12.23.2019

@bende mataram@ Bagian 326

@bende mataram@
Bagian 326

Dalam pada itu, Mayor de Hoop telah minta keterangan dari seorang
penterjemahnya ten-tang pembicaraan antara Sangaji dan Adipati Surengpati.
Begitu mendengar persoalannya ia menjadi masgul. Hatinya tak puas bercampur
gusar. Sama sekali tak diduganya, bahwa Sangaji mencintai seorang gadis
lain. Ini adalah suatu penghinaan besar baginya. Pada zaman itu adalah tabu
seorang Belanda hendak mengambil menantu seorang bumiputera. Ia kena cela
derajat bangsanya. Bahkan pada zaman Gntung Surapati, ia bisa dikenakan
hukuman mati. Tetapi norma-norma itu, tidaklah dihiraukan. Ternyata
keputusannya yang dahulu mengejutkan kaumnya, kini menghantam kehormatan
dirinya. Karuan saja ia tak tahan. Gerutunya dalam hati, "Dasar seorang
bumiputera. la tak tahu kunaikkan derajatnya. Jangankan menyatakan terima
kasih, kini bahkan meludaiku... Keparat!" Kemudian membentak hebat.
"Sangaji! Pernahkah aku bersalah terhadapmu? Tatkala aku menawarkan
pertunanganmu dengan Sonny, bukankah mulutmu sendiri yang menyatakan
setuju? Engkau adalah seorang laki-laki. Kau boleh malang-melintang ke
seluruh penjuru dunia. Tapi kehormatanmu sendiri, di manakah letaknya?
Bukankah kehormatan seorang laki-laki ada pada ucapannya? Kau boleh gagah.
Boleh perwira. Boleh perkasa. Tapi laki-laki yang tiada dapat dipegang
suara mulutnya, tidaklah ada harganya." la berhenti mengesankan. Napasnya
tersengal-sengal, karena hawa amarahnya naik sampai ke leher. Meledak lagi,
"Karena keberanianmu dan kejujuranmu, engkau menarik perhatian Gubernur
Jendral—tatkala engkau menolong nyawa Willem Erbefeld. Jasa ini sangat
besar, sehingga Gubernur Jendral menghargaimu. Akupun ikut menghargaimu
pula. Bukan hanya di mulut saja. Tapi kubuktikan dengan menyerahkan
puteriku. Kemudian... kau berpamit satu tahun lamanya karena hendak
menunaikan tugas mulia untuk menuntut dendam kematian ayahmu. Kupegang
kepercayaanku kepadamu. Karena kau... kami kena! sebagai seorang pemuda
yang tahu memegang janji. Tapi ternyata aku kaukentuti! Kau hina! Kau
iudahi! Hm... baiklah. Ibumu berada dalam lingkungan kami. Tapi tak usahlah
kau khawatir. Aku akan memerintahkan beberapa orang mengantarkan ibumu
pulang ke kampung halamannya dengan selamat, sebagai balas jasa kami bangsa
Belanda terhadap keberanianmu melindungi Willem Erbefeld. Inilah
kata-kataku. Kata-kata seorang laki-laki. Dan kata-katanya seorang
laki-laki seumpama gunung tegak meraba permukaan udara. Tapi... semenjak
itu, putuslah hubungan kita. Antara aku dan engkau tiada lagi perhitungan
balas budi. Usahakanlah, agar engkau tak bertemu dengan aku. Kalau pada
suatu kali sampai bertemu, jangan sesalkan aku. Karena aku akan menembakmu
sebagai seorang laki-laki pengembara yang tiada mempunyai harga untuk
dihormati." Sehabis berkata demikian, ia mengisi pistol-nya. Kemudian
ditembakkan ke udara tiga kali berturut-turut sebagai pernyataan sumpah.
Hati Sangaji seperti tersayat-sayat. Bukan ia takut bermusuhan dengan
bangsa Belanda. Tapi di sini terjadi persoalan tentang kehor-matan seorang
laki-laki. Dan sekaligus me-nyangkut kehormatan bangsanya. Berkatalah dia
di dalam hati: Kata-katanya sedikitpun tak salah. Gcapan seorang laki-laki
harganya se-tinggi gunung. Kalau aku semuda ini sudah kehilangan
kepercayaan orang, bukankah hidupku tak ubah selembar daun kering yang
tiada harganya sama sekali? Tatkala aku dipertunangkan dengan Sonny,
bukankah aku tak menolak? Meskipun hatiku berbicara lain. Karena itu
betapapun juga aku harus berani memikul akibatnya. Seorang laki-laki boleh
hancur-lebur, tapi jangan sampai kehilangan harga diri. Biarlah Adipati
Surengpati membunuhku. Biarlah Titisari membenci daku seumur hidup atau
mengutuki tulang belulangku dalam liang kubur. Aku tak dapat berbuat lain,
kecuali menetapi janji... Setelah mengambil keputusan demikian, ia
menghadap Adipati Surengpati. Kemudian berkata nyaring, "Adipati
Surengpati, guru, paman-pamanku, Paman Hajar Karangpan-dan, Aki Panembahan
Tirtomoyo dan Aki Tunjungbiru dan Mayor de Hoop, Sonny dan sekalian yang
hadir di sini. Aku Sangaji. Meskipun aku anak seorang janda miskin dan
ayahku mati tak ketentuan liang kuburnya, tapi aku adalah laki-laki yang
harus mempu-nyai harga diri. Tak dapat aku mengorbankan kepercayaan orang
terhadapku. Karena itu betapapun akibatnya aku tetap akan kawin dengan
Sonny de Hoop. Inilah pernyataanku." Sangaji berbicara dalam dua bahasa.
Yang pertama kali bahasa Jawa. Kemudian diter-jemahkannya ke dalam bahasa
Belanda. Dengan demikian kedua belah pihak mengerti dengan terang. Keruan
saja. Mayor de Hoop dan Sonny girang setengah mati. Sebaliknya, Adipati
Surengpati, Titisari, Ki Hajar Karang-pandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki
Tunjung-biru, Jaga Saradenta dan murid-murid Kyai Kasan Kesambi
tercengang-cengang. Ki Hajar Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan
Tirtomoyo, Jaga Saradenta dan sekalian murid-murid Kyai Kasan Kesambi
akhirnya memuji keputusan itu dengan diam-diam. Inilah ucapan dan keputusan
seorang ksatria sejati yang mengesampingkan kepentingan pribadinya demi
menjunjung derajat kaumnya dan bangsanya. Tapi tidaklah demikian halnya
dengan Adipati Surengpati. Semenjak dahulu ia dijuluki sebagai siluman
Karimun Jawa. Karena dia adalah seorang pendekar yang tak menghiraukan sama
sekali tata pergaulan manusia. Ia merasa muak mendengar semboyan-semboyan
kosong yang tiada harganya bagi sejarah kemanusiaan. Apakah itu harga diri.
Apakah itu kehormatan laki-laki. Apakah itu ksatria sejati segala. Mendadak
saja ia memperdengarkan suatu nada tertawa panjang yang menggeridikkan bulu
roma. Tittisari kaget mendengar tertawa ayahnya. Itulah suatu tanda, bahwa
ayahnya murka tak terkendalikan lagi. Tapi berbareng itu, ia berduka juga
sehingga ia berdiri terlongong-Iongong. Gadis yang berontak cerdas luar
biasa itu, mendadak saja kehilangan akal. Tetapi hal itu bukanlah berarti
bahwa ia tak tahu menempatkan diri. Dengan tenang ia melangkah maju
beberapa langkah menghampiri Sonny. la mengamat-amati perawakan puteri itu
yang tegap berwibawa. Akhirnya menghela napas panjang. Pikirnya, patutlah
Aji menjadi suami-nya. Inilah suatu pilihan tepat. Terus ia berkata kepada
Sangaji, "Aji! Aku paham apa sebab engkau menyatakan keputusan itu. Kau
bergaul dengan dia lebih lama daripadaku. Kau dibesarkan pula dalam
kalangannya. Sudah selayaknya engkau memilih dia sebagai sisihanmu.
Sebaliknya aku... aku adalah anak seorang siluman yang tiada beribu lagi.
Tak berpendidikan. Tak bermartabat. Tak berdera-jat, dan liar. Sudah
selayaknya pula engkau melupakan aku sebagai impian buruk... Bukan main
terharunya hati Sangaji. Ia maju menghampiri dan memegang tangannya
erat-erat. Kata pemuda itu, "Titisari! Tak-tahulah aku apakah keputusanku
itu tadi tepat atau tidak. Cuma saja, di dalam hatiku terisi seorang saja
yang kucintai dengan segenap hatiku. Itulah engkau. Meskipun nasibku kelak
mulia atau buruk, aku tetap mencintaimu." Mendengar ucapan Sangaji, air
mata Titisari menggelinang memenuhi kelopak matanya. Katanya berbisik,
"Tapi mengapa kau hendak mengawini dia?" "Titisari! Aku memang seorang
tolol. Segalanya tak kumengerti sendiri. Di depanku seolah-olah sudah
disediakan jalan panjang bagiku yang harus kutempuh. Aku hanya tahu, bahwa
seorang laki-laki harus dapat memegang teguh janjinya. Aku hanya tahu,
bahwa aku tak boleh berdusta. Aku harus berani menanggung akibatnya. Karena
itu tak peduli bagaimana aku harus mengambil keputusan demikian. Hanya
dalam hatiku... terisilah engkau seorang. Sungguh! Aku tak berdusta."
Titisari jadi bingung. Ia girang tetapi berbareng susah hati pula. Akhirnya
ia tertawa panjang sambil berkata, "Aji tahulah aku kini. Kalau hari ini
kita masih mengeram dalam benteng, bukankah engkau takkan mengalami
peristiwa ini?" "Itulah gampang!" tiba-tiba Adipati Su-rengpati berkata.
Alisnya dinaikkan dan tiba-tiba tangannya mengibas ke arah Sony de Hoop.
Tadi Titisari telah mendengar nada tertawa ayahnya, la terkesiap. Dan
tahulah dia, bahwa ayahnya akan mengambil suatu tindakan yang tak
terduga-duga. Maka begitu mendengar ayahnya berkata memutuskan, cepat ia
mendahului, la menyambar pergelangan tangan Sonny dan ditariknya turun.
Adipati Surengpati takut akan mencelakai puterinya. Dengan sendirinya ia
memperlam-bat gerakannya. Sesudah Titisari menarik Sonny turun dari
punggung kuda, barulah pukulannya dilepaskan sebebas-bebasnya. Mula-mula
seperti tiada terjadi sesuatu. Mendadak saja kuda Sonny menundukkan
kepalanya. Keempat kakinya lemas tiada tenaga. Lalu berguling ke tanah. Dan
pada saat itu juga, nyawanya melayang. Kuda Sonny adalah kuda pilihan.
Pera-wakannya besar dan kuat seperti Willem yang selalu dibawanya pergi
semenjak kemarin lusa. Tapi dengan sekali hajar, mampuslah dia. Karuan saja
yang menyaksikan kaget bukan main. Kalau kibasan tangan tadi me-ngenai
Sonny, tidakkah gadis Indo itu akan ringsek? Sebaliknya Adipati Surengpati
tercengang-cengang menghadapi kejadian demikian. Sama sekali tak diduganya,
bahwa Titisari akan menolong gadis saingannya itu. Tetapi dia seorang
pendekar berpengalaman lagi cerdik. Sebentar saja tahulah dia menebak
kehendak puterinya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar