12.31.2019

@bende mataram@ Bagian 335

@bende mataram@
Bagian 335

Maka dengan perlahan-lahan ia kembali mengarah ke padepokan. Kemudian
berbicara lancar. "Meskipun muridmu kalah ulet, tapi Adipati Surengpati tak
mau gegabah. Dalam hati ia mengakui keunggulanmu." Kyai Kasan Kesambi
tertawa perlahan, la sadar akan kelicinan lawan. Berkata, "Hebat! Engkau
sampai bisa membaca hati orang." Kebo Bangah tertawa berkakakan. Sadar akan
kecerobohannya, cepat-cepat ia mengalihkan pembicaraan. 'Tetapi selama
hidupku... baru kali ini aku mengakui ketangguhan seorang. Itulah cucu
muridmu sendiri. Hm... tak kusangka ia berani mengadu pukulan dengan aku.
Dan hasilnya aku bisa dijungkir-balikkan." "Eh, masakan begitu. Kalau
benar, mestinya engkau tak kan sampai di sini," Kyai Kasan Kesambi
bersangsi. Kebo Bangah tak menyahut. Ia mempercepat larinya. Dan Kyai Kasan
Kesambi menjaja-rinya. Makin lama lari Kebo Bangah makin cepat. Dalam hati
ia hendak menguji kegesitan orang tua itu. Dahulu Kyai Kasan Kesambi
terkenal kecepatan larinya. Kinipun ternyata tak kurang tenaganya. Bahkan
terasa kian jadi masak. Langkahnya seperti ayal-ayalan. Tetapi cepatnya
luar biasa. Itulah sebabnya seolah sekejap mata mereka berdua sampai di
padepokan. Mendadak saja terdengarlah suatu kesibukan. Kedua-duanya
terkejut dan masing-masing mempunyai kesan sendiri. Kebo Bangah yang
mempunyai maksud buruk, segera bersiaga menghadapi segala kemungkinan.
Sebagai seorang yang berpengalaman, tahulah dia bahwa rencananya tak
berjalan dengan lancar. Dalam hati, ia mengutuk pasukan Pangeran Bumi Gede
dan anak buahnya sendiri. Kenapa begini terlambat, pikirnya. Dia tak tahu,
bahwa mereka terlalu berhati-hati sewaktu hendak mendaki Gunung Damar.
Hampir sehari penuh, mereka sibuk mengatur penjagaan. Kecuali untuk
merintangi bala bantuan, tujuannya untuk membendung arah larinya Kyai Kasan
Kesambi pula. Kemungkinan Kyai Kasan Kesambi melarikan diri tidak perlu
disangsikan lagi. Sebab meskipun gagah, masakan tahan menghadapi keroyokan
dua tiga ratus orang. Dan apabila dia lari, pasti pula membawa Wirapati.
Kyai Kasan Kesambi tak mempunyai dugaan terlalu buruk terhadap Kebo Bangah.
Sekalipun dia tahu lawannya itu sangat licin, ia tak mau percaya bahwa
sebagai seorang pendekar besar, Kebo Bangah akan sampai melakukan
perbuatan-perbuatan rendah. Pastilah peristiwa kesibukan itu hanya secara
kebetulan belaka berbareng dengan datangnya Kebo Bangah. Lalu berkata
mencoba, "Sudah terlalu banyak rakyat yang tak tahu menahu urusan
pemerintahan menjadi korban suatu kelaliman orang-orang tertentu. Bagaimana
pendapatmu?" Kebo Bangah sangat licin. Sama sekali raut mukanya tak
berubah. Dengan tenang ia men-jawab, "Aku ingin tahu pula, siapakah yang
berani menghina padepokanmu." Setelah menjawab demikian, segera ia
mempercepat larinya. Kyai Kasan Kesambi tak mau ketinggalan pula. Sewaktu
datang di paseban, mereka melihat Sangaji sedang menyambut perlawanan musuh
dengan ilmu Sura Dira Jayaningrat Lebur Dening Pangastuti ciptaan Kyai
Kasan Kesambi. "Nah, kau tak percaya omonganku tadi?" bisik Kebo Bangah.
"Tenaga cucu-muridmu lebih hebat dari tenagamu sendiri. Lihat saja nanti
akhirnya!" Mereka berdua bisa bergerak dan berbicara dengan leluasa tanpa
ketahuan orang. Sebab semua orang di dalam paseban menumpahkan seluruh
perhatiannya kepada pertempuran itu. Mendadak saja—setelah mengelak mundur
—Sangaji berhasil menggempur Keyongbuntet sampai terpental keluar paseban.
Dalam hati, Kebo Bangah tergetar melihat adik seperguru-annya runtuh di
depan hidungnya. Tetapi Kyai Kasan Kesambi seolah-olah tidak memperhatikan
peristiwa itu. Dahinya nampak ber-kerenyit. Dengan pandang seolah-olah tak
mempercayai penglihatannya sendiri, dia menegur Kebo Bangah. "Bukankah itu
adik seperguruanmu? Ah! Aku memang sudah pikun. Mengapa kau tak berkata
terang-terangan di hadapanku." Kyai Kasan Kesambi adalah seorang pertapa
yang sudah menyekap diri berpuluh-puluh tahun lamanya. Kata-kata demikian
sudahlah merupakan ucapan sangat tajam penuh sesal. Keruan saja Kebo Bangah
lantas saja menjadi sibuk. Tetapi diapun seorang pendekar besar pula.
Selain sombong, angkuh, licin dan banyak akal, mempunyai kehormatan diri
sangat besar. Begitu sadar bahwa kedoknya bakal terbuka, kehormatan dirinya
tersinggung. Tanpa sungkan-sungkan lagi ia melompat mundur empat langkah.
Dengan pandang berapi-api ia menyahut, "Siapa suruh kau mengeram dalam
padepokan, siapa suruh anak cucu muridmu memiliki pusaka Bende Mataram
segala. Memang aku datang untuk itu. Kau mau apa?" Mendengar ucapan Kebo
Bangah, Kyai Kasan Kesambi sangat prihatin. Hatinya penuh sesal dan pedih.
Karena tak biasa ia beradu ketajaman lidah, ia lantas tertawa
perlahan-lahan. Namun pandang matanya berkilat-kilat. Gagak Handaka dan
segenap adik sepergu-ruannya tahu, bahwa gurunya sedang bergulat melawan
puncak kegusaran. Karena itu serentak ia membentak tajam. "Sungguh tak kami
duga-duga, bahwa seorang pendekar besar bisa berlaku begini licik. Sebagai
seorang ksatria mengapa tak berani terang-terangan memperlihatkan dadanya.
Gagal atau berhasil bukankah soal lumrah dalam suatu tujuan?" "Kau anak
kemarin sore menjual obrolan apa di hadapanku?" Kebo Bangah membalas
membentak. Terus saja ia melesat sambil mengirim pukulan. Semua yang hadir
di padepokan Gunung Damar tahu, bahwa tenaga Kebo Bangah tak boleh dibuat
gegabah. Tenaga pukulannya bisa menghancurkan batu gunung setinggi rumah.
Karena itu, sekalian murid Kyai Kasan Kesambi terkejut. Cepat-cepat mereka
senyibak dan mengelakkan pukulan Kebo Bangah dengan bergulungan di lantai.
Tiba-tiba saja nampaklah sesosok bayangan memapak pukulan itu. Plak! Waktu
itu hari sudah gelap. Samar-samar Kyai Kasan Kesambi mengenal bayangan yang
memapak pukulan Kebo Bangah. Itulah anak cucu muridnya Sangaji. Hatinya
tercekat. Di luar kemauannya sendiri ia sampai bersuara kaget. Di dunia ini
siapakah yang mampu menahan pukulan Kebo Bangah yang sedang mengumbar
amarahnya? Tapi kenyataannya sungguh di luar dugaan. Masing-masing hanya
tergetar mundur dua langkah dengan tubuh bergoyangan. Kebo Bangah sudah
mengambil keputusan nekat. Dia tahu, pihaknya lebih menang jumlah. Dan
kalau sudah memutuskan suatu tindakan, tak mau dia setengah-tengah lagi.
Terus saja ia bersiaga. Bagus Kempong yang dapat memikir jauh segera
berseru kepada Suryaningrat, "Nyalakan lampu dan jagalah kakakmu Wirapati.
Bukankah mereka datang untuk menculik kakakmu Wirapati agar dapat dijadikan
alat penukar dua pusaka milik keponakan muridmu?" Mendengar ucapan Bagus
Kempong, diam-diam Kyai Kasan Kesambi menarik napas, la menyesali diri
sendiri, mengapa begitu lengah menggerayangi kelicinan Kebo Bangah. Dalam
pada itu Sangaji sudah siap bertempur pula. la menarik napas dalam-dalam.
Tenaga murninya lantas saja bergerak berputar. Makin lama makin cepat dan
tenaga perangsangnya bukan main besar. "Aku tak percaya di dunia ini ada
suatu tenaga yang bisa menahan gempuran Kala Lodra!" teriak Kebo Bangah
mengguntur. Dan setelah berteriak demikian, ia melompat sambil mengayunkan
tangannya. Plak! Untuk kedua kalinya mereka beradu tenaga. Kini selisih
tenaga masing-masing nampak jelas. Waktu itu lampu telah dinyalakan terang
benderang. Kebo Bangah tergempur mundur dua langkah, sedang Sangaji masih
berdiri tegak bagaikan batu karang. Sama sekali ia tak tergoyahkan. Keruan
saja Kebo Bangah bertambah gusar sampai matanya melotot. "Kau tak
bergeming? Bagus!" serunya garang. "Tapi jangan cepat-cepat berbesar hati,
Kala Lodra bukan ilmu picisan. Sambutlah sekali lagi!" Benar-benar Kebo
Bangah mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Tulang belulangnya terdengar
berpele-takan. Jangan lagi murid-murid Kyai Kasan Kesambi bahkan Kyai Kasan
Kesambi sendiri terperanjat pula. Bagus Kempong tak kuat lagi menahan
keguncangan hatinya, terus ber-teriak memperingatkan Sangaji. "Aji! Turun
ta-ngan dahulu sebelum dia berhasil menghimpun tenaga!" Sangaji mengangguk
sambil melangkah maju. Tetapi dia tak menyerang. Ia tunggu gerakan lawan
dan begitu melihat Kebo Bangah berjongkok sambil mengangkat tangannya.
Cepat-cepat ia menarik napas dalam-dalam. Hawa murninya segera bergolak.
Kedua tangannya terus menapak. Suatu tenaga benturan bagaikan gugurnya
sebuah gunung terdengar meledak: Blaaang! Pada saat itu terdengarlah jerit
Kebo Bangah. Tubuhnya terpental seperti sebuah peluru batu terlepas dari
sebuah bandringan raksasa. Tubuhnya menumbuk tiang dan terus menjebol
dinding. Seketika itu juga gemuruhlah suara dinding runtuh dan atap paseban
hancur berantakan berkepingan. Selagi semua orang tercengang-cengang kaget.
Tiba-tiba masuklah seorang berkulit putih lewat lubang dinding yang bobol
tadi. Dia datang dengan memapah tubuh Kebo Bangah. Dan lantas berkata,
"Anak tolol! Pukulanmu bukan main besar sampai aku merasa kewalahan. Kau
apakan bangsat ini?" Ternyata dia adalah Gagak Seta, pendekar sakti yang
berwatak angin-anginan. Diapun mendaki Gunung Damar begitu mendengar
kesibukan pasukan Pangeran Bumi Gede. Seperti diketahui, dia meninggalkan
gelanggang pertempuran menjelang pertarungan seru antara para pendekar
melawan pasukan Pangeran Bumi Gede. Dia seumpama seekor naga, kelihatan
ekornya tapi tidak kepalanya. Gerak-geriknya bebas liar, tetapi matanya
tajam luar biasa. Jangan lagi tentang gerakan pasukan yang dianggapnya
sebagai musuh, sedangkan seorang penjahat licinpun tidak bakal terlepas
dari pengamatannya. Itulah sebabnya, menguntit perjalanan para pendekar
undangan Pangeran Bumi Gede bukan merupakan suatu hal yang sulit baginya.
Walaupun agak terlambat, tetapi bukannya kasep.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar