12.29.2019

@bende mataram@ Bagian 331

@bende mataram@
Bagian 331

Melihat Sangaji, seleret cahaya melintas pada wajah Wirasimin. Dengan
meronta ia berkata setengah girang. "Ah! Gus Aji. Mana paman-paman gurumu?"
Dalam benak cantrik itu, hanya teringat kepada murid-murid Gunung Damar
yang tangguh dan sakti luar biasa. Dahulu Gunung Damar pernah dikerumuni
manusia-manusia tak diundang pada ulang tahun Kyai Kasan Kesambi yang ke 83
. Mereka semua kena terpukul mundur oleh murid-murid Gunung Damar. Kinipun,
padepokan Gunung Damar sedang kena bencana. Celakanya, Padepokan sedang
sepi. Karena itu dalam seribu kerepotannya, cantrik itu mengharap-harap
kedatangan mereka. Terhadap Sangaji dia belum menaruh suatu kepercayaan
besar. Maklumlah, selain masih muda belia, perkembangannya yang terakhir
sama sekali belum diketahui. Sangaji sendiri adalah seorang pemuda yang
berhati sederhana. Terhadap pemikiran demikian, sama sekali tak dirasukkan
dalam perbendaharaan hati. Dengan senang hati ia lalu menjawab, "Tenangkan
hatimu. Sebentar lagi paman-paman akan tiba di padepokan. Menghadapi bangsa
kurcaci, masakan perlu menunggu beliau sekalian. Nah, di manakah Eyang
Guru?" "Eyangmu kedatangan seorang tetamu. Beliau lantas pergi mengikuti
tetamu itu. Entah ke mana. Lalu... lalu... padepokan mendadak jadi neraka.
Mereka bangsat-bangsat tak keruan hendak membakar padepokan. Tentu saja
perbuatan mereka tak bakal diizinkan para cantrik. Tanpa mengingat kekuatan
sendiri, para cantrik berusaha bertahan diri." "Dan guru?" potong Sangaji.
"Dia masih dalam kamarnya." "Bagus!" seru Sangaji girang. Hatinya yang
mencemaskan keadaan gurunya kini tak mempunyai alasan lagi untuk beresah
hati. Dengan sekali berkelebat ia membuka pintu dengan hati-hati. Terus
saja ia melongok. Dan di atas sebuah dipan dilihatnya gurunya menggeletak
tak berkutik. Seluruh tubuhnya terbebat rapat-rapat. Hal itu membuktikan,
bahwa eyang gurunya mencoba mengobati sebisa- bisanya. Sementara
paman-paman gurunya berusaha mencari obat pemunah racun yang mengeram dalam
tubuh gurunya. "Guru!" bisik Sangaji dengan hati terharu. Terus saja ia
mendeprok ) di tanah. "Demi untukku, Guru berkorban dan mengorbankan
semuanya. Budi Guru setinggi gunung." Teringat kepada obat pemunah racun,
ia meraba-raba kantungnya. Mendadak teringat pulalah dia, bahwa obat
pemunah racun serta obat penyambung tulang berada di tangan paman-paman
gurunya, la jadi termangu-mangu karena tak dapat melakukan sesuatu. Selagi
dalam keadaan demikian, tiba-tiba ter-dengar suara bergelora di paseban.
"Kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi yang sok agung-agungan bersembunyi
seperti kura-kura, biarlah kita sembelih anak cucu muridnya dan para
cantriknya dahulu. Aku kepengin melihat, apakah dia tetap tak berani
keluar..." Suara itu bukan main kerasnya sampai atap pun ikut tergetar. Dan
Wirasimin gemetaran. Hatinya jadi ciut dan nyaris berputus asa. Kemudian
terdengar suara lagi yang bernada seperti burung betet. "Bagus! Tapi lebih
baik kita bakar dahulu padepokan ini! Masakan akan kasep menyembelih
babi-babi ini." "Bagaimana kalau tua bangka Kyai Kasan Kesambi ikut
terbakar. Bukankah sayang? Mestinya kita harus menawannya dahulu. Lalu kita
seret dia keluar. Kita pertunjukkan dia dahulu kepada semua golongan dan
aliran orang-orang berilmu, agar mereka mengenal tampangnya." Jarak antara
paseban dan kamar Wirapati, tidaklah jauh. Tetapi mereka berbicara sangat
lantang dan kasar. Agaknya sengaja hendak memamerkan kehebatan tenaga
saktinya. Tentu saja betapa sederhana hati Sangaji, mendengar nama eyang
gurunya direndahkan demikian rupa jadi bergusar. Wirapati yang nampak tak
berkutik di atas amben, mendadak saja terdengar menghela napas. "Hm. Coba
ingin kulihat siapa mereka itu!" dengus Sangaji dalam dadanya. Terus saja
ia melesat keluar kamar dengan gesit. Dan menyaksikan kegesitan Sangaji,
Wirasimin yang belum menaruh kepercayaan kepadanya, terkesiap hatinya.
Suatu kegirangan yang tak diketahuinya sendiri dari mana datangnya,
membersit dalam lubuk hatinya. Terus saja ia ikut keluar dengan dada
berdebar-debar. Paseban ternyata sudah penuh dengan manusia. Kurang lebih
dua tiga ratus orang. Sangaji terus memasuki ruang paseban dengan langkah
tenang. Tiba-tiba ia melihat dua orang berpakaian merah darah. Lantas saja
teringatlah dia kepada keterangan Fatimah. Segera ia menduga, bahwa mereka
inilah yang menganiaya gadis itu. Namun ia masih bersangsi. Melihat
keluarnya Sangaji, dua orang itu jadi terheran-heran. Yang tinggi besar
lalu berkata, "Manakah tua bangka Kasan Kesambi?" "Hm... untuk menghadapi
bangsa cecurut seperti kalian, masakan perlu eyang guruku sampai
bersusah-susah turun tangan. Aku cucu muridnya rasanya cukup menghadapi
kalian." "Siapa kau?" bentak yang pendek kecil. "Aku Keyongbuntet tak biasa
menghadapi penghinaan begini. Apalagi adikku Maesasura ini. Dia paling
benci kepada seorang pemuda yang bermulut besar dan menjual tampang."
"Kalau benar demikian, alangkah menghe-rankan bahwa kalian yang mengaku
diri golongan terhormat sampai hati menganiaya seorang gadis!" sahut
Sangaji untung-untungan untuk mencari kepastian. Mendengar ucapan Sangaji,
wajah mereka mendadak berubah hebat. Maesasura terus menggerung, sedang
Keyongbuntet tertawa berkakakan dengan sekonyong-konyong. "Gadis tiada
harganya dalam percaturan hidup ini, apa perlu dibicarakan di sini?" kata
Keyongbuntet yang bisa berpikir cepat. Memang, mula-mula mereka terperanjat
berbareng heran mendengar ucapan Sangaji. Dari manakah pemuda itu bisa
mengetahui. Sebagai seorang pendekar yang sudah berpengalaman, lantas saja
bisa menduga bahwa perbuatannya telah ketahuan. Siapa lagi yang bilang
kalau bukan gadis itu sendiri. Memperoleh pikiran demikian tahulah mereka,
bahwa gadis itu telah ketolongan. Diam-diam mereka menyesali diri sendiri,
apa sebab gadis itu tak dibunuhnya sekali. Sebaliknya mendengar pengakuan
Keyong-buntet, darah Sangaji meluap nyaris tak ter-kendalikan lagi. Dengan
pandang berapi-api ia menatap mereka. "Hutang nyawa harus dibayar dengan
nyawa pula. Malahan berikut bunganya sekali!" kata Sangaji dengan suara
menggeletar menahan marah. Keyongbuntet bersikap adem. Matanya merem melek
seolah-olah tak mengacuhkan kegusaran Sangaji. Dengan enak saja dia
mendesak. "Kau anak kemarin sore yang banyak berlagak mau apa?" Belum lagi
Sangaji menyahut, Maesasura menyambung, "Biarlah dia berlagak. Gadis itu
memang gula-gulanya. Dan kalau dia sudi memperisterikan dia, ha—itulah baru
cocok. Apa sih kelebihannya anak cucu murid tua bangka Kasan Kesambi? Kalau
saja bininya bukan kambing, itulah sudah untung." Bukan main tajam
kata-kata mereka. Sangaji yang berhati sederhana sampai tak tahan lagi
mengendalikan diri. Terus saja ia menggeser kakinya, siap bertempur.
Mendadak ia teringat sesuatu. Berkata tenang, "Kalian mendaki padepokan
Gunung Damar bukankah bermaksud hendak merampas pusaka Bende Mataram? Nah,
inilah pusaka itu!" Ia berhenti mengesankan sambil memperlihatkan Keris
Kyai Tunggulmanik dan Kyai Bende Mataram. "Kalau kalian kini sudah
mengetahui dengan jelas, selanjutnya per-kara pusaka ada padaku. Sekarang
bagaimana?" Melihat kedua pusaka itu dengan tak ter-sangka-sangka, mereka
terperanjat sampai mundur setengah langkah tanpa disadari sendiri. Yang
lain-lainnya tak usah dibicarakan lagi. Mereka lantas saja berbisik-bisik
ramai. "Hai bocah!" teriak Maesasura. "Kau mem-bawa-bawa kedua pusaka
sakti. Apakah kau Sangaji?" "Benar. Mengapa?" Mendengar jawaban Sangaji,
mendadak saja dia jadi gelisah. Keyongbuntet bahkan me-> noleh ke belakang
menebarkan mata. Mereka berdua adalah adik seperguruan pendekar Kebo
Bangah. Kalau dibandingkan dengan Kebo Bangah, kegagahannya hanya kalah dua
urat. Karena itu mereka jumawa. Meskipun demikian mereka kenal kegagahan
murid-murid Gunung Damar. Tadi pagi mereka memperoleh keterangan, bahwa
murid-murid Gunung Damar masih terkurung barisan kompeni. Menurut
perhitungan, tak gampang-gampang mereka dapat meloloskan diri. Di luar
dugaan, kini ia berhadapan dengan Sangaji. Bukannya mustahil, bahwa
mereka-pun sudah tiba di padepokan dengan diam-diam. "Hai, bocah! Dengan
seorang diri masakan kau sanggup melawan dua tiga ratus orang?" kata
Maesasura. Ia licin. Ocapannya itu dimaksudkan untuk mencari kepastian
apakah murid-murid Gunung Damar sudah tiba di padepokan. Sekiranya mereka
benar-benar sudah berada di padepokan, diam-diam mereka bersiaga akan
melihat gelagat. Sangaji adalah seorang pemuda yang jujur. Meskipun ilmu
kepandaiannya kini sudah susah terukur tingginya, namun ia tak mengerti
jebakan lawan. Dengan hati terbuka dia menyahut, "Untuk menghadapi kalian,
masakan paman-paman guruku perlu hadir?" "Bagus!" Mereka berseru berbareng
dengan girang. Meskipun pernah mendengar kegagahan Sangaji dari mulut kakak
seperguruannya Kebo Bangah, mereka tak perlu berkecil hati. Pikir mereka:
dia boleh gagah, tapi masakan bisa menghadapi keroyokan dua tiga ratus
orang. Maka Keyongbuntet lalu berkata lantang lagi, "Bocah! Kau bilang
sendiri, bahwa pusaka Benda Mataram ada padamu. Dan selanjutnya urusan
pusaka kaualihkan padamu pula. Baik! Mulai saat ini, biarlah tua bangka
Kasan Kesambi menunda kematian-nya dahulu. Satu dua bulan lagi berurusan
dengan dia, belumlah kasep.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar