7.15.2019

@bende mataram@ Bagian 83

@bende mataram@
Bagian 83


Sehabis makan dan minum, enam orang pemuda berpakaian putih itu segera
berangkat. Wirapati menunggu sampai mereka meninggalkan rumah makan
jauh-jauh, lalu ia minta pertimbangan kepada Jaga Saradenta, "Bagaimana
pendapatmu, apa meraka lebih bahaya daripada rombongan penari yang aneh
dahulu?"


"Rombongan penari yang mana?" Jaga Saradenta minta penjelasan. "Rombongan
penari yang dibinasakan Hajar Karangpandan."


"Apa hubungannya dengan mereka?" Jaga Saradenta heran.


"Mereka termasuk bawahan sang Dewaresi," sahut Wirapati. Kemudian ia mulai
mene-rangkan keadaan mereka dan bagaimana dia dapat mendengarkan percakapan
mereka. "Yang penting bukan perkara kuda atau kantong uang Sangaji. Tapi
maksud mereka hendak menghadiri undangan Pangeran Bumi Gede di Pekalongan.
Mereka bersikap rahasia dan berhati-hati. Agaknya keadaan negara ada suatu
perkembangan yang kurang menyenangkan. Kupikir, kita harus berangkat ke
sana. Hal itu tidak boleh dibiarkan saja tanpa sepengetahuan kita."


"Tetapi masa pertandingan sudah hampir tiba." Kata Jaga Saradenta
memperingatkan, meskipun dia menyetujui pikiran Wirapati.


Wirapati terdiam. Memang urusan pejanjian pertandingan yang sudah dirintis
dengan susah payah semenjak dua belas tahun yang lalu, tidak boleh
terbengkalai oleh urusan baru. Namun sebagai seorang pendekar yang sadar
akan arti kebangsaan dan negara, dia tak dapat membiarkan diri membuta pada
perkembangan keadaan. Jaga Saradenta adalah bekas pejuang pula. Meskipun
usianya sudah lanjut, namun semangatnya masih muda. Kalau tidak begitu
masakan dia mau membiarkan dirinya berlarat-larat sampai ke Jakarta tanpa
memperhitungkan kepentingan diri.


"Kalau begitu, biarlah Sangaji berangkat lebih dulu." Akhirnya Wirapati
memutuskan. "Apa dia harus berangkat seorang diri?"


"Benar," Wirapati menjawab sambil mengangguk. "Kemudian kita menyusul.
Kurasa dalam satu bulan kita sudah bisa sampai ke tujuan."


Jaga Saradenta diam menimbang-nimbang. Lalu berkata menguatkan, "Itupun
baik. Sangaji memang harus mempunyai pengalaman sendiri. Pengalaman harus
diperolehnya sendiri, karena tak dapat dipelajari dalam rumah perguruan.
Mendapat pengalaman akan banyak faedahnya." la berhenti sebentar. Kemudian
berkata kepada Sangaji, "Keputusan gurumu banyak faedahnya bagimu. Kalau
sebelum bertanding, kamu punya pengalaman, kami berdua tak usah mencemaskan
kekalahanmu."


Mendengar keputusan kedua gurunya, Sangaji tak senang. Segera ia menyatakan
ke-beratannya berpisah dengan mereka.


"Bocah! Kau sudah besar! Sebesar kerbau bongkotan! Kau harus belajar
berdiri sendiri. Kalau kami mampus, apa kau mau ikut mampus juga?" damprat
Jaga Saradenta. "Lagi pula kau ini muridku! Muridku tak boleh mempunyai
hati sekecil cacing!"


Wirapati yang bisa bersabar hati, lalu membujuk. "Pergilah dulu menunggu
barang satu bulan. Tunggulah kami di Kota Magelang. Seumpama kami berdua
menghadapi urusan pelik, salah seorang dari kami akan datang mengurusimu.
Hal itu janganlah kaurisaukan."


Sangaji lebih mendengarkan kata-kata pertimbangan Wirapati. itulah
sebabnya, sekali-pun hatinya berat terpaksa dia menerima. Kemudian Wirapati
dan Jaga Saradenta sibuk


menggambarkan peta sejadi-jadinya untuk menunjukkan letak Kota Magelang.


"Dua rombongan berpakaian putih yang terdiri dari dua belas orang tadi
hendak merampas kuda atau kantong uangmu. Kau tak usah meladeni mereka.
Hindarilah mereka. Kau bisa mengandalkan dirimu kepada kecepatan si Willem.
Jika kau tak lengah, kamu bisa me-ninggalkan mereka jauh-jauh."


Jaga Saradenta senang mendengar ujar Wirapati. Pikirnya, "Rasakan, akhirnya
kamu mengakui betapa pentingnya seekor kuda. Tadi berlagak tak menghargai..."


"Umpama kata benar-benar mereka main gila kepadamu, kami berdua takkan
tinggal diam," ujar Wirapati lagi. "Kami akan mencarinya."


"Benar," Jaga Saradenta menguatkan. ''Akupun diam-diam akan mengawasimu
dari jauh. Masalah itu jangan kaurisaukan."


Sehabis berkemas-kemas, Sangaji berlutut minta diri. Wirapati dan Jaga
Saradenta mengantarkan sampai ke tempat si Willem yang lagi menggerumuti
serbuk dan rumput. Mereka kelihatan beriapang dada melepaskan muridnya
berangkat seorang diri.


"Ah, kamu kelihatan sudah dewasa," kata Jaga Saradenta membesarkan hati.
"Cuma saja, ingatlah pesanku ini. Jangan sekali-kali merasa dirimu terlalu
kuat. Sebaliknya jangan juga kamu merasa rendah diri. Pokoknya kamu harus
bisa membiasakan diri berlaku hati-hati dan waspada. Di dalam dunia ini
banyak orang pandai. Lihat saja, gunung-gunung yang berdiri di atas Pulau
Jawa ini, tidak hanya satu. Gunung Tangkuban Perahu nampaknya gede, tapi
Gunung Slamet masih gede lagi. Gunung Merapi dan Lawu kelihatannya tinggi
sekali, tapi Gunung Semeru lebih tinggi lagi."


Wirapati tersenyum mendengar rekannya berbicara. Orang tua yang sok lekas
uring-uringan itu tak biasa memberi petuah-petuah begitu hebat seperti kali
ini. Tapi dia ikut juga menambahi.


"Dengarkan kata-kata gurumu itu! Sering-kali kulihat, kaungotot. Karena
itu, sekiranya kamu tak bisa memenangkan lawan, lebih baik mengundurkan
diri. Bukankah ketika kau melawan empat orang pemuda dulu, begitu ngotot?
Untung mereka tak mengenal ilmu silat."


Sangaji mengangguk. Segera ia melompat ke atas punggung si Willem. Dan
belum lagi berjalan satu jam, ia menjumpai jalan bersimpang tiga. Ia ingat
peta coretan kedua gurunya. Tapi dia dipesan memilih jalan yang sunyi
dan-kecil. Meskipun berlika-liku dan sukar, tapi dia bisa menghindari
kemungkinan pencegatan dua rombongan pemuda berpakaian putih. Selain itu,
si Willem bisa diandalkan.


Begitulah, maka dia memilih jalan yang terkecil. Hari telah mulai gelap.
Jauh di depan-nya nampak sebuah bukit menghadang padanya. Dia tak
ragu-ragu. Segera ia menge-prak si Willem. Jalan itu benar-benar
berlika-liku dan sempit. Agaknya lebih jauh bila dibandingkan dengan jarak
jalan lalu-lintas umum. Untung si Willem dapat lari dengan lancar. Kuda itu
tak takut pada jalan sempit


Mendadak dalam gelap malam, ia melihat suatu cahaya biru melesat di udara.
Cahaya itu pecah bertebaran dan hilang lenyap. Sangaji terkejut. Mulailah
dia berpikir, apa itu yang dinamakan tanda-udara? Jika benar, mengapa
melesat dari arah bukit?


Diam-diam ia meraba gagang pedang pemberian Willem Erbefeld semasa masih
dalam latihan. Dia tak pernah berlatih ilmu pedang ajaran kakak-angkatnya
karena kedua gurunya melarang. Tetapi ia menerima ajaran-ajaran ilmu pedang
Wirapati. Karena itu, meskipun belum mahir, ia mengenal ilmu pedang cukup baik.


Di depannya mendadak muncul tiga orang berpakaian putih. Sangaji tidak ragu
lagi. Pasti itulah mereka tadi. Segera ia bersiaga menjaga diri.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar