12.27.2019

@bende mataram@ Bagian 327

@bende mataram@
Bagian 327

Kalau kibasannya tadi mengenai Sonny, pastilah Sangaji akan marah, la tak
takut menghadapi Sangaji meskipun telah mempunyai ilmu sakti tiada tara.
Tetapi akibat dari itu, Titisari akan dimusuhinya. Hubungan mereka berdua
akan jadi renggang. Memperoleh pertimbangan demikian, ia jadi berpikir
keras. Tak dikehendakinya sendiri, ia mengamat-amati paras muka puterinya.
Titisari nampak lesu dan berduka. Kesan muka demikian, mengingatkan dia
kepada almarhum isterinya sewaktu hendak menghembuskan napasnya yang
terakhir. Dan dialah ibu Titisari yang sangat dicintai. Setelah dikubur, ia
hampir-hampir menjadi gila. Meskipun kini sudah lewat lima belas tahun,
masih saja wajah almarhum isterinya berkelebat dalam benaknya. Sekarang ia
melihat wajah itu kembali pada paras muka puterinya. Maka tahulah dia,
bahwa gadisnya itu amat mencintai Sangaji. Tak terasa ia menarik napas
panjang sekali. "Titisari, anakku... mari kita pulang...!" la berkata
perlahan penuh haru. "Kita menyekap diri di tengah Lautan Jawa. Di antara
pepohonan dari batu-batu kepulauan Karimun Jawa. Selanjutnya kita singkiri
dan kita lenyapkan bayangan bocah itu dari benak kita. Bukankah kita akan
bisa hidup lebih tenteram?" "Tidak Ayah," sahut Titisari sambil
mengge-lengkan kepala. "Biarlah aku pergi mengikuti dia barang satu dua
tahun. Tenagaku masih dibutuhkannya untuk memecahkan teka-teki guratan
Bende Mataram. Kalau aku begitu saja meninggalkannya, bukankah teka-teki
itu takkan dapat dipecahkan?" Adipati Surengpati tersenyum. Katanya
ter-cengang. "Terpecahkan atau tidak, apakah pentingnya buat kita?" "Aku
telah berdoa dan berjanji kepada Pangeran Semono akan menyertai sampai ia
membuktikan sumpahnya hendak berbuat kebajikan kepada sesama umatnya dengan
bekal ilmu warisannya..." Adipati Surengpati tertegun. Ia diam meninv
bang-nimbang. Akhirnya berkata, "Baiklah. Kau sudah berjanji. Karena itu
puteri Adipati Surengpati, wajiblah engkau membuktikan. Di kemudian hari
apabila sudah terlaksana, bukankah kau akan pulang ke rumah?" "Tentu,
Ayah." "... dan apakah engkau masih memikirkan bocah itu?" Titisari
mengerling kepada Sangaji. Pemuda itu nampak lesu. Paras mukanya muram,
suatu tanda bahwa hatinya berduka. Maka ia berkata nyaring. "... Ayah!
Kuakui, aku cinta padanya. Tetapi ia mengawini gadis lain. Karena itu,
akupun akan kawin dengan pemu-da lain pula. Katanya... dalam hatinya hanya
ada aku. Akupun demikian. Meskipun kawin dengan pemuda lain, dalam hatiku
hanya ada dia." "Bagus!" Adipati Surengpati tertawa. "Tetapi kalau suamimu
kelak melarangmu bertemu dengan dia, apakah yang hendak kaulaku-kan?"
"Siapa yang berani melarang aku? Aku kan puteri Adipati Surengpati?" sahut
Titisari cepat. "Ah, anak tolol! Ayahmu bukan hidup untuk selama-lamanya.
Beberapa tahun lagi, mung-kin ayahmu akan menyusul ibumu di alam baka..."
"Tetapi... apabila aku menghadapi kenyataan hidup begini pahit, masakan aku
betah hidup lama-lama di dunia? Aku pun akan menyusul ayah-bunda secepat
mungkin." Ki Hajar Karangpandan adalah seorang pen deta yang terkenal
berwatak angin-anginan dan senang membawa adatnya yang edan-edanan. Tapi
begitu mendengar percakapan antara Adipati Surengpati dan Titisari, ia jadi
tertegun keheran-heranan. Tak terasa bulu kuduknya meremang. Maklumlah pada
zaman itu tata-susila pergaulan sangatlah keras. Barangsiapa berani berbuat
zinah, akan memperoleh hukuman seberat-beratnya. Tetapi ayah dan anak itu
alangkah enaknya membicarakan hal itu. Tata-tertib hukum seolah-olah tiada
harganya dan tak dihiraukan sama sekali. Mereka berdua seolah-olah merdeka
berbuat sekehendaknya sendiri. Adipati Surengpati memang terkenal seba-gai
seorang pendekar aneh. Karena itu, ia dijuluki siluman Karimun Jawa.
Gerak-geriknya liar dan di luar dugaan orang. Apa yang dilakukan,
seringkali bertentangan dengan tata tertib pergaulan manusia. Meskipun
demikian, ia seorang pelajar. Pengetahuannya luas dan ilmunya sangat
tinggi. Titisari adalah satu-satunya anak gadisnya. Semenjak kanak-kanak
diasuh oleh ayahnya sendiri. Itulah sebabnya, tak mengherankan bahwa ia
benar-benar mewarisi watak dan pandangan hidup ayah-nya pula. Orang boleh
bersuami atau beristeri. Tetapi perkawinan itu bukanlah berarti peng-ucapan
cinta sebenarnya. Karena itu, dia beranggapan bahwa seorang isteri atau
suami boleh bertemu dengan kekasihnya yang sebe-narnya di luar rumah pada
sembarang waktu. Sangaji sebaliknya, adalah seorang pemuda yang lurus hati,
sederhana, jujur dan mulia hati. Mendengar percakapan mereka, ia jadi
berduka bukan main. Ingin ia hendak membe-sarkan hati Titisari. Tetapi
apakah yang hen-dak dikatakan? Tak dikehendaki sendiri, ia bungkam tak
berkutik. Dalam pada itu Adipati Surengpati meng-amat-amati gadisnya.
Kemudian kepada Sa-ngaji. Sekonyong-konyong ia tertawa men-dongak memenuhi
angkasa. Suara tertawanya bergelora dan menggetarkan bumi. Burung-burung
yang sedang hinggap di pepohonan, terkejut sampai berterbangan tanpa
tujuan. "Hai burung!" kata Adipati Surengpati nyaring. "Pagi ini ada
jembatan putus. Apa sebab tak kalian kabarkan kepada semesta alam?" Adipati
Surengpati sedang mendongkol berbareng sakit hati. Cepat ia menjumput
segenggam kerikil. Kemudian disambitkan ke angkasa. Dan burung-burung yang
tak menyadari datangnya bahaya, mati runtuh ke tanah seperti daun kering
tersapu angin. Tentara Belanda yang selama itu hanya meng-andalkan
perlengkapan senapannya, tertegun keheran-heranan menyaksikan tontonan
de-mikian. Tatkala mereka menoleh ke arah Adipati Surengpati, siluman dari
Karimunjawa itu sudah berjalan meninggalkan gelanggang tanpa menoleh. Dan
sebentar saja, tubuhnya hilang di balik gundukan tanah ... Mayor de Hoop
dan Sony de Hoop tak dapat mengikuti pembicaraan itu. Tetapi begitu
meli-hat perginya Adipati Surengpati, dapatlah mereka menebak sebagian.
Itulah suatu tanda, bahwa Adipati Surengpati mendongkol karena kecewa hati.
Dengan sendirinya, mereka mengerti Sangaji benar-benar menepati janji.
Karena itu diam-diam mereka bersyukur dalam hati. Dengan serentak, Mayor de
Hoop melompat dari kudanya. Lantas menghampiri Sangaji sambil membawa
pelangi ibunya. Itulah pe-langi ibunya yang dahulu diberikan kepada Mayor
de Hoop sebagai suatu tanda ikatan keluarga. "Sangaji!" kata Mayor de Hoop.
"Apakah engkau telah berhasil menuntutkan dendam almarhum ayahmu?"
Mendengar pertanyaan itu, Sangaji seperti tersadar. Dengan sendirinya ia
menoleh ke arah gelanggang. Ia jadi keheran-heranan, karena Pangeran Bumi
Gede dan seluruh pasukannya tiada nampak lagi kecuali mereka yang mati atau
terluka berat. Rupanya, tatkala para kompeni sibuk merumun Sangaji, ia
meninggalkan gelanggang pertempuran de-ngan diam-diam. Sesungguhnya
demikianlah halnya. Sebagai seorang serba cerdik, dengan cepat Pangeran
Bumi Gede dapat menebak apa yang sedang terjadi. Tadinya, ia mengharap akan
memper-oleh bantuan kompeni dan kesaktian pendekar Kebo Bangah. Ternyata
dua-duanya tak dapat diandalkan. Pendekar Kebo Bangah hilang tiada
kabarnya. Sedangkan kompeni tiba-tiba saja begitu bersikap mesraP terhadap
Sangaji. Teringat riwayat hidup Sangaji, lantas saja ia bisa menduga
delapan bagian. Maka sebelum terlanjur, cepat-cepat ia memerintahkan para
panglimanya agar meninggalkan gelanggang pertempuran dengan diam-diam.
"Sangaji!" kata Sonny de Hoop. "Tatkala kami berangkat ke mari, ibumu
berpesan agar engkau lekas pulang." Pada waktu itu, hati Sangaji masih
pepat. Mendengar suara Sonny, ia mengangguk de-ngan kepala kosong. Kemudian
berkata, "Kau pulang dahulu bukan? Nah, katakan kepada Ibu bahwa aku belum
berhasil menuntut balas. Tapi... tahun ini, aku pasti pulang. Kau mau
menyampaikan pesanku ini, bukan?" Mayor de Hoop dan Sonny senang men-dengar
ucapan Sangaji. Mereka lantas saja mengucapkan selamat berpisah. Dan dengan
memberi aba-aba pendek, mereka mening-galkan gelanggang pertempuran bersama
pasukannya. Titisari mengikuti mereka dengan pandang matanya yang suram.
Sangajipun seolah-olah terpaku pula di atas tanah. Mukanya penuh dukacita
tak terkatakan. Maka ia berkata per-lahan, "Aji! Pergilah kau! Sama sekali
aku tak menyesalimu..." "Titisari!" sahut Sangaji terkejut. "Selama
pertempuran tadi, aku tak melihat Kebo Bangah. Pendekar bandotan itu belum
kukalahkan, tetapi apa sebab meninggalkan gelanggang dengan tiba-tiba?
Kecuali itu, Pangeran Bumi Gede pun menghilang sewaktu aku lagi terbenam
dalam persoalan ini. Pastilah mereka mempunyai cara kerja sendiri untuk
mencapai angan-angannya... Di antara kita, hanya aku dan engkau saja yang
paham tentang rahasia keris Kyai Tunggulmanik dan Bende Mataram. Karena
itu, seyogyanya engkau janganlah berjalan seorang diri..." "Apakah engkau
hendak mengajak aku ke Jakarta?" potong Titisari berduka. Gadis itu
menggelengkan kepala dan meruntuhkan pandang ke tanah. Dan Sangaji jadi
perasa. Hatinya terharu bukan main. Ingin ia mengu-capkan sesuatu untuk
membesarkan hati kekasihnya, namun tak kuasa ia mencetak kata-kata.
"Pergilah engkau seorang diri menepati jan-jimu," kata Titisari setengah
berbisik. "Aku bisa membawa diri." Kemudian ia meletakkan pusaka sakti
Benda Mataram ke tanah. Keris Kyai Tunggulmanik yang terselip di
ping-gangnya lantas pula ditinggalkan dan disisip-kan ke pinggang Sangaji.
la mengeluarkan pula serenceng uang dan hiasan dada. Berkata, "Pusaka ini
adalah pusaka warisan-mu. Aku tak berhak membawa-bawa pergi. Dan ini adalah
sisa uang perjalananmu. Aku sendiri tak dapat memberi sesuatu, kecuali
hiasan dada ini. Dahulu kuterima dari almarhum ibuku. Kini kuberikan
kepadamu, agar engkau-engkau..." ia tak kuasa menyele-saikan ucapannya.
Hatinya penuh kubangan rasa sedan. Terus saja ia menggenggamkan benda
mustikanya ke tangan Sangaji. "Titisari! Kau seolah-olah hendak
meng-ucapkan selamat berpisah untuk selama-la-manya!" kata Sangaji dengan
suara mengge-letar. Gadis itu tersenyum. Tersenyum pahit. Dengan air mata
berlinang, ia mencoba me-nguatkan hati. Berkata mengelak, "Tak mem-punyai
lagi aku benda yang lebih berharga daripada ini. Kalau saja engkau tak
me-nyia-nyiakannya, sudahlah senang hatiku..." Dan tanpa menunggu jawaban,
gadis itu memutar tubuhnya. Perlahan-lahan ia meninggalkan kubu pertahanan
dan tak lama kemudian hilanglah bayangannya di balik gunduk sana.
(Bersambung) ***

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar