12.22.2019

@bende mataram@ Bagian 325

@bende mataram@
Bagian 325

MARI PULANG KE JAKARTA Terhadap Mayor de Hoop, Sangaji menaruh hormat.
Dalam keadaan biasa, ia akan lari menyongsong dan membungkuk, itulah
per-nyataan kesannya semenjak berada di tangsi kompeni di Jakarta. Tapi
kali ini hatinya repot. Di samping Mayor de Hoop nampak Sonny de Hoop
berada di atas punggung Willem. Dan tak jauh di belakangnya, berdiri
Titisari dengan ayahnya pula. Tak tahu ia, apakah harus menyatakan
kegirangan hati atau berduka. Karena itu ia terpaku di atas tumpukan
kubunya. Melihat Sangaji seperti orang kebingungan, Mayor de Hoop tertawa
senang, la mengira, bocah itu tertegun karena rasa terharu. Maka ia berkata
lagi, "Hai Sangaji! Inilah Sonny! Mengapa tak cepat-cepat menyambut?" Sonny
de Hoop nampak cantik pada pagi hari itu. Matanya biru jernih. Hidungnya
mancung. Kulitnya putih bersih. Perawakan tubuhnya tegap padat. Mukanya
berseri-seri karena girang. Terus saja berseru penuh perasaan, "Hai!"
Sangaji seperti tersihir. Tak dikehendaki sendiri ia pun membalas, "Hai!"
Hanya saja suaranya terdengar beku. Perlahan-lahan Sangaji turun dari
tumpukan batu, Sonny melompat pula dari punggung Willem dan datang
menyambut dengan girang. "Inilah kudamu. Kuketemukan dia di tengah huma,"
katanya. Kemudian ia mengisahkan perlawatannya dari Jakarta sampai usahanya
peristiwa pertemuannya pada hari itu. la datang di Semarang sebulan yang
lalu. Kemudian mengikuti ayahnya beroperasi ke daerah pedalaman. Tatkala
berada di Bumi Gede, ia mendengar kabar tentang Sangaji. Ialah tatkala
pangeran itu lagi membicarakan dua pusaka warisan Bende Mataram dengan
pendekar Kebo Bangah. Terus saja ia mencoba mencari. Tapi usahanya tak
berhasil. Namun begitu, hatinya penuh harapan. Karena willem dapat
dibawanya pulang ketangsi. Sony adalah seorang gadis yang beradat polos.
Selagi berbicara, tangannya meng-genggam pergelangan tangan sangaji.
Hatinya girang luar siasa. Karena itu ia berbicara tiada putusnya. Titisari
mengawasi gerak-gerik dan tingkah laku gadis indo itu dengan hati resah. Ia
paham bahasa Belanda. Karena itu dapat menangkap semua pembicaraannya
Adipati Surengpati heran melihat kesan wajah Titisari. Bertanya, "Titisari!
Siapakah dia? "Dialah istri Sangaji yang belum dinikahi-nya." Mendengar
jawaban Titisari. Adipati Surengpati berjingkrak sampai-asmpai tak
mempercayai pendengarannya sendiri. "Apa?" ia menegas. "Kalau Ayah ingin
minta keterangan lebih jelas, tanyakanlah hal itu kepada Sangaji!" sahut
Titisari perlahan. Jaga Saradenta yang berlumuran darah mendengar
percakapan itu. Ia mengerti Sangaji dalam bahaya. Dia yang mengetahui
riwayat Sangaji dan gadis Indo itu, segera me-nguatkan diri untuk
menjelaskan peristiwa pertunangannya. Ia menjelaskan bahwa Sangaji dijebak
pada suatu malam untuk menerima pengumuman pertunangannya. Semenjak semula,
Adipati Surengpati tak begitu cocok dengan Sangaji. Kalau akhirnya
menyetujui, sebenarnya saking terpaksa kare-na tiada alasan lagi. Sekarang
ia mendengar persoalan baru. Hatinya menjadi tak puas. la adalah seorang
Adipati berbareng seorang ningrat. Dan Titisari merupakan putri
satu-satunya. Baginya bagaikan sebuah mustika yang tiada taranya didunia
ini. Masakan ia akan membiarkan putrinya menjadi istri kedua? "Titisari!"
Lantas saja ia berkata kepada putrinya. Suaranya keras menyeramkan. "Ayahmu
hendak melakukan sesuatu, tetapi hendaklah kau jangan menghalang-halangi."
Gadis itu terkejut, la kena lagak-lagu ayah-nya. Menyahut, "Ayah hendak
melakukan apa?" "Bocah busuk itu, biarlah kubunuhnya berbareng dengan
perempuan itu." Titisari kaget sampai melompat menyambar tangan ayahnya.
Katanya gugup, "Ayah! Jangan! Sangaji berkata, bahwa ia benar-benar
mencintai daku." ADIPATI SURENGPATI MENGHELA NAPAS, la membiarkan tangannya
kena sambar gadis-nya. Kemudian membentak dahsyat kepada Sangaji. "Hai
bocah tolol! Kau bunuhlah perempuan itu sebagai bukti bahwa engkau cinta
pada Titisari!" Sangaji berdiri tertegun. Selama hidupnya, belum pernah ia
menghadapi persoalan sesulit ini. Dasar otaknya kurang cerdas dan berwatak
polos, ia jadi ayal dalam mengambil keputusan. "Kau ternyata sudah
bertunangan. Mengapa engkau melamar anakku?" tegur Adipati Surengpati
bengis. "Apakah arti perbuatanmu ini?" Jaga Saradenta, Ki Hajar
Karangpandan, Ki Tunjungbiru, Panembahan Tirtomoyo dan murid-murid Kyai
Kasan Kesambi terkesiap mendengar suara Adipati Surengpati yang seram luar
biasa. Dengan serentak mereka bersiaga. Mereka melihat muka Adipati
Su-rengpati merah padam. Tangannya bergetar. Itulah suatu alamat bahwa
sewaktu-waktu ia bisa melakukan sesuatu di luar dugaan. Sangaji sekarang,
bukanlah Sangaji yang dahulu. Wamun begitu, belum tentu dia berani
menangkis apabila diserang Adipati Surengpati. Sebab betapapun juga, orang
tua itu adalah ayah Titisari. "Aku berharap... selama hidupku takkan
terpisah dari Titisari," katanya dengan jujur. "Dalam hatiku, hanya ada
satu Titisari. Karena itu... aku tak rela Titisari menjadi milik orang
lain." Selama hidupnya, tak pernah Sangaji berdusta. Karena itu tak peduli
ia berada di tengah-tengah lubang buaya, la menyatakan perasaan hatinya
dengan setulus-tulusnya. Gntung, ia berbicara dalam bahasa Jawa. Dengan
demikian, Mayor de Hoop dan Sonny tak mengerti langsung apa yang sedang
dibicarakan. "Baik," sahut Adipati Surengpati. Tekanan suaranya tidaklah
sekeras tadi. "Sekarang begini saja. Tak apa kau tak mau membunuh perempuan
itu. Tetapi semenjak hari ini, kau kularang bertemu dengan dia." Sangaji
terdiam. Pikirnya bekerja, la teringat ibunya yang berada di Jakarta.
Ibunya berada dalam lindungan Mayor de Hoop, Mayor Willem Erbefeld dan
seluruh kompeni. Sebentar atau lama ia pasti pulang ke Jakarta. "Bukankah
engkau pasti akan berjumpa dan bertemu dengan puteri itu?" kata Titisari
yang dapat menebak jalan pikirannya dengan jitu. "Sebentar atau lama aku
pasti pulang ke Jakarta. Aku takkan membiarkan Ibu me-nunggu-nunggu aku
seorang diri. Dan pada saat itu, masakan aku takkan bertemu dengan Sonny?
Dialah tunanganku, karena aku telah dipertunangkan," sahut Sangaji.
"Tapi... Sonny tak lebih dan tak kurang, kuanggap sebagai temanku bermain.
Katakanlah... dia seumpama adikku. Masakan aku tak boleh bertemu dengan
seorang adik? Setidak-tidaknya, setiap kali aku pasti masih teringat
padanya..." Mendengar keterangan Sangaji, Titisari tertawa. Katanya. "Kau
benar-benar tolol! Tapi justru karena kau tolol itulah aku cinta padamu.
Baiklah! Kau boleh melihat siapa saja. Kau boleh bertemu dengan siapa saja.
Aku tak peduli, asalkan dalam hatimu hanya ada aku seorang." "Tentu."
Sangaji gap-gap. "Baik, begini saja," Adipati Surengpati menengahi. "Ayah
gadis itu berada di sini. Juga gurumu dan sekalian paman-pamanmu. Sekarang
berkatalah keras di hadapan mere-ka, bahwa wanita yang bakal menjadi
istrimu hanyalah Titisari seorang!" Siapa yang tahu kedudukan Adipati
Surengpati menginsyafi, bahwa pendekar sakti yang angkuh luar biasa itu
sudah mau mengalah. Sikapnya lunak dan menarik. Terang sekali, pendekar itu
berperang hebat melawan kebiasaannya sendiri. Ini semua demi kebahagiaan
puterinya seorang. Sebaliknya, Sangaji jadi berbimbang-bim-bang. Ia
menundukkan kepala, memeras otak. Tiba-tiba ia melihat pusaka Kyai
Tunggul-manik dan Bende Mataram terselip di ping-gang Titisari. Lantas saja
ia teringat kepada Sanjaya. Pikirnya, kalau aku pulang pasti Ibu akan
menanyakan keluarga Paman Wayan Suage. Dan apabila ibu mendengar keadaan
putera Paman Wayan Suage, pasti Ibu akan bersedih hati. Terlebih-lebih
apabila aku membawa keris itu pulang. Sebab bukankah menurut Ki Hajar
Karangpandan adalah hak Sanjaya? Benar, akhirnya Ki Hajar Karangpandang
menarik pernyataannya. Tetapi Ibu takkan gampang kubuat mengerti. Bila
akhirnya mendengarkan tutur kataku, pasti aku harus menjelaskan
sebab-musababnya. Paman Wayan Suagelah yang menyerahkan keris itu sebagai
warisannya kepadaku. Lantas... bagaimana dengan pesan terakhir Paman Wayan
Suage tentang Nuraini? Akupun telah menyanggupi untuk mengambilnya sebagai
isteri, tatkala beliau hendak mangkat. Hm... semuanya ini akan membuat Ibu
sedih. Kemudian aku kemukakan pula tentang Titisari. Dengan demikian,
bukankah sekaligus aku memutuskan dua perjanjian berturut-turut? Pertama
kali Sonny. Kemudian Nuraini. Lantas di manakah hargaku kini? Dengan Sonny,
aku telah berjanji. Dan disaksikan Ibu, guru dan orang tua Sonny. Dengan
Nuraini, aku menyatakan janji pula di hadapan Paman Wayan Suage, Ki Hajar
Karangpandan dan guru. Kalau aku sekarang menyatakan pilihanku terhadap
Titisari... bukankah hanya menuruti keinginanku sendiri? Tatkala aku
disyahkan sebagai calon suami Titisari, saksiku hanyalah Paman Gagak Seta.
Dia bukan orang tuaku. Juga bukan guruku yang syah.... Setelah memikir
pulang balik, dengan me-nguatkan hati ia mengambil keputusan. Terus saja ia
mengangkat kepala.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar