12.30.2019

@bende mataram@ Bagian 332

@bende mataram@
Bagian 332

Nah, sekarang bagaimana? Kalau kau serahkan pusaka itu dengan baik-baik,
kamipun mengenal kebaikan pula. Semenjak saat ini, kami akan menjaga
ketenangan padepokan Gunung Damar. Kami tanggung takkan bakal ada lagi
seseorang yang akan menginjakkan kakinya di sini. Sangaji diam-diam
berpikir, "Bukan main banyaknya jago-jago yang berada di sini.
Pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede nampak pula menyelinap di
antara mereka. Hebat! Sungguh hebat pendekar Kebo Bangah. Dari mana dia
bisa memperoleh jago-jago bukan sembarangan ini. Seumpama aku bisa
mengalahkan beberapa orang di antaranya, pastilah mereka akan main kerubut.
Agaknya susah juga menjaga keselamatan padepokan. Aku sendiri bisa
meloloskan diri. Tapi bagaimana nasib guru? Eyang gurupun sampai sekarang
belum jelas ke mana beliau pergi. Tetapi urusan sudah terlanjur jauh, biar
bagaimana aku akan berusaha sedapat-dapatku..." Belum lagi ia mengambil
keputusan, tiba-tiba terdengarlah suara tertawa riuh panjang dan seram luar
biasa. Sesosok bayangan tahu-tahu telah menyelinap masuk. Gerak tubuh orang
itu cepat bagaikan kilat. Dan seperti iblis, tiba-tiba saja sudah berada di
belakang Maesasura. Terus menghantam dengan mendadak. Ilmu sakti Maesasura
ternyata sangat hebat. Begitu merasakan kesiur angin, sadarlah dia bahwa
dirinya sedang diserang dengan mendadak. Tanpa berpaling tangannya terus
memapak ke belakang punggung dengan tujuan mengadu tenaga pukulan keras
melawan keras. Tak terduga-duga orang yang tiba-tiba menyerang, menarik
serangannya dengan cepat. Kemudian ganti mengarah •kepada Keyongbuntet.
Gesit luar biasa Keyongbuntet berkelit seraya mengayunkan kakinya hendak
membalas menendang perut lawan. Namun tahu-tahu orang itu sudah berganti
sasaran lagi. Kali ini yang diserang adalah gerombolan pendekar undangan
Pangeran Bumi Gede. Baru saja mereka hendak bergerak menangkis, sasaran
serangan berganti arah lagi. Hanya sekejap saja, beruntun-runtun empat
sasaran telah di-serangnya dengan mendadak dengan kecepatan yang susah
dilukiskan. Meskipun serangannya tidak mengenai sasaran, tetapi terang dia
mempunyai ilmu kepandaian yang susah dimengerti. Maesasura dan Keyongbuntet
sadar, bahwa mereka sedang berhadapan dengan lawan tangguh. Cepat-cepat
mereka mundur beberapa langkah bersiaga menghadapi kemungkinan. Orang yang
menyerang dengan mendadak itu mengenakan jubah seorang pendeta. Tanpa
menggubris lawan-lawannya dia terus berdiri di samping Sangaji. Ternyata
dia bukan lain Ki Hajar Karangpandan, pendeta edan-edanan tapi berilmu
tinggi. "Anakku Sangaji. Sebentar lagi paman-pa-manmu akan tiba," katanya
lantang. Pendeta angin-anginan itu setelah menghajar perintang-perintangnya
di tengah jalan, kini telah berada di padepokan dengan selamat. Memang ia
sengaja berlaku sebat luar biasa dan merangsang musuh tanpa memedulikan
keselamatannya sendiri untuk mengertak mereka. "Ah, engkaukah itu?"
terdengar suara men-dongkol. Itulah suara Cocak Hijau dan Manyarsewu
berbareng. Mereka berdua pernah bertempur mengadu kepandaian. Ilmunya
setali tiga uang. Namun demikian, mereka kena dimundurkan karena diserang
dengan mendadak. Keruan saja, diam-diam hatinya mendongkol. Ki Hajar
Karangpandan tertawa berkakakan, katanya bergemuruh, "Ya, aku Hajar
Karang-pandan. Kalian mau apa?" Mendengar Ki Hajar Karangpandan
memper-kenalkan namanya, Maesasura menggeram dengan tiba-tiba. Meskipun
belum kenal orang-nya, ia pernah mendengar namanya. Itulah gara-gara pusaka
sakti Bende Mataram tatkala Ki Hajar Karangpandan membunuhi anak-buah sang
Dewaresi tiga belas tahun yang lalu. "Hem... Hajar Karangpandan berani
me-mamerkan adatnya di sini. Bagus! Inilah namanya pucuk dicinta ulam tiba.
Sekali menepuk dua lalat mampus." Ki Hajar Karangpandan tertawa
terkekeh-kekeh. Matanya yang berpengalaman lantas saja dapat menebak siapa
dia. Terus mendamprat, "Memangnya aku manusia licik. Tapi selama hidupku
belum pernah aku menganiaya seorang gadis dari angkatan muda." Dengan
menggerung Maesasura melompat maju seraya membentak, "Ilmu guntur sa-juta
apakah hebatnya. Biarlah aku menjajalnya." Mendengar ucapan lawan,
diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Ilmu guntur sajuta adalah ilmu
kebanggaan dan simpanannya. Jarang sekali dia menggunakan, apabila keadaan
tidak memaksanya. Kini musuh mengetahui berapa ilmu simpanannya itu. Dari
manakah dia mengetahui, pikirnya. Dan kalau dia begitu berani menantang
ilmu simpanannya, pastilah sudah mempunyai pula pegangan kuat untuk
melawannya. Memperoleh pertimbangan demikian, dia lantas bertanya, "Gajah
mati meninggalkan gadingnya. Manusia mampus meninggalkan namanya. Nah,
siapakah namamu?" Maesasura tertawa berkakakan. Dengan membusungkan dada
terus menyahut, "Kau sudi mendengar namaku? Itulah bagus! Inilah Maesasura
adik seperguruan pendekar sakti dari barat Aria Singgela." "Pantas! Pantas!
Meskipun pendekar Kebo Bangah terkenal bengis dan jahat, tapi belum pernah
aku mendengar ia menghina kaum muda. Sebaliknya engkau begitu enak saja
menganiaya seorang gadis dari angkatan muda. Apakah perbuatan itu tidak
menodai nama perguruanmu?" Diingatkan kembali tentang perbuatannya
menganiaya Fatimah, Maesasura tak kuat lagi menahan marahnya. Terus saja ia
membentak sambil melontarkan hantaman. Namun sedikit menggeser, Ki Hajar
Karangpandan berhasil mengelak diri. Diapun lalu membalas pula. Ia tidak
lantas mengeluarkan ilmu kebanggaannya guntur sajuta. Dalam hati ia
bermaksud hendak menyelami dahulu ilmu kepandaian lawan. Dalam pada itu
Maesasura terus mengumbar amarahnya. Dengan cepat ia menangkis sambil
menyerang. Setelah beberapa jurus, serangannya makin lama makin cepat.
Diam-diam Ki Hajar Karangpandan terperanjat. Terasa sekali bahwa
pukulan-pukulan lawan membawa kesiur angin panas tak ubah bara. "Apakah ini
yang disebut ilmu Maruta Dahana? Kabarnya ilmu itu telah lenyap dari
percaturan manusia. Ternyata dia bisa menggunakan dengan baik." Dahulu dia
pernah mendengar nama ilmu itu dari gurunya. Ilmu itu sangat jahat dan
berbisa. Para cerdik pandai dari aliran bersih mengha-puskan ilmu itu dari
ingatannya. Konon kabarnya, ilmu Maruta Dahana terjadi atas wejangan iblis
kepada Warok Secadarma pada zaman Majapahit. Tak lama kemudian corak
pertempuran mereka berubah. Sekarang tidak cepat lagi, tetapi kian
melambat. Akhirnya seperti asal-asalan. Semua orang sadar, bahwa mereka
sedang mengadu ketangguhan ilmu simpanannya masing-masing. Yang satu ilmu
maruta dahana. Yang lain ilmu guntur sajuta. Pada saat itu
sekonyong-konyong dari luar paseban tertebarlah suatu jala sangat besar.
Jala itu berkembang di udara seolah-olah hendak menungkrap seluruh manusia
yang berada di paseban. Sudah barang tentu peristiwa itu sangat mengejutkan
semua yang berada di situ. Maesasura terpaksa mengelak sambil melontarkan
pukulan. Hal itu berarti pula melepaskan perhatiannya kepada titik-tolak
pertempuran. Kesempatan itu dipergunakan dengan sebaik-baiknya oleh Ki
Hajar Karangpandan. Terus saja Ki Hajar Karangpandan memutar ke belakang
dan meng-gablok Maesasura dengan ilmu guntur sajuta seketika itu juga
terdengarlah suatu gemeretakan. Ternyata tulang belulang Maesasura patah
berantakan. Takala itu dalam paseban bertambah seorang lagi. Dia seorang
laki-laki berperawakan hitam lekam dan berkepala gede. Lalu berkata
lantang, "Bagus kau Hajar! Itulah namanya bisa menggunakan kesempatan
sebaik-baiknya." Ki Hajar Karangpandan tertawa riuh. Menyahut, "Otong!
Terhadap manusia yang bisa berlaku kejam mematahi tulang seorang gadis,
masakan perlu bersegan-segan lagi?" Ternyata yang merubah suasana
pertempuran tadi adalah Otong Darmawijaya atau yang terkenal dengan nama Ki
Tunjungbiru. Dia seorang pejuang Banten. Senjata andalannya berwujud sebuah
jala, karena dia seorang nelayan semenjak kanak-kanak. Dengan Ki Hajar.
Karangpandan pernah mengadu kepandaian sampai lima hari lima malam. Di luar
dugaan, dialah penolong besar dalam menghancurkan ilmu Maruta Dahana yang
merupakan pelawan ilmu guntur sajuta. Karena itu di dalam hati, diam-diam
Ki Hajar Karangpandan berhutang budi kepadanya. Maesasura ternyata seorang
laki-laki tangguh. Meskipun tulang sendinya kena dipatahkan, dia tak
merintih. Hanya saja tenaganya sudah punah. Kakak seperguruannya
Keyongbuntet lantas memapahnya dan diletakkan hati-hati di luar gelanggang.
"Anakku Sangaji!" kata Ki Tunjungbiru. "Paman-pamanmu sudah sampai di kaki
gunung. Karena itu menghadapi cecurut-cecu-rut macam mereka, tak perlulah
beresah hati." Mendengar ucapan Ki Tunjungbiru, dalam hati Sangaji
bersyukur. Dengan datangnya segenap pamannya tidaklah sukar untuk
mempertahankan keselamatan padepokan Gunung Damar. Pendekar Keyongbuntet
yang kemudian memasuki gelanggang sudah bersiaga. Dia seorang pendekar yang
berperawakan pendek kecil. Mukanya buruk dan kering. Kepalanya botak tak
berambut. Meskipun demikian ternyata dia lebih tangguh dari adik
seperguruannya Maesasura. Dari ubun-ubunnya yang botak licin, tiba-tiba
terlihatlah suatu uap kelabu. "Anakku Sangaji, awas!" teriak Ki Hajar
Karangpandan terperanjat. "Rupanya engkaulah yang diincar. Itulah ilmu
Maruta Dahana yang sudah mencapai puncaknya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar