12.22.2019

@bende mataram@ Bagian 324

@bende mataram@
Bagian 324

Seperti garuda ia terus melesat dan menghantam laskar-laskar yang mengepung
gurunya. "Bagus!" seru gurunya gembira. "Orang yang membunuh ayahmu
bukankah Pangeran Bumi Gede? Mengapa engkau mesti menye-rahkan kedua pusaka
itu?" ia berhenti seben-tar. Kemudian berteriak kepada Ki Hajar
Ka-rangpandan, "Hai pendeta gendeng! Bukankah ayahnya mati penasaran karena
warisan pusaka keramat itu pula?" Diingatkan kepada nasib ayahnya, darah
Sangaji mendidih. Pada detik itu juga, timbul-lah niatnya hendak mengadu
nyawa dengan Pangeran Bumi Gede. Maka terus saja ia berputar dan menghantam
laskar penyerbu dengan pukulan jurus ilmu sakti Bende Mataram. Dahsyatnya
tak terlukiskan lagi. Mereka yang kena pukulannya, seperti terben-tur suatu
batu pegunungan raksasa. Tak ampun lagi mereka terpental dan mati sebelum
jatuh ke tanah. Laskar Pangeran Bumi Gede bubar berderai. Dan pada saat itu
pun juga, mereka berhenti menyerang. Ternyata mereka terkejut mendengar
suara guntur Sangaji yang meledak bagai dinamit. Tapi yang berada di
belakang, masih saja mendesak maju. Keruan saja mereka seperti saling tusuk
dan mempunyai akibat nya sendiri. Murid-murid Kyai Kasan Kesambi yang
se-dianya hendak menjebol kepungan, menya-rungkan pedangnya. Pandangnya
garang, gagah dan berwibawa. Pada saat itu pula, terjadilah suatu hal yang
tak terduga-duga. Dari arah barat nampak sepasukan kuda membawa panji-panji
kompeni. Mereka datang berbondong-bondong. Jumlahnya lebih dari 250 orang.
Kemudian terdengarlah suara terompet melengking. Dan pasukan kompeni yang
mengepung kubang batu, berhenti menembak dengan mendadak. Medan perang jadi
sunyi senyap mengerikan. Sangaji meloncat kembali ke atas batu. "Pangeran
Bumi Gede! Apakah kau bersedia berbicara? Di sini Sangaji!" Pemuda yang
berhati sederhana itu mengira, bahwa berhentinya serangan dengan mendadak
adalah karena Pangeran Bumi Gede mendengarkan kata-katanya. Meskipun
hatinya pedih seperti tersayat, namun ia harus puas. Maklumlah, semenjak
menjadi pemuda tanggung, ibunya selalu menanamkan penuntutan dendam
terhadap kematian ayahnya. Dibayangkan bentuk dan perawakan tubuh si
pembunuh. Dan dialah Pangeran Bumi Gede ayah angkat Sanjaya. Dua tahun
lamanya ia mencari kesempatan untuk membalas dendam. Inilah yang untuk
pertama kalinya, secara sadar ia bertemu berhadap-hadapan. Dan ia harus
menyerah kalah. "Bocah tolol!" gerutu gurunya yang ber-watak berangasan.
"Kauserahkan juga pusaka warisan itu? Ayahmu mati karena pusaka itu. Gurumu
ter-siksa pula karena pusaka itu. Hidup tidak mati pun tidak." Mendengar
gerutu gurunya, Sangaji meng-gigil. Tapi mengingat keselamatan mereka
semua, ia harus dapat menguasai diri. Bukankah serangan Pangeran Bumi Gede
ternyata berhenti. Inilah yang membuat hatinya harus puas. Ia lantas
menghibur diri. "Biarlah kali ini aku kalah. Nanti malam, besok atau lusa
bukankah aku masih bisa mencarinya seorang diri? Inilah perkaraku. Dan
biarlah kuselesaikan sendiri." Namun sekian lama ia menunggu. Pangeran Bumi
Gede tak menampakkan batang hidungnya. Ia jadi heran berbareng curiga. Dan
pada saat itu, muncullah serombongan serdadu mengiringkan seorang opsir
yang me-ngenakan pakaian lapangan. Panji-panji kom-peni berkibar-kibar di
sampingnya, berjajar dengan bendera Belanda. Itulah suatu tanda, bahwa
komandan pasukan berada di situ. Sangaji kala itu bukanlah Sangaji beberapa
bulan yang lalu. Meskipun ketajaman matanya dahulu sudah melebihi manusia
lumrah, namun bila dibandingkan dengan keadaannya sekarang jauh berbeda.
Ketajaman panca inderanya luar biasa. Perasaannya peka pula. Dan begitu
melihat rombongan itu, mukanya berubah hebat. Sebentar berseri-seri
sebentar suram pula. Opsir itu lantas melambaikan tangannya. Dan berteriak
dalam bahasa Belanda, "Apakah benar-benar anakku Sangaji?" Ternyata dia
adalah Mayor de Hoop, ayah Sonny tunangannya. Sudah beberapa minggu lamanya
Mayor de Hoop berada di Jawa Tengah dengan perintah memeriksa kekuatan
kompeni untuk mem-bantu perjuangan Patih Danurejo II yang bermaksud hendak
menggulingkan tahta ke-rajaan Sultan Hamengku Buwono II. Dengan sendirinya,
ia bekerja sama pula dengan Pangeran Bumi Gede. Tapi setelah laskar Patih
Danureja II dan Pangeran Bumi Gede berkali-kali kalah menghadapi tentara
kera-jaan, terjadilah suatu perubahan politik dalam tata pemerintahan
kerajaan Belanda di Indonesia. Pagi itu ia menerima perintah, agar menarik
semua tentaranya. Bertepatan dengan datangnya perintah itu, salah seorang
opsirnya melaporkan tentang terjadinya pengepungan terhadap kubu pertahanan
tentara kesultanan, bersama-sama dengan laskar Pangeran Bumi Gede. Seperti
diketahui, dengan dalih mengadakan pembersihan Pangeran Bumi Gede berhasil
membawa satu peleton serdadu Belanda yang sebagai biasanya selalu berada
bersama dalam satu perkemahan. Buru-buru Mayor de Hoop menyusul dan segera
memerintahkan penghentian tembak-menembak. Dan pada saat itu, mendadak saja
ia mendengar suara Sangaji. Mula-mula ia kaget. Kemudian
tercengang-cengang. "Hai! Benarkah mereka tentara kesultanan?" ia bertanya
kepada komandan peleton yang mengepung kubu pertahanan semenjak semalam.
Belum lagi komandan peleton menjawab, Sonny yang ikut serta berteriak
nyaring bercampur girang. "Ayah! Bukankah itu suara Sangaji? Inilah kudanya
yang kuketemukan kemarin lusa." Seperti diketahui, gadis berambut pirang
itu muncul dengan mendadak di benteng tua. la datang dengan satu peleton
tentara untuk mencari Sangaji. la tak berhasil menemukan. Tapi si Willem
dapat dilihatnya dan dibawa pulang ke tangsi. Semenjak hari itu, Willem
selalu dibawanya pergi. Mayor de Hoop mengawasi Sangaji kemudi-an
mengangguk dengan kepala menebak-nebak. Hatinya jadi sibuk. Hampir dua
tahun lamanya, Sangaji meninggalkan Jakarta dengan dalih hendak menuntut
dendam ayahnya. Karena melebihi jangka waktu yang dijanjikan, Sonny jadi
gelisah. Kebetulan ia mendapat perintah meninjau kekuatan kompeni di Jawa
Tengah. Dan puterinya itu lalu ikut serta. , "Apakah bocah itu masuk
menjadi tentara kesultanan sehingga tak menepati janjinya?" ia
menduga-duga. Kemungkinan itu ada, tapi hatinya bersangsi. Karena itu,
dengan dikawal beberapa bintara dan dua orang opsir untuk menjaga segala
kemungkinan, ia memasuki medan pertempuran bersama Sonny ***

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar