@bende mataram@
Bagian 84
"Numpang jalan!" ia berteriak nyaring. Ketiga orang itu tertawa. Salah
seorang me-nyahut cepat, "Mengapa mesti permisi dulu? Lewatlah! Kami tak
mengganggumu!"
Sangaji belum mempunyai pengalaman dalam menempuh perjalanan malam ia
mengira dirinya terlalu curiga dan salah duga. Maka ia mengendorkan
kesiagaannya. Dalam hatinya ia malu atas kelakuannya sendiri yang buru-buru
bersikap mencurigai. Tapi tiba-tiba yang lain berkata, "Eh —berapa banyak
isi kantongmu?"
"Mengapa tanggung-tanggung? Sekalian kudanya," yang satunya menyambung
seolah-olah sedang bertukar-pikir.
Sangaji terkesiap, la lantas melihat mereka bertiga melintang jalan, la
memperhatikan keadaan kiri-kanan mereka. Jalan begitu sempit.
Seberang-menyeberang jalan penuh batu bongkahan. Malam gelap pula. Kalau ia
turun dari kuda untuk melawan mereka bertiga, mungkin tak berhasil.
Jangan-jangan si Willem bisa dilarikan selagi dia dibuat sibuk.
Memikir demikian ia menarik les dan balik kembali. Kira-kira sepuluh
derapan, ia berpu-tar lagi sambil menjepitkan kaki. Willem kaget, serentak
menjejak tanah dan melesat bagaikan terbang. Waktu itu tiga pemuda
berpakaian putih mengira, Sangaji hendak melarikan diri.
Buru-buru mereka lari mengejar, tak tahunya Sangaji berputar kembali dengan
tiba-tiba menghentakkan kudanya. Karuan saja mereka terkejut bukan kepalang.
"Awas! Buka jalan!" teriak Sangaji sambil menghunus pedang.
Mereka benar-benar gugup, karena sama sekali tak menduga bakal diterjang
secara mendadak. Tapi begitu mendengar teriakan Sangaji, hati mereka jadi
panas. Seolah-olah telah berjanji, mereka kemudian meloncat berbareng
hendak menyambar les. Tetapi Willem lari amat pesat. Di samping itu, ketika
melihat mereka bergerak hendak menyambar les, Sangaji membentak hebat. Si
Willem berbe-nger dan terus menjejak tanah melewati gundul-gundul mereka.
Kejadian itu di luar perhitungan ketiga pemuda itu. Mereka begitu terkejut
sampai ter-diam beriongong-longong. Darahnya tersirap menusuk kepala. Sama
sekali tak diduganya, kalau kuda Sangaji benar-benar jempolan sampai bisa
meloncat melewati kepala. Coba kurang bertenaga sedikit saja, gundul mereka
bisa tersambar potol.
Sangaji sendiri tak mengira, Willem bisa main akrobat. Tadinya dia hanya
bermaksud memberi semangat tempur agar menerjang ketiga pemuda itu dengan
sepenuh tenaga. Pedang-nya sudah dilintangkan hendak membacok mereka. Tak
tahunya, dia dibawa terbang. Inilah pengalamannya pertama yang luar biasa pula.
Beberapa waktu kemudian, ia mendengar mereka bertiga berteriak-teriak
kalang-kabut.
Mereka memaki-maki sejadi-jadinya karena penasaran. Lalu terdengarlah bunyi
bersuitnya beberapa batang panah. Tetapi Sangaji tak menghiraukan. Larinya
si Willem jauh lebih pesat daripada melesatnya panah mereka.
Hampir semalaman penuh, ia melarikan kudanya—karena takut dihadang yang
lain. Ketika perasaan hatinya merasa tenteram, ia memperlambatkan dengan
bujukan manis. Terima kasih, Willem. Malam ini kau menyelamatkan aku. Besok
pagi aku akan membalas budi. Akan kubelikan kau serbuk halus, gula-gula dan
rumput hijau."
Kemudian ia membawa si Willem beristirahat, la melihat sebuah gubuk yang
berdiri di tepi sungai. Tanpa berpikir lagi, ia memasukinya dan merebahkan
diri. Mulailah benaknya membaca pengalamannya tadi. Kesannya hebat, seram
dan menegarkan hati. Hampir fajar menyingsing ia bergulak-gulik tak dapat
memejamkan mata.
Keesokan harinya, setelah mandi di sungai, ia meneruskan perjalanan.
Pengalamannya semalam, tiba-tiba mematangkan dirinya tanpa disadari
sendiri. Dadanya serasa penuh, pandangnya tajam dan merasa diri menjadi
manusia lain daripada kemarin. Si Willem tetap segar-bugar. Larinya cepat
dan tidak ada tanda-tanda kelelahan. Karena itu, sebentar saja sampailah
dia di perbatasan Kota Cirebon.
Cirebon adalah kota Kasultanan. Meskipun kalah ramai jika dibandingkan
dengan Jakarta, tetapi bukan merupakan kota tak berarti. Cirebon merupakan
kota perhubungan, karena letaknya berada di perbatasan wilayah Jawa Tengah
dan Jawa Barat. Selain itu memiliki pelabuhan yang ramai juga dikunjungi
perahu-perahu dagang dari berbagai pulau.
Sangaji menuntun kudanya dan berjalan keliling kota. Ia menjenguk toko-toko
dagang, menengok pasar dan membeli beberapa keranjang buah-buahan. Setelah
itu ia mencari serbuk halus, gula-gula dan rumput hijau untuk si Willem.
Kebetulan di dekat penjualan serbuk dan rumput, berdirilah sebuah restoran
Tionghoa. Belum pernah sekali juga ia memasuki restoran Tionghoa, tapi
karena perut merasa lapar dan mengingat pula perut si Willem, ia memasuki
restoran itu.
Segera ia memesan sepiring nasi, sepiring daging sapi dan udang goreng.
Itulah macam masakan yang dia kenal. Pelayan yang meladeni tersenyum dan
lekas saja memaklumi, kalau si pemuda tanggung itu bukan golongan
pemuda-pemuda yang sudah mempunyai pengalaman melihat luasnya dunia.
Lantas saja dia memandang kurang kepada Sangaji. Tapi ia bersikap diam,
agar jangan mengecewakan tetamu.
Tengah Sangaji bersantap, terdengar pelayan itu sedang ribut dengan seorang
pemuda yang mengenakan pakaian kumal. Teringat akan pengalaman semalam,
Sangaji terus bangun dan melompat lari menengok kudanya. Ternyata si Willem
masih nampak meng-gerumuti rumput muda dan serbuk halus bercampur
gula-gula. Sekarang ia menaruh perhatian kepada pemuda kumal itu.
Umurnya kira-kira tujuh belas tahun. Kelihatannya bengal dan bandel.
Anehnya, suara-nya kecil nyaring. Meskipun demikian enak didengar, la
mengenakan celana bertambal. Terang, dia seorang pemuda melarat.
"Mau apa lagi kau?" bentak pelayan restoran.
"Sebentar menjenguk dapurmu," sahut si pemuda. Habis berkata demikian,
lantas saja dia masuk dapur dan memungut sepotong daging. Tangannya
ternyata kotor. Sepotong daging itu bentong-bentong kotor karena tangannya.
Keruan saja, si pelayan marah. Tanpa berkata lagi, ia melayangkan tangan.
Di luar dugaan, si pemuda gesit. Ia merendah sedikit dan tamparan itu
melayang bebas di udara.
Sangaji ingat akan nasibnya sendiri, dua belas tahun yang lalu. Meskipun
waktu itu umurnya baru menginjak enam tujuh tahun, riwayat perjalanannya
yang pahit dan sengsara masih teringat lapat-Iapat dalam benaknya.
Terbayanglah betapa nestapa dia, tatkala harus berjalan memasuki tiap kota
dan akhirnya menumpang perahu dari Cirebon. Lalu, betapa hebat deritanya
sewaktu tiba di Jakarta. Terpaksa dia diajak hidup dari teritisan ke
teri-tisan. Untung saja bertemu dengan seseorang dermawan yang kebetulan
bernama Haji Idris. Itulah sebabnya, begitu ia melihat si pemuda dan
perlakuan si pelayan yang kasar, lantas saja dia menjadi perasa.
"Jangan! Jangan!" ia mencegah. "Aku nanti yang membayar sepotong daging
itu." Kemudian kepada si pemuda, "Apa Saudara mau duduk bersamaku?
Barangkali hidangan ini cukup untuk menahan lapar."
Mendengar kata-kata Sangaji yang ramah dan penuh perasaan, si pemuda lalu
ber-senyum. Setelah itu merenggutkan sepotong daging yang telah kotor
olehnya dan dilemparkan ke luar pintu. Katanya nakal kepada pelayan,
"Lihat! Jangan kau kira aku mengotori dagingmu, agar terpaksa kau
memberikan kepadaku."
Di luar pintu, berdirilah tiga ekor anjing buduk. Begitu melihat dan
mencium daging mentah, mereka lalu berebut. Inilah rejeki nomplok bagi
ketiga anjing itu.
"Sayang... seribu sayang..." jerit si pelayan. "Sepuluh tahun aku bekerja
di sini, belum pernah
makan daging sebesar itu seorang diri... Kau tadi bisa berikan kepadaku,
kalau tak sudi."
Sangaji pun heran menyaksikan tingkah-laku si pemuda. Terang ia melihat,
kalau si pemuda memang lapar. Dilihat dari gerak-geriknya yang bengal dan
bandel, mestinya ia sengaja mengotori potongan daging itu agar terpaksa
diberikan kepadanya. Mengapa kini tiba-tiba bisa berlagak angkuh dan tak
pedu-lian? Meskipun ia mendapat kesan demikian, ia tetap menutup mulut.
Dengan hormat ia menarik kursi buat si pemuda.
"Ayo kita makan bersama," Sangaji menawari.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar