
Sangaji tak menjawab. Ia melangkah pergi dengan berdiam diri. Berpikir,
Kartawirya mengejar penolongku. Mereka bertiga digan-smg di atas pohon.
Pantas Kasun tidak muncul kembali. Orang itu setelah melihat rekanrekannya
tergantung di atas pohon, diam-diam lalu melarikan diri daripadaku. Diapun
pasti mengira, aku yang menyiksa teman-temannya.
Maka kini ia melangkah dengan mantap. Dalam hati ia memuji penolongnya. Ia
yakin, si penolong memiliki ilmu berkelahi jauh lebih tinggi daripadanya.
Cuma saja, ia tak bisa menduga-duga siapa orang itu.
Ke luar dari hutan, Sangaji meneruskan perjalanannya ke timur. Dua jam
lamanya dia berjalan. Menjelang sore hari, sebuah kereta pos militer lewat
berderapan. Ia berseru hendak menumpang. Mula-mula ditolak, tapi ketika dia
memperhatikan kantong uangnya, maka ia dipersilakan dengan hormat.
Sais kereta pos militer ternyata seorang serdadu asal dari Jawa Timun. Dua
temannya yang lain berasal dari kepulauan Maluku. Usianya sudah
pertengahan. Menurut tutur katanya, lima tahun lagi dia bakal pensiun. Ia
tukang bicara. Selama dalam perjalanan, mulutnya tak pernah berhenti. Ia
bercerita tentang pengalamannya menjadi serdadu. Se-ringkali dia mengalami
pertempuran sengit. Setelah mengisahkan tentang macam pertempuran, tak lupa
pula mengomongkan perkara perempuan. Matanya lantas saja menyala-nyala
seperti anjing serigala. Katanya, semua perempuan yang hidup di seluruh
kepulauan Nusantara, pernah dijelajahinya.
Tak biasa Sangaji mendengar omongan perkara perempuan. Maka cepat saja,
hatinya —erasa muak. Tetapi ia terpaksa mendengarkan. Apalagi merasa berkat
pertolongannya bisa menumpang kereta berkuda. Ia hanya mengharapkan,
moga-moga kereta lekas-tekas sampai ke tempat tujuan.
Pukul sepuluh malam, sampailah dia di Tegal. Ia membayar biaya kereta yang
langsing menjadi milik si serdadu, kemudian cepat-cepat mencari penginapan.
Tetapi mana bisa dia mencari rumah penginapan pada aktu pukul sepuluh
malam. Terpaksa ia beristirahat di teritisan sebuah toko.
Teringatlah dia pada riwayatnya dua belas tahun yang lalu, tatkala dengan
ibunya harus tidur d teritisan pada waktu malam hari. Mengingat hal itu,
terkenanglah dia kepada cinta kasih fcunya. Tanpa sadar, air matanya
berlinangan.
Selagi benaknya dihanyutkan oleh lamunannya, sekonyong-konyong ia mendengar
gen-dang sekali-kali berbunyi dang-ding-dung. la melongok ke jalan.
Dilihatnya seorang laki-laki berjalan pincang sedang menuju ke arahnya.
Laki-laki itu berumur pertengahan. Di pung-gungnya tergantung sebuah
gendang. Ia berjalan bersama seorang gadis kira-kira berumur 18 tahun.
Laki-laki itu membawa si gadis berhenti beristirahat di teritisan toko itu
juga.
Ah, diapun terpaksa menginap pula di sini seperti aku, pikir Sangaji.
Melihat seorang pemuda mengenakan pakaian mahal, laki-laki itu kaget. Ia
mengira, Sangaji adalah anak atau pegawai dari toko tersebut. Maka dengan
hormat laki-laki itu berkata, "Tuan Muda, apakah kami boleh menumpang
beristirahat barang sebentar di sini?"
"Tentu," Sangaji menyahut heran. "Akupun seorang penumpang seperti Bapak."
"Ah!" Laki-laki itu kini menjadi heran. Lalu ia duduk di samping Sangaji,
sambil merentangkan kakinya. Ternyata betis laki-laki itu yang sebelah
kanan, buntung seperti terpagas dan disambung dengan bumbung ).
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar