12.19.2019

@bende mataram@ Bagian 320

@bende mataram@
Bagian 320

Dengan mengerahkan tenaga menurut ilmu sakti Bende Mataram, ia berhasil
membongkar batu-batu. Kemudian ditumpuk rapi, merupa-kan benteng pertahanan
yang kokoh kuat. Sementara itu, pertempuran kian bertambah seru.
Murid-murid Kyai Kasan Kesambi menghadapi saat-saat yang genting. Mereka
dikepung rapat. Sudah begitu, mereka dihujani panah. Gagak Handaka jadi
cemas. Pikirnya: "Kalau begini terus-terusan, lambat-laun pasti ada salah
seorang yang tewas." Setelah berpikir demikian, ia mengedipi Ranggajaya.
Kemudian dengan tenaga ga-bungan, ia menggempur musuh berbareng berkata
nyaring, "Perlahan-lahan kita mun-dur!" Bagus Kempong dan Suryaningrat
lantas saja mundur setelah menangkis hujan panah. Tapi mendadak di angkasa
terdengar suara mengaung-agung. Itulah tabuan beracun balatentara angkasa
piaraan Kebo Bangah. Mereka terbang berputaran, seperti awan
berarak-arakan. Untung saja, mereka belum menyerang semenjak tadi karena
segan melihat obor. Celaka! pikir Titisari. Gadis itu cepat meraup senjata
biji sawo. Ia menghampiri murid-murid Kyai Kasan Kesambi. Berkata nyaring,
"Awas lebah beracun!" Selama hidupnya baru kali itulah mereka menghadapi
tentara lebah. Karena itu mereka ragu-ragu mendengar peringatan Titisari.
Meskipun demikian hatinya terkesiap juga. Titisari tak menunggu lama-lama
lagi, sebat luar biasa ia mulai bertindak. Dengan meng-hamburkan biji
sawonya, ia menyerang sambil merampas obor. Terus saja dilepaskan ke
angkasa, sehingga merupakan pemandangan yang indah. Dengan berbuat
demikian, medan pertempuran jadi gelap. Dan lebah-lebah piaraan bubar
berderai. "Ah! Suatu akal bagus!" pikir Gagak Handaka. "Jika medan
pertempuran menjadi gelap, bukankah kesempatan bagus untuk dapat
mengundurkan diri?" Memikir demikian segera ia berkata kepada adik-adik
seperguruannya. "Rampas obor!" Bagus Kempong sudah mendahului bertin-dak.
Ia merangsak lawan dan berlindung di tengah. Pedangnya berkelebat memainkan
jurus Mayangga Seta. Hebatnya tak terka-takan. Juga Suryaningrat tak mau
ketinggalan. Murid bungsu Kyai Kasan Kesambi ini bergerak dengan lincah.
Pedangnya menyambar-nyambar. Sebentar saja, obor-obor kena dirampasnya dan
dilontarkan ke udara seperti bunga api. Pada saat itu terdengarlah suara
teriakan menyayatkan hati. Surapati murid Ki Hajar Karangpandan kena hujan
panah. Dan rebah tak berkutik di atas tanah. "Bangsat!" maki Ki Hajar
Karangpandan. Terus saja ia mengamuk. Cocak Hijau kena digempur jungkir
balik. Tapi pendekar-pendekar undangan Pangeran Bumi Gede yang lain segera
mengepungnya sehingga ia tak dapat bergerak. Dalam pada itu pertempuran
antara Jaga Saradenta dan Manyarsewu mendekati saat akhirnya. Jaga
Saradenta nampak kerepotan, karena kena keroyok. Penggadanya
menyam-bar-nyambar mengemplangi kepala. Sekalipun demikian, tak dapat ia
berbuat banyak. Manyarsewu benar-benar gagah. Selagi demi-kian, panah-panah
laskar mengaung-ngaung tiada hentinya. Untung—berkat ketangkasan Titisari
dan murid-murid Kyai Kasan Ke-sambi—medan pertempuran agak gelap, tapi
bukan berarti kurang berbahaya. Pada saat itu tiba-tiba sebuah penggada
menyambar dari samping. Itulah penggada pendekar Wongso CJdel, Jaga
Saradenta kaget. Ingin ia menangkis, tapi kena libat Ma-nyarsewu dan
puluhan laskar. Tak terasa ia memekik perlahan. "Celaka!"
Sekonyong-konyong, penggada yang hampir memukul tengkuknya terpental balik.
Dan di sampingnya berdiri Titisari. Dia mendapat tugas Sangaji melindungi
gurunya. Tugas itu ternyata dilaksanakan dengan baik. Namun Jaga Saradenta
tak luput dari hujan panah. Tahu-tahu lambungnya tertancap empat panah
sekaligus. "Paman! Mundur!" teriak Titisari cemas. Cepat gadis itu
menghamburkan biji sawonya berbareng menarik lengan Jaga Saradenta.
"Mengapa mundur?" teriak Jaga Saradenta. Titisari kenal watak Jaga
Saradenta yang keras kepala dan tak mau mengerti, la mengerahkan tenaga
untuk menariknya mundur. Si tua tetap bersitegang. Sedang pendekar-pendekar
rekan Manyarsewu dan dua belas laskar datang menyerbu. Keruan saja ia jadi
repot bukan kepalang. "Bagus! Jangan biarkan lolos!" terdengar suara
seperti gembreng pecah. Itulah pendekar Kebo Bangah. Seperti diketahui ia
melihat Adipati Surengpati, agar pendekar itu jangan dapat bergerak dengan
leluasa. Setelah bertempur kurang lebih lima puluh jurus, ia segera
memanggil sisa pendekar undangan Pangeran Bumi Gede dan tiga puluh laskar.
Dasar ia licin dan licik. Mereka semua itu diperintahkan melibat Adipati
Surengpati. Dia sendiri terus mundur jumpalitan mencari Titisari. Keruan
saja Titisari terkejut setengah mati. Cepat ia melepaskan tangan Jaga
Saradenta dan terus bersiaga. "Ha! Kau hendak lari ke mana?" bentak Kebo
Bangah. "Kau serahkan kedua pusaka itu! Kutanggung, semua laskar ini akan
mundur. Dan kalian boleh pergi dengan bebas." Titisari seorang gadis cerdas
luar biasa. Seketika itu juga, sadarlah dia bahwa ter-jadinya_ penyerbuan
itu adalah semata-mata untuk merebut kedua pusaka Bende Mataram yang
disimpannya dalam pinggang. "Kau jangan mimpi! Rebutlah!" tantangnya. Ia
terus mundur. Dalam hatinya hendak mendekati tempat Sangaji berada. Kebo
Bangah tertawa mendongak. Menyahut, "Apa sih sukarnya merebut pusaka itu."
Setelah berkata demikian, Kebo Bangah membuktikan Ucapannya. Titisari boleh
lincah dan gesit berkat jurus-jurus ilmu sakti yang dimiliki. Tetapi
menghadapi pendekar Kebo Bangah ia seperti mati kutu. Soalnya belum
terlatih dan kekurangan tenaga bila dibandingkan dengan tenaga Kebo Bangah.
Karena itu sebentar saja ia mulai kericuhan. Mau tak mau, hati Adipati
Surengpati yang angkuh dan sombong cemas juga melihat puterinya kena libat.
Celakanya, ia kena di-rintangi laskar-laskar dan pendekar-pendekar
undangan. Benar ia tak memperoleh ke-sukaran berarti, tetapi gerak-geriknya
jadi tak leluasa. Namun tak percuma ia disebut seba-gai salah seorang tokoh
terbesar pada zaman itu. Dengan bersuit panjang, ia menggempur
lawan-lawannya. Kemudian meloncat ke udara dan turun dengan manis di
samping puterinya. Pada saat itu mendadak ia mendengar suara yang
dikenalnya. "Aku di sini." Itulah Sangaji yang telah bersiaga menolong
putrinya. Teringat akan jurus-jurus putrinya tadi sewaktu melawan
Pringgasakti, ia jadi ingin menyaksikan kemampuan bocah itu. Pikirnya,
biarlah dia menolong Titisari. Ingin aku melihat apa yang dapat dilakukan.
Seumpama tak ungkulan melawan Kebo Bangah, belum kasep aku turun tangan.
Kebo Bangah lantas saja mengenal siapa yang berada di depannya. Tanpa
ragu-ragu, ia menggunakan pukulan Kala Lodra. Itulah ilmu sakti andalannya.
Kehebatannya tak usah kalah dibandingkan dengan ilmu sakti Kumayan Jati dan
Witaradya. Tapi kali ini dia bakal ketemu tandingannya. Mendadak saja, ia
merasakan suatu dorongan luar biasa kuat. Dadanya terasa menjadi sesak.
Cepat-cepat ia menutup semua jalan darahnya dan berkisar mundur. Di waktu
itu mendadak ia melihat Adipati Surengpati sudah berada tak jauh darinya.
Kalau dia turun tangan, celaka! pikir Kebo Bangah dengan terpaksa ia mundur
mening-galkan gelanggang. Tetapi Sangaji tak mau sudah. Tatkala memapak
pukulan Kebo Bongah, ia menggunakan tenaga enam bagian. Hatinya masih
ragu-ragu apakah sanggup menerima pukulan dahsyat itu. Di luar dugaan, ia
tak merasakan suatu akibat. Bahkan pukulannya sendiri terasa bisa menembus.
Merasakan kenyataan itu, hatinya girang bukan main. Sekarang ia yakin benar
akan kekuatan diri sendiri. Terus saja ia melompat dan mengi-rimkan pukulan
lagi. Kebo Bangah menoleh cepat. Buru-buru ia berjongkok. Dengan
mengerahkan seluruh tenaga ia menyambut. Hasilnya mengejutkan dirinya.
Tiba-tiba saja, tubuhnya bergoyang-goyang. Dan ia tertolak ke belakang
sampai terkisar dari tempatnya. Ia jadi heran, cemas dan gusar. Pikirnya,
masakan aku kalah melawan dia? Segera ia hendak mengulangi. Tapi pada saat
itu, Manyarsewu, Cocak Hijau, Abdul-rasim dan Suranggana datang menyerbu.
Dan celakalah pendekar empat ini. Kena benturan pukulan Sangaji, mereka
terpental sampai terbang ke udara. Keruan saja Kebo Bangah terkejut bukan
main. Cepat ia melontarkan pukulan dahsyat lagi, sewaktu Sangaji belum
bersiaga. Kemudian mundur empat langkah. Dan pada saat itu Pangeran Bumi
Gede sudah berada di sampingnya. Pangeran ini pun heran menyaksikan
ketangguhan Sangaji. Bertanya sambil mencabut senjata tongkatnya. "Siapakah
lawan Tuan?" Terhadap pangeran itu, tak sudi Kebo Bangah memperlihatkan
kelemahannya. Tapi bocah itu memang hebat luar biasa. Maka sambil meloncat
mundur ia menjawab, "Itulah bocah Sangaji. Benar-benar dialah yang mem-bawa
kedua pusaka warisan. Jangan sia-sia-kan kesempatan ini. Paduka tangkaplah.
Aku sendiri hendak mengatur budak-budakku yang tak berguna." Tetapi
Pangeran Bumi Gede bukanlah seorang pangeran goblok. Melihat Kebo Bangah
keripuhan, ia tahu menaksir kekuatannya sendiri. Cepat ia memutar tubuhnya
dan berlindung di belakang laskarnya. Sangaji tak mau mensia-siakan
kesempatan itu. Cepat ia melompat hendak mengejar. Belum lagi mendarat di
tanah, ia telah dihujani ratusan panah, tombak dan lembing. Mau tak mau ia
harus memunahkan dahulu. Dan waktu itu laskar Pangeran Bumi Gede telah
mulai mengepung rapat. "Bagus!" serunya mendongkol. Terus saja ia
melepaskan pukulan angin berantai. Dan seketika itu juga, padamlah
obor-obor pene-rangan. Mereka yang berada dekat dengan Sangaji, terpental
mundur dan menumbuki rekan-rekannya. Adipati Surengpati, murid-murid Kyai
Kasan Kesambi dan Kebo Bangah dalam kesibukan-nya masing-masing,
terheran-heran menyak-sikan kegagahan Sangaji. Pemuda itu ternyata dalam
sekejap saja sudah berubah menjadi manusia lain. Gerak-geriknya gesit,
tangkas dan tenaganya luar biasa kuatnya.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar