@bende mataram@
Bagian 82
"Kalau kau suka mendengar cerita itu, ada baiknya. Tak ada orang yang bakal
memban-tah. Akupun tidak. Tapi aku lebih suka, dia mati karena usia tua.
Artinya, dia mati dengan tentram. Bukan mati karena penasaran."
"Mati tua artinya mati pensiun," Wirapati menggoda.
"Baik, baik. Mati pensiun artinya dia pensiun jadi kuda. Kemudian naik ke
langit menjadi dewa. Mungkin menjadi dewa. Mungkin jadi malaikat, karena
sudah pensiun jadi kuda," Jaga Saradenta jadi uring-uringan.
Wirapati tertawa terpingkal-pingkal menyaksikan rekannya yang cepat
mendongkol. Sangaji sendiri sekalipun tak berani terang-terangan, ia
tertawa peringisan.
"Lantas? Apa Amir Hamzah tak punya kuda lagi?" Wirapati mengalihkan kesan.
"Mana bisa seorang pahlawan tanpa kuda," Jaga Saradenta menyahut cepat.
"Setelah Kalisahak mati, mula-mula memang dia tidak mau naik kuda lagi.
Karena di dunia ini mana ada kuda seperti Kalisahak. Tapi akhirnya Tuhan
kasihan padanya. Pada suatu hari, isteri tukang perawat Kalisahak
melahirkan seekor kuda setengah raksasa setengah binatang."
"Eh, mana bisa manusia mampunyai anak seekor kuda? Manusia kan bukan kuda?"
Wirapati membantah.
"Ini kan cerita," Jaga Saradenta mendongkol. "Mungkin maksudnya untuk
menge-sankan mutu kuda Amir Hamzah yang kedua itu."
Mendengar jawaban Jaga Saradenta yang masuk akal, Wirapati mau mengalah.
"Kuda itu diberi nama Sekardiyu," Jaga Saradenta meneruskan. "Sekar artinya
kembang atau
anak. Diyu artinya raksasa. Jadi maksudnya, anak raksasa. Dan kuda itu
sendiri, memang kuda yang perkasa dan kuat seperti raksasa. Dia seekor kuda
jempolan yang pantas dibeli dengan darah. Mengapa? Dalam tiap-tiap
pertempuran, Sekardiyu ikut berjuang. Ia menerjang lawan, mendepak dan
menggigit. Setiap barisan lawan pasti bubar-berderai apabila kena diterjang
Sekardiyu. Teringat akan kuda seperti Sekardiyu, tertariklah perhatianku
kepada si Willem kuda Sangaji. Menyaksikan gerak-gerik dan tenaganya,
diapun bagaikan anak raksasa ..."
Sangaji mendengar kudanya dipuji gurunya yang sok uring-uringan itu.
Diam-diam ia melirik kepada enam tetamu yang duduk bersama di sudut kanan.
Mereka mengarahkan pandangnya kepada si Willem pula.
Jaga Saradenta sendiri lantas berhenti bercerita, karena waktu itu masakan
yang telah dipesan tiba. Mereka kemudian menikmati masakan sambil
membicarakan mutunya.
Wirapati nampaknya mengamini, tapi sebenarnya ia memasang kuping. Dia
adalah murid Kyai Hasan Kesambi yang keempat. Pendengarannya tajam luar
biasa dan bertabiat usilan. Melihat rombongan mengenakan pakaian serba
putih dan mempunyai gerak-gerik yang serba aneh, lekas saja hatinya
tertarik. Diam-diam ia menyelidiki. Dia seorang pendekar kelana yang sudah
berpengalaman, karena itu sikapnya tak kentara dan berlaku cermat.
Enam orang pemuda itu nampak duduk dengan merapat dan berbicara
kasak-kusuk, tapi pendengaran Wirapati dapat menangkap tiap patah kata
mereka. Lalu ia menggeser tempat duduknya mengungkurkan -mereka agar tak
menerbitkan kecurigaan. Sambil menggeru-muti makanan, ia mendengar mereka
berbicara.
"Rombongan Kartawirya tadi melepaskan tanda udara. Apakah mereka ini yang
dimak-sudkan? Melihat kudanya dan orangnya, memang pantas untuk diawasi,"
berkata yang duduk di sudut kiri.
"Buat apa kuda? Pasti kakak telah melihat sesuatu yang lebih berharga dari
pada kuda itu."
"Belum tentu. Apa kau tak mendengar tutur-kata orang tua bongkotan itu? Dia
memuji kuda itu setinggi langit."
"Ha, aku tahu maksudmu. Kalau kau dapat menghadiahkan kuda itu kepada
Kartawirya, Setidak-tidaknya kau dapat keleluasaan menaksir adiknya."
Lalu mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran, tak senang hati.
Tapi ia tak berdaya. Terpaksa ia menerima sindiran itu dengan hati mendongkol.
Wirapati mulai berpikir. Ia mencoba mengingat-ingat nama Kartawirya.
Mendengar bunyi namanya, segera ia mengetahui kalau Kartawirya orang Jawa
Barat. Paling tidak wilayah Cirebon bagian barat daya.
Tapi siapa orang itu? Karena belum mendapat kepastian, dia mempertajam
pendengar-annya.
Pemuda yang menyindir berkata lagi, "Memang Kartawirya tahun ini sedang
terang bintangnya. Bisa kejadian sang Dewaresi mengambilnya ipar. Dasar ia
perkasa, pribadi agung dan otaknya cerdas. Cuma saja doyan perempuan."
Kembali lagi mereka tertawa berkikikan. Pemuda yang kena sindiran mencoba
membela diri sebisa-bisanya. Katanya, "Biar dia doyan perempuan, apa sih
hubungannya dengan diriku. Beberapa hari ini, sang Dewaresi lagi sibuk
mengatur persiapan untuk suatu persekutuan besar. Pangeran Bumi Gede,
sedang mengundang beberapa orang gagah di seluruh pelosok Pulau Jawa. Sang
Dewaresi sadar, kalau yang diundang pasti bukan orang-orang semba-rangan.
Masing-masing tentu akan memperlihatkan perbawa dan kewibawaannya.
Sekiranya, sang Dewaresi memiliki kuda itu, dia bisa memiliki muka. Dengan
sendirinya akan menaikkan derajat kita sekalian. Apa masalah kuda itu,
bukan pula kepentingan kita bersama?"
Wirapati terkejut. Dia pernah mendengar nama sang Dewaresi yang
disebut-sebut mere-ka. Hanya saja, dia belum ingat di mana dan kapan nama
sang Dewaresi itu pernah dide-ngarnya.
"Aku tetap kurang yakin, kalau tanda udara Kartawirya cuma perkara kuda.
Kuda Banyumas pun tak kalah jempolan. Coba, pikir lagi yang lebih teliti.
Mungkin, Kartawirya melihat penunggangnya mempunyai sesuatu yang jauh lebih
berharga daripada kuda," ujar pe-muda yang menyindir.
Selama mereka berbicara, suaranya ditekan benar-benar sehingga hanya
setengah berbi-sik. Jika seseorang tak mempunyai pendengaran tajam, tidak
bakal dapat menangkap kata-kata mereka sejauh lima langkah saja. Tapi
Wirapati dapat mendengar percakapan mereka dengan jelas dalam jarak kurang
lebih sepuluh-lima belas langkah. Hal itu membuktikan betapa tajam
pendengarannya. Begitu ia mendengar kata-kata Banyumas, lantas saja terbuka
ingatannya. Katanya dalam hati, Ah! Apa sejarah akan berulang kembali?
Bukankah sang Dewaresi pemimpin rombongan penari aneh, dua belas tahun yang
lalu? Celaka! Dulu aku kenal nama sang Dewaresi lewat mulut si bangsat
Kodrat. Kini lewat mulut pemuda itu. Siapa dia?
Mengingat pengalamannya yang mengerikan, sehingga terpaksa dia hidup
berlarut-larut sampai dua belas tahun di rantau orang, bulu kuduknya lantas
saja menggeridik. Kalau ia berusil lagi, siapa tahu bakal mengalami
peristiwa serupa. Tapi dasar dia usilan dan berjiwa kesatria luhur,
sebentar saja ia melupakan kepentingan diri. Dia sudah mendapat kesan buruk
terhadap rombongan penari aneh begundal-begundal sang Dewaresi. Karena itu,
terhadap mereka pun ia menduga tidak ada bedanya. Orang itu pasti mempunyai
tujuan setali tiga uang seperti dulu. Mendadak saja ia merasa wajib untuk
mengikuti persoalannya.
"Baiklah," sahut pemuda yang kena sindir tadi. "Mari kita berlaku hati-hati
dan menyelidiki maksud tanda-udara secermat-cermatnya. Tapi ingat, kita
harus menjaga nama kita baik-baik. Kali ini kita bekerja demi keharuman
nama. Kita akan bertanding melawan orang-orang bukan sembarangan yang bakal
datang dari seluruh penjuru Pulau Jawa. Sekiranya melaksanakan tanda-udara
saja tak becus, mana bisa kita punya muka."
Sehabis itu, mereka tidak berkata-kata lagi. Masakan dan minuman yang
mereka pesan, mulai datang. Lalu mereka sibuk menikmati makanan dan
menghirup minuman.
Wirapati mulai berpikir keras. Jelas sekali, mereka hendak datang memenuhi
undangan Pangeran Bumi Gede. Kalau dihubungkan dengan kedatangan Pangeran
Bumi Gede empat tahun lalu di Jakarta, bukanlah mustahil kalau undangan
kepada orang-orang gagah di seluruh Pulau Jawa, merupakan langkah
kelanjutan dari suatu rencana tertentu. Tapi rencana apa itu, Wirapati tak
dapat menebak, meskipun memeras otak. Maklumlah, dua belas tahun lamanya
dia meninggalkan daerah Jawa Tengah. Dengan sendirinya tak mengetahui sama
sekali tentang perkembangan sejarah. Ia bagaikan orang buta yang ingin
mengetahui segalanya dengan meraba-raba belaka.
"O ya, apa kalian sudah mendengar kabar?" mendadak salah seorang dari
mereka ber-bicara. Orang itu duduk tepat di bawah jendela. Orangnya nampak
pendiam. Raut mukanya bersungguh-sungguh. Mendengar dia membuka mulut, yang
lain segera menaruh perhatian. Terang, ia dihormati dan disegani oleh
kawan-kawannya. Kata orang itu, "Ada kabar tentang seorang pemuda gagah.
Pemuda itu mengenakan pakaian mentereng. Lagak dan sikapnya
keningrat-ningratan. Tapi dia memiliki bermacam-macam ilmu yang sukar
diduga orang. Beberapa kali ia menjatuhkan orang-orang gagah."
"Siapa dia?" mereka bertanya hampir berbareng.
"Namanya kurang terang. Tapi dia sering muncul di sekitar Cirebon atau
perbatasan Te-gal. Rupanya dia seperti diwajibkan untuk menghadang
orang-orang gagah yang diundang Pangeran Bumi Gede sebelum memasuki
Pekalongan. Dengan begitu Pangeran Bumi Gede dapat memperoleh kepastian,
kalau mereka yang bisa datang ke Pekalongan adalah orang-orang pilihan!
Menurut kabar hanya satu di antara sepuluh orang yang dapat masuk
Pekalongan. Karena itu, hendaklah kalian cukup berwaspada dan hati-hati."
Sekali lagi, Wirapati mencoba menebak tentang keperwiraan pemuda
keningrat-ningratan yang
dibicarakan. Juga kali ini, dia tak berhasil. Sebab kecuali nama pemuda itu
belum dikenal mereka, mestinya umurnya jauh lebih muda dari umurnya
sendiri. Tentang perkembangan anak-anak muda angkatan mendatang tak dapat
dikenalnya. Dan cacat itu se-mata-mata disebabkan keberangkatannya ke
Jakarta dengan tak sekehendaknya sendiri. Walaupun begitu, tidak ada
tanda-tanda ia menyesali nasibnya yang buruk.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar