12.28.2019

@bende mataram@ Bagian 329

@bende mataram@
Bagian 329

Dasar ia berperasaan halus, terus saja dia memeluknya dan berkata penuh
haru. "Fatimah! Aku gurumu, Suryaningrat! Bilanglah, siapa yang menganiaya
dirimu?" Fatimah belum kuasa menjawab pertanyaan gurunya. Tata napasnya
belum teratur benar. Tetapi wajahnya yang pucat lesi sedikit demi sedikit
menjadi merah dadu. Mendadak gadis itu memekik seperti mengigau. "Benarkah
kakakku Wirapati terluka berat?" Pernyataan itu benar-benar menggetarkan
hati murid-murid Gunung Damar. Sangajipun tak terkecuali. Mereka tahu
semua—pada saat itu Wirapati menggeletak bagaikan mayat karena luka parah.
Kalau hal itu diberitakan kepada Fatimah yang sedang menderita luka parah
pula, bukankah tidak tepat! Itulah sebabnya, mereka saling memandang minta
pertimbangan. Teringat akan sejarah Fatimah yang dipaksa hidup untuk
berpisahan dengan Wirapati semenjak kanak-kanak, mereka jadi berduka.
Tetapi tak usah menunggu lama. Mereka telah bisa mengambil keputusan. Gagak
Handaka mengedipi Suryaningrat. Dan guru yang berperasaan halus itu segera
berkata minta ketegasan. "Mengapa?" "Bilanglah dahulu! Benarkah kakakku
Wirapati terluka berat?" Dengan menelan ludah, Suryaningrat meng-angguk.
Berkata mencoba, "Tetapi sebentar lagi dia akan sembuh kembali. Karena
anakku Sangaji telah memperoleh obat pemunahnya." "Sangaji?" Fatimah
mengulang. Terus saja gundu matanya mencari Sangaji. Ia merenungi sebentar.
Kemudian seperti seorang ibu, ia berbicara. "Anak tolol! Kau sudah sembuh.
Bagus! Bukankah tak sia-sia aku menjagamu?" Sangaji mengangguk. "Di manakah
gadismu yang galak dan jahat itu?" tanya Fatimah. Diingatkan kepada
Titisari, Sangaji jadi berduka. Tetapi segera ia mengatasi perasaannya
sendiri dan mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah sehat kembali. Sebaliknya,
mengapa kau jadi begini?" "Ah—kau benar-benar tolol!" damprat Fatimah.
"Masakan aku mau begini?" "Kau benar! Nah, bilanglah siapa yang menganiaya
engkau?" "Siapa lagi kalau bukan mereka yang pernah memasuki benteng?"
"Cocak Hijau?" darah Sangaji meluap. "Huh" dia bisa mengapakan aku? Banyak
lagi. Banyak lagi. Aku dikerubut beramai-ramai." "Ah—masakan begitu. Mereka
golongan pendekar yang angkuh hati. Masakan sampai hati menganiaya seorang
gadis?" Fatimah merintih. Tubuhnya menggigil menahan marah. Menyahut, "Yang
satunya besar tinggi. Yang lainnya pendek kecil. Mereka mengenakan baju
merah. Dua orang itulah yang..." kembali Fatimah merintih. Kali ini
kesannya hebat. Wajahnya membayangkan rasa takut dan ngeri luar biasa.
Kalau saja tidak kena tahan tenaga sakti Sangaji, gadis itu pastilah sudah
kehilangan kesadarannya. Tiba-tiba meledak, "Aonak tolol! Lekaslah kau
tolong gurumu! Eyang Guru dan gurumu Wirapati dalam bahaya!" Mendengar
ucapan Fatimah, murid-murid Kyai Kasan Kesambi kaget bukan kepalang. Hampir
serentak mereka menegas. "Mengapa?" "Itulah perkara dua pusaka," sahut
Fatimah. Pandang matanya menatap Sangaji. Meneruskan, "secara kebetulan aku
mendengar kasak kusuk mereka. Bilangnya, pendekar Kebo bandotan diam-diam
mendaki padepokan Gunung Damar. Pendekar itu akan menculik gurumu yang luka
parah untuk digunakan sebagai alat penukar dua pusakamu. Bukankah hebat?"
Seperti diketahui, Fatimah berangkat me-ninggalkan benteng dengan Ayu
Retnaningsih, setelah mengantarkan Ayu Retnaningsih sampai di batas kota,
segera ia kembali. Pada saat itu, pertempuran antara pihak Pangeran Bumi
Gede dan para pendekar sedang mencapai puncaknya. Tatkala memasuki daerah
pertempuran, secara kebetulan ia melihat sesosok bayangan berkelebat lewat
tak jauh daripadanya. Itulah pendekar sakti Kebo Bangah yang dahulu
dikenalnya sewaktu berada dalam benteng bersama-sama rombongan Pangeran
Bumi Gede. Ia jadi curiga dan segera menguntitnya. Tentu saja dia bukan
tandingnya. Sebentar saja ia telah kehilangan jejak. Namun ia tak berputus
asa. Menjelang fajar hari sampailah dia di batas tenggara kota Yogyakarta.
Ia berhenti beristira-hat. Karena lelah, tak setahunya sendiri ia jatuh
tertidur. Ia terbangun oleh derap kaki terge-sa-gesa. Cepat ia menyelinap
di balik semak dan mengintip. Dilihatnya dua orang yang berperawakan tinggi
besar dan pendek kecil. Mereka sedang berbicara dengan penolongnya. Yakni,
Sanjaya. "Kami adalah adik Aria Singgela!" kata yang tinggi besar. "Kami
diutus berkabar kepada ayah Tuan, bahwa kedua pusaka sakti yang dijanjikan
akan segera Tuan peroleh." "Bagaimana?" "Pada waktu ini, kakak kami berada
di sekitar Gunung Damar. Dia bermaksud merabu Kyai Kasan Kesambi. Kalau
rejeki ayah tuan sebesar gunung, kakak kami akan berhasil menculik Wirapati
guru Sangaji. Bukankah alat penukar yang baik?" Sanjaya seorang pemuda yang
cerdas. Segera ia mengerti maksudnya. Minta keterangan, "Lantas apa
maksudnya mengirim utusan ke mari?" "Tuan! Kyai Kasan Kesambi bukanlah
sem-barang orang. Meskipun belum tentu kalah, tetapi untuk merebut
kemenangan dengan mudah tidaklah mungkin. Kakak kami membutuhkan bantuan
ayah tuan!" kata orang yang berperawakan tinggi besar. Ia berhenti menunggu
kesan. Mengira Sanjaya kurang mengerti maksudnya, segera ia menerangkan.
"Anak-anak murid Kyai Kasan Kesambi pada hari-hari ini tiada di padepokan.
Meskipun demikian, orang-orang kampung tidaklah boleh dibuat gegabah.
Tetapi apabila ayah tuan mau mengerahkan pasukannya, Kyai Kasan Kesambi
akan mati kutu. Dia boleh gagah perwira, namun menghadapi keroyokan masakan
dia bisa berbuat banyak?" Sanjaya mendengarkan keterangan itu dengan
berdiam diri. Sejenak kemudian ia membawa kedua orang itu menghadap
ayahnya. Fatimah terus menguntitnya. Tatkala matahari sudah sepenggalah
tingginya, ia melihat rombongan pendekar undangan berjalan bersama dua
orang utusan Kebo Bangah. Rata-rata para pendekar Pangeran Bumi Gede nampak
runyam. Pakaiannya kotor penuh lumpur dan darah. Terang sekali mereka habis
bertempur. Melihat mereka menuju ke barat, Fatimah jadi gelisah. Dasar ia
berwatak angin-anginan. Lantas saja ia mencegat mereka. "Kalian mau mendaki
Gunung Damar. Huh... jangan harap!" katanya lantang. "Kalau berani,
lawanlah dahulu anak cucu Kyai Kasan Kesambi." Mendengar kata-kata gadis
itu, para pendekar melengak keheranan. Dari manakah gadis itu mengetahui,
bahwa mereka lagi berjalan menuju Gunung Damar? Cocak Hijau yang berangasan
terus saja meloncat maju. Dasar ia menaruh dendam besar, tanpa berkata lagi
lantas menyerang. Tentu saja Fatimah bukanlah lawannya. Dalam dua puluh
jurus, Fatimah kena ditangkap dan diikatnya kencang-kencang. "Kau dahulu
menggaplok aku, karena mengandalkan kegagahan Adipati Surengpati. Tapi kau
pernah mengampuni aku. Karena itu aku hanya ingin menggaplokmu sekali
saja," kata Cocak Hijau. Pendekar itu membuktikan ucapannya. Fatimah
digaploknya sekali dan dibantingnya ke tanah. Fatimah memaki-maki kalang
kabut sambil menebarkan ludahnya. Pandangnya tetap garang dan tak mengenal
takut. Sebaliknya Cocak Hijau sudah merasa puas. Ia meloncat mundur sambil
tertawa mengejek. Mendadak saja di luar dugaan, kedua utusan Kebo Bangah
menghampiri Fatimah. Terus saja mereka menerkam lengan dan kaki Fatimah.
"Kau anak murid Gunung Damar? Bagus!" kata mereka berbareng. "Membabat
rumput harus sampai ke akar-akarnya." Dengan tertawa dalam, mereka lantas
saja mematahkan lengan dan kaki Fatimah. Kemudian melemparkan gadis itu
menggelinding ke tebing sungai. Dasar nasib Fatimah masih baik, Sangaji
yang memiliki panca indra bagai dewa menangkap tata pernapasannya. Kini
oleh pertolongan para pendekar sakti, ia dapat disadarkan. Meskipun luka
berat, tapi tak mengkhawatirkan lagi. Dengan perawatan tertentu, dua atau
tiga bulan ia akan pulih kembali seperti sediakala. "Paman! Melihat keadaan
Fatimah, Eyang Guru dalam bahaya. Bagaimanakah pendapat Paman?" Sangaji
minta pertimbangan. "Kita harus segera menyusul mereka. Kalau kasep,
akibatnya alangkah besar," sahut Ranggajaya. Gagak Handaka yang berwatak
tenang berwibawa nampak berkhawatir juga. Teringat akan budi gurunya, ia
jadi gelisah. Katanya perlahan, "Benar urusan ini tak boleh kita remehkan.
Mari, kita harus berangkat secepat mungkin!" Dalam pada itu Ki Hajar
Karangpandan yang tadi memeriksa lapangan telah tiba kembali. "Bangsat
betul! Mereka tidak hanya menga-niaya gadis itu, tetapi merusak pula
keten-traman penduduk. Bangsat itu benar-benar menuju ke barat. Mereka
telah mendahului kita." Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pendeta
edan-edanan. Tapi cerdas dan bisa dipercayai. Karena itu Sangaji bertambah
menjadi cemas. Agak gugup ia berkata memutuskan, "Guruku Wirapati luka
parah, dan Eyang Guru hanya seorang diri. Kalau sampai terjadi sesuatu,
kesalahanku seumpama sebesar gunung. Karena itu aku harus segera berangkat.
Paman Hajar Karangpandan biarlah bersama aku berangkat terlebih dahulu. Aku
titip guruku Jaga Saradenta. Bagaimana paman-paman nanti menyusul aku,
kupercayakan penuhpenuh kepada kebijaksanaan paman-paman sekalian." Terang
sekali hati Sangaji dalam keadaan gelisah luar biasa. Ia merasa seolah-olah
kese-lamatan gurunya Wirapati dan Kyai Kasan Kesambi berada dalam tanggung
jawabnya. Maka tanpa menunggu persetujuan lagi, ia melesat terbang bagai
garuda. Ki Hajar Karangpandanpun segera me-nyusulnya. Tiga belas tahun yang
lalu kecepatannya berlari, pernah mengejutkan Wirapati sewaktu dia mengejar
orang-orang Banyumas. Kali inipun demikian.

Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar