12.20.2019

@bende mataram@ Bagian 322

@bende mataram@
Bagian 322

Pendekar yang termasyhur serta pandai itu, ternyata berdiri tegak seperti
tugu. la tak menghiraukan kesibukan para pendekar. Juga tidak mengindahkan
sepak terjang laskar Pangeran Bumi Gede. Yang diamat-amati adalah
gerak-gerik Kebo Bangah. Ia kenal kelicinan dan kelicikan pendekar dari
barat itu. Sewaktu-waktu bisa meletuskan perbuatan di luar dugaan orang.
Sebaliknya pada saat itu, Pangeran Bumi Gede sedang mengerahkan segenap
laskarnya dengan dibantu pasukan kompeni. Terasa sekali, betapa besar
niatnya hendak me-numpas para pendekar yang telah memiliki kedua pusaka
Bende Mataram itu. Tak kenal lelah, ia terus memberi aba-aba agar laskarnya
menyerang dan menyerbu tanpa berhenti. Namun hasilnya sampai fajar hari
belum nampak. Ia jadi mendongkol berbareng kagum. "Benteng itu darimana
datangnya?" ber-kali-kali ia menebak-nebak. Ia memanggil Sanjaya agar
mencari pendekar Kebo Bangah yang diagul-agulkan. Namun betapa Sanjaya
mencarinya ubek-ubekan tiada juga nampak batang hidungnya. Hal itu membuat
Pangeran Bumi Gede sibuk seorang diri. Kecurigaannya lantas timbul. Betapa
pun juga dia bukanlah seorang Pangeran yang tak mempunyai otak. Dalam hal
kelicinan, dia tak perlu kalah bersaingan dengan Kebo Bangah. Cara kerjanya
bahkan lebih rapi, cermat dan hati-hati. Kira-kira menjelang jam empat
pagi, ia telah memperoleh kesimpulan. Garang ia memanggil panglimanya.
"Pasang barisan kuda berakit. Mereka harus dapat kita kuasai sebelum
matahari muncul di timur!" Pada zaman itu, para panglima perang su-dah
mengenal tata perang kuda berakit. Ba-risan kuda berakit terdiri dari
delapan sampai sepuluh ekor. Kuda-kuda itu diperlengkapi de-ngan bahan api.
Dalam hal ini tiang-tiang obor. Kemudian sepasukan laskar dengan senjatanya
masing-masing lari di belakangnya untuk mengadakan serangan serempak. Cara
penyerangan begini ini, kerapkali membawa hasil bagus, karena musuh kena
digertak dengan suara derap kuda dan gemuruh sorak-sorai. Mereka yang
berada dalam kubang perta-hanan adalah pejuang-pejuang bangsa yang kenyang
dengan pengalaman perang. Sedang-kan murid-murid Kyai Kasan Kesambi
menge-nal tata perang demikian dari tutur kata guru-nya. Hanya saja, mereka
tiada diwajibkan untuk memahami. Tujuan Kyai Kasan Kesambi adalah membentuk
ksatria-ksatria sejati. Dan bukan bercita-cita agar muridnya menjadi
seorang panglima perang. Karena itu pengetahuan mengenai hal itu boleh
dikatakan sambil lalu belaka. Meskipun begitu murid-muridnya bukanlah
sekelompok manusia yang tak diberi ilmu untuk mempertahankan diri apabila
menghadapi serangan demikian dengan tiba-tiba. Itulah sebabnya, begitu
mereka melihat gerakan laskar Pangeran Bumi Gede segera timbul
kecurigaannya. Bagus Kempong yang merupakan otak mereka, dengan cepat
meloncat ke atas batu menebarkan pengli-hatan. Dengan bersungguh-sungguh ia
berka-ta, "Kangmas Handaka! Mereka agaknya sedang memperkuat barisan kuda
berakit. Inilah bahaya." Setelah berkata demikian, terus ia mengki-siki
saudara-saudaranya agar menebarkan diri. Masing-masing harus menghadapi
sekelom-pok barisan kuda berakit. Menurut taksiran, tak usahlah mereka kena
desak. Hanya saja, kalau terlalu banyak pastilah timbul kesulitan. Ki Hajar
Karangpandan, Panembahan Tirto-moyo dan Ki Tunjungbiru pun sudah bersiaga.
Hati mereka jadi tegang. Sadarlah mereka, bahwa pertempuran akan terjadi
sebentar nanti. Mereka tak usah menunggu lama atau ter-dengarlah kemudian
sorak sorai gemuruh. Ternyata Pangeran Bumi Gede melepaskan barisan kuda
berakit delapan kelompok sekali-gus. Mereka menyerang dari segala penjuru
dengan berbareng. Kuda-kuda itu dicambuki dari belakang. Malahan ada pula
yang ditusuki dengan bambu berapi. Keruan saja, binatang-binatang itu lari
melompat-lompat. Dan sebentar saja bagai badai menerjang tembok kubang
pertahanan. "Lepaskan obor!" seru Adipati Surengpati. Sebenarnya seruan itu
hanya dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk bertahan. Dia cukup tahu, bahwa
di dalam kubang perta-hanan tiada sebatang obor pun. Tetapi dia tak
kehilangan akal. Cepat luar biasa ia melesat dan menghantam barisan kuda
terdepan de-ngan pukulan sakti Witaradya. Kena pukulan-nya, barisan kuda
itu jatuh bergulingan. Tenaganya punah. Bahkan sebentar saja,
binatang-binatang itu kehilangan napasnya. Kemudian dengan sebat ia
menyambar tiang-tiang obor yang berada pada punggung binatang tersebut.
Terus ia melontarkan ke arah barisan kuda berakit yang kedua. Cara
perlawanannya itu membangkitkan semangat tempur yang lain. Ki Hajar
Karangpandan dan Ki Tunjungbiru yang memiliki kegesitan melebihi manusia
lumrah, terus merabu meniru gerak-gerik Adipati Surengpati. Mereka berhasil
mengacau-balaukan. Tadi barisan kuda yang lain berhasil meruntuhkan
tumpukan batu. Meskipun banyak di antara-nya yang patah kakinya, tetapi
laskar yang ikut menyerbu di dalamnya berhasil memasuki daerah pertahanan.
Suryaningrat dan Bagus Kempong dengan serentak membabatkan pedangnya.
Mereka telah menguasai ilmu sakti Mayangga Seta ciptaan gurunya. Tak
mengherankan, bahwa gerak-gerik mereka gesit luar biasa dan seben-tar saja
berhasil menumpas laskar-laskar yang sama sekali tak memiliki kepandaian
berkelahi perseorangan. Melihat terjadinya pertempuran itu, Sangaji jadi
gelisah. Sewaktu hendak bergerak, tiba-tiba lengannya terasa teraba oleh
tangan halus, ia menoleh. Dan melihat Titisari berdiri tegang di
sampingnya. "Kau mau apa?" tanyanya. Titisari tersenyum, menyahut: "Kau mau
ikut-ikutan bertempur macam begini?" "Habis?" "Lebih baik kau susunlah
batu-batu ben-tengmu yang jadi berserakan. Kau susunlah lebih lebar lagi.
Dengan demikian, daerah per-tahanan kita menjadi luas. Dan mereka yang
terlanjur masuk ke dalam benteng bukankah seperti sekumpulan kelinci
terjebak ke dalam perangkap?" Sangaji mengerutkan keningnya, cepat ia
menimbang-nimbang. Agaknya akal itu, bagus juga. Maka cepat ia bekerja.
Dengan mengerahkan tenaga saktinya, batu-batu pegunungan yang mempunyai
berat tak kurang dari seribu kati itu diangkatnya dengan mudah. Kemudian
dilemparkan berjajar bagai dinding pagar. Itulah pekerjaan ulangan. Karena
itu, ia dapat melakukan dengan cepat. Kala itu, matahari mulai menebarkan
cahayanya. Sepak terjang Sangaji dapat terli-hat dengan jelas. Laskar
Pangeran Bumi Gede dan seluruh pasukan kompeni kagum dan ter-heran-heran
menyaksikannya sampai mereka berdiri dengan bengong. Malahan Ki Hajar
Karangpandan, Panembahan Tirtomoyo, Ki Tunjungbiru dan murid-murid Kyai
Kasan Kesambi sejenak melupakan keadaan pertem-puran. Dengan tak
dikehendaki sendiri, pe-perangan mendadak berhenti seperti terlerai.
Adipati Surengpati berdiri tegak menga-waskan. Diam-diam ia berkata dalam
hati: Apakah benar Pusaka Bende Mataram begini sakti? Kalau benar demikian,
Gagak Seta jauh lebih waspada dari padaku. Jauh-jauh dia telah
menyingkirkan diri—agaknya aku pun bukan lawannya pada beberapa bulan yang
akan datang ... Dengan berhentinya peperangan kacau itu, celakalah nasib
sebagian laskar yang terku-rung dalam benteng. Tanpa ampun lagi Ki Hajar
Karangpandan menghajarnya kalang kabut. Mereka dilemparkan bagaikan bola
keluar dari dinding batu. Kuda-kuda mereka dirampasnya pula. "Hai, menunggu
apa lagi?" teriaknya. "Besok masih ada matahari. Untuk menghajar mereka,
sepuluh tahun lagi belum kasep!" "Kau mau lari ngacir," sahut Ki
Tunjungbiru. "Mengapa tidak? Lihat! Seluruh lapangan ini penuh dengan
kompeni." Hampir berbareng dengan ucapannya, berondongan peluru berdesing
menghantam batu-batu dan udara. Mereka yang berada dalam kubang pertahanan,
buru-buru bertiarap dan berlindung di bawah dinding. "Bagus!" teriak Ki
Tunjungbiru penasaran. "Kalau kau mau lari-larilah! Ingin aku menyaksikan
seorang pahlawan dalam Babad Giyanti lari ngacir seperti anjing takut
gebuk." "Kau bilang apa?" Ki Hajar Karangpandan melotot. "Aku bilang kau
seperti anjing takut gebuk!" balas Ki Tunjungbiru dengan melotot pula.
Mereka berdua pernah bentrok pada zaman Perang Giyanti karena berselisih.
Meski pun kini berbaik kembali, tapi rasa perselisihannya dahulu masih saja
melekat dalam hati sanubarinya. "Bagus! Jadi kau tak mau lari?" teriak Ki
Hajar Karangpandan. "Tidak! Memangnya aku bangsa tikus?" "Kalau begitu,
marilah tolong aku menyem-belih kuda-kuda ini. Sebab kita bakal bertem-pur
di sini sampai mati. Kalau perutmu kosong melompong, bukankah kau bakal
mampus seperti orang keserakat?" Habis berkata demikian, Ki Hajar
Karang-pandan tertawa terbahak-bahak. Dia memang terkenal sebagai pendeta
ugal-ugalan. Namun otaknya cerdik dan susah diduga kehen-daknya.
Kedengarannya ia seperti hendak melarikan diri, tetapi sebenarnya tidaklah
begitu. Ajakannya bermaksud membakar semangat perjuangan mereka yang berada
di situ. Hal itu ada sebabnya. Pada waktu itu, kompeni mulai bergerak
mendekati benteng pertahanan. Mereka yang berada di situ, hanyalah Jaga
Saradenta seorang yang pernah mempunyai pengalaman kena jirat ocehan Ki
Hajar Karangpandan. Itulah sebabnya, begitu men-dengar suara Ki Hajar
Karangpandan, terus saja dia bangkit dengan menekan lukanya. Katanya, "Kau
memang pendeta gendeng. Apakah kau hendak menantang aku mengadu keuletan
tiga belas tahun lagi?" Ki Hajar Karangpandan menoleh. Melihat Jaga
Saradenta, ia tertawa mendongak. Matanya berseri-seri. Suatu kegembiraan
ter-bersit dari paras mukanya. "Tiga belas tahun yang lalu, kita bertempur
perkara pusaka Bende Mataram. Kini pun kita menghadapi gerombolan
tikus-tikus yang banyak bertingkah pula," ia berhenti sebentar. Kemudian
berpaling kepada Sangaji, berkata meninggi, "Anakku Sangaji! Kau kini
benar-benar telah memperoleh manfaatnya memiliki kedua pusaka warisan itu.
Hatiku senang. Mati pun aku puas. Cuma saja me-ngapa anak Wayan Suage sama
sekali tak mempunyai rejeki?" Diingatkan tentang Sanjaya, Sangaji menunduk
ke tanah.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar