@bende mataram@
Bagian 284
Itulah sebabnya rasa cemburunya kian menjadi hebat. Demikianlah kira-kira
matahari menyingkap udara untuk yang pertama kalinya gerobak itu nampak
mendaki suatu gundukan. Di sana berdiri suatu benteng kuno pada zaman
Trunajaya. Dalam kesuraman pagi, nampak menyeramkan. Melihat gerobak itu
memasuki benteng kuno, timbullah kecurigaan Titisari. Pikirnya
menebak-nebak , apakah ada penghuninya? Meskipun kodratnya seorang gadis,
namun Titisari bukanlah gadis lumrah. Terus saja ia lari mengitari benteng
dari sisi lain. Kemudian dengan enteng ia meloncat ke atap. Dari
ke-tinggian ia memperoleh penglihatan lapang tak terhalang. Fatimah
menambatkan Willem. Lantas meninggalkan benteng dengan berjalan acuh tak
acuh. Tatkala sampai di pintu gapura, mendadak balik kembali. Willem
dihampiri dengan cepat, tali pengikatnya dilepaskan, kemudian menggebugnya
pergi. Selamanya Willem belum pernah memper-oleh perlakuan kasar. Karena
itu begitu diben-tak, terus saja ia meloncat tinggi dan lari berputaran.
Sebentar kemudian berderap melewati gapura dan hilang dibalik gundukan.
Agaknya inilah yang dikehendaki Fatimah. Ternyata setelah melihat Willem
meninggalkan benteng dia pun segera berjalan keluar gapura dengan
tergesa-gesa. Titisari menunggu beberapa saat lamanya. Lalu meloncat ke
tanah dan terus memeriksa benteng. Ternyata benteng itu tiada peng-huninya.
Kamar-kamarnya kosong, keruh, kotor dan gelap. Timbulah keheranannya,
mengapa gadis tadi membawa gerobaknya masuk ke dalam benteng. Tatkala ke
luar dari ruang dalam, ia melihat Gagak Seta berdiri termangu-mangu di
depan gerobak seolah-olah habis berbicara. "Eh, tolol! Benar kau tak bisa
bergerak?" Terdengar ia berbicara lagi. Mendengar Gagak Seta berbicara,
terus saja Titisari meloncat lari. Hatinya girang penuh syukur. Tapi begitu
melihat Sangaji yang menggeletak tak bertenaga di dalam gerobak, hatinya
tergoncang. Waktu itu keadaan Sangaji tak keruan macamnya. Rambutnya
terpangkas tipis. Wajahnya pucat bagai kertas. Seluruh tubuhnya hampir
tersiram darah yang sudah membeku. Kakinya lepat-lepot penuh debu. Kemudian
jerami gerobak bertaburan menutup bagian tubuhnya. Gagak Seta bukankah tak
mengerti bahwa Sangaji dalam keadaan luka parah. Tapi dasarnya menganggap
persoalan dunia ini seenteng gabus, maka dalam kata-katanya ia sering
bergurau. Tetapi begitu habis dia berbicara, terus saja mengangkat Sangaji
dan dibawa masuk ke dalam benteng dengan hati-hati. Karena di dalam benteng
tiada sesuatu pe-rabot rumah, Titisari kembali menghampiri gerobak dan
mengangkut jeraminya. Terus saja ia menggelarkannya di atas lantai yang
kotor berdebu kemudian Gagak Seta memba-ringkan Sangaji dengan pandang
penuh selidik. Kala itu mulut Sangaji terkatup rapat. Meskipun tubuhnya
kuat, tapi ia pingsan untuk beberapa kali. Jantungnya berdegup lemah.
Karena luka dalamnya kian berat. Melihat Sangaji rebah tak berkutik,
Titisari jadi bingung dan penuh khawatir. Diam-diam ia menyesali diri
sendiri mengapa semalam ia bercemburu kepadanya, cepat ia menyalakan
sebatang kayu dan menyului muka kekasih-nya. "Lukanya hebat bocah ini,"
akhirnya Gagak Seta berkata setengah berbisik, inilah pukulan berat bagi
Titisari. Ia berdiri ter-longong-longong sambil memegang obornya erat-erat.
Gagak Seta sendiri terus bekerja dengan cepat. Tanpa ragu-ragu lagi,
tangan-nya ditempelkan ke punggung Sangaji pada titik pusat urat syaraf.
Kemudian ia me-nyalurkan hawa murninya mendadak saja, tenaganya terasa
seperti terhisap oleh suatu tenaga dahsyat. Itulah tata kerja getah sakti
Dewadaru yang kini sudah bersatu dengan dua ilmu sakti lainnya. Meskipun
sudah lebur menjadi satu, namun sifatnya belum berubah. "Ih?" Gagak Seta
terkejut. la tahu dalam diri Sangaji pastilah terjadi sesuatu perubahan
hebat. Selama hidupnya belum pernah ia mengalami peristiwa demikian.
Meskipun Adipati Surengpati, Kebo Bangah dan Kyai Kasan Kesambi memiliki
tenaga sakti yang tak dapat diukur tingginya, namun tenaga mereka belum
sampai pada taraf menghisap tenaga lawan. Tapi dasar ia seorang pendekar
berwatak angkuh dan percaya pada diri sendiri, tak mau ia menyerah. Segera
ia berkutat melawan tenaga hisapan yang membanjir bagaikan air bah. Belum
lagi seperampat jam ia berjuang, keringatnya sudah mulai merembes keluar.
Hal itu mem-buktikan, betapa hebat tenaga sakti Sangaji yang dimiliki
sekarang. Titisari tak mengetahui, bahwa Gagak Seta sedang berjuang
mati-matian melawan tenaga hisapan Sangaji. Ia hanya mengetahui Sangaji
terluka berat. Kemudian warna mukanya yang pucat lesi, sediki demi sedikit
menjadi merah dan berkesan segar, la mengira, itulah jasa Gagak Seta.
Meskipun peristiwanya demikian, namun tebakannya hanya benar separo. Kala
itu, tenaga sakti Gagak Seta hampir terhisap seperempat bagian. Sedangkan
menghimpun tenaga sakti membutuhkan waktu berbulan-bulan lamanya. Karena
itu meskipun sifatnya hendak menyalurkan tenaga murni untuk membantu
memulihkan kekuatan jasmani, tetapi sesungguhnya ia lagi berkelahi bagai
dua pendekar utama mengadu tenaga sakti. Selagi Titisari tenggelam dalam
rasa girang, sekonyong-konyong ia mendengar kesiur angin. Begitu menoleh,
tahu-tahu dibela-kangnya berdiri seorang gadis dengan pandang tajam. Dialah
Fatimah yang tadi meninggalkan benteng dan kini datang kembali dengan
membawa dua ekor ayam. "Siapa kau?" Bentak Titisari. "Siapa kau?" Fatimah
membalas bertanya pula. "Eh, aku tanya kepadamu." "Eh, aku tanya kepadamu."
"Jangan bergurau! Aku bertanya kepada-mu!" Bentak Titisari. Tapi Fatimah
menirukan pula, "Jangan bergurau! Aku bertanya ke-padamu." "Apakah kau
tolol?" "Apakah kau tolol?" Diperlakukan demikian, mau tak mau Titisari
jadi kuwalahan juga. Tetepi dia seorang gadis cerdik yang tiada bandingnya
pada zaman itu. Mendadak saja ia menarik cundrik dan meloncat hendak
menikam tubuh Sangaji. Fatimah terkejut. Sebat ia meloncat dan menyambar
gagang cundrik Titisari dengn suatu gerak indah. Titisari terkejut
bercampur heran. Dasar ia mewarisi watak ayahnya yang mau menang sendiri,
terus saja ia menyimpan cundriknya. Kemudian dengan sekali gerak ia
menyambar lengannya Fatimah. Ruang dalam itu masih gelap. Meskipun
samar-samar kena penerangan obor Titisari yang terlempar di lantai, tapi
bagi penglihatan manusia lumrah gelapnya seperti malam hari. Namun begitu,
Fatimah bisa bergerak cepat mengimbangi keadaan. Begitu mendengar kesiur
angin, dengan tanggkas ia menarik tangannya. Lalu membalas menyerang dengan
mengancam pundak. Titisari tahu, bahwa Fatimah bukanlah seorang gadis yang
jahat. Sekiranya bermaksud jahat, pastilah nyawa Sangaji sudah dihabisi, ia
hanya mendongkol diperlakukan demikian. Karena itu ia hendak menghajar agar
kapok. Diluar dugaan, serangan Fatimah cukup cepat dan ganas. Mau tak mau
ia jadi terkejut dan heran. Untung, ia mempunyai kegesitan me-lebihi
manusia lumrah. Begitu melihat berkelebatnya tangan, cepat ia menangkis dan
kakinya terus menggantol. Kemudian dengan tangan kanannya ia menyerang dua
kali berturut-turut. Semenjak menjadi murid Gagak Seta, ia sudah memahami
ilmu petak. Kecuali itu sudah mewarisi pula ilmu sakti Retna Dumilah. Baik
gerak-geriknya maupun ketangkasannya maju dengan pesat. Tenaganya tak
gampang-gampang kena lawan pendekar utama. Karena itu begitu Fatimah kena
pukulannya lantas saja memekik kesakitan. Pekikan itu menyadarkan Sangaji
yang lantas saja bergerak secara wajar. Oleh gerakan itu tangan Gagak Seta
yang terhisap terlepas dari bahaya. Pendekar sakti itu lantas saja duduk
bersemadi menghimpun tenaga muminya kembali. Dalam pada itu Fatimah tetap
melawan. Sepak terjangnya makin menjadi ganas dan cepat. Mau tak mau
Titisari heran dibuatnya. Sama sekali tak diduganya, bahwa di dalam benteng
kuno ini ia akan menjumpai seorang gadis yang memiliki kepandaian bukan
ren-dah. Murid siapa dia, ia sibuk menebak-nebak. Fatimah terus mengadakan
perlawanan sampai dua puluh jurus lebih. Sangaji dan Gagak Seta ikut
menjadi heran. Pada saat itu, Fatimah memutar-mutar tubuhnya sambil
menjejak tanah. Titisari pun segera melayani dengan menambah tenaga.
Mendengar kesiur angin, Sangaji terus saja berseru, "Titisari! Jangan
kausakiti dia!" Sekiranya Gagak Seta yang memberi peringatan, pastilah
Titisari akan menarik serangannya. Tapi justru mendengar suara Sangaji, ia
jadi cemburu. Maklumlah, tadi ia melihat Sangaji rebah tak berkutik.
Mendadak saja ia berteriak seakan-akan membela lawan-nya dalam kata-katanya
yang pertama kali. Hati siapa takkan menjadi panas. Terus saja ia melejit
dan menghajar lengan Fatimah. "Nah, berlututlah!" Perintahnya galak. Kena
hajaran Titisari lengan Fatimah tak dapat digerakkan lagi. Kalau Titisari
berniat hendak mengambil nyawanya, gampangnya seperti membalik tangannya
sendiri. "Apa kau bilang? Aku kau suruh berlutut? Apakah kau anak raja?"
Damprat Fatimah tak kurang galak. Sehabis berkata demikian, men-dadak saja
tangannya sebelah menyerang dengan gesit. Kakinya menjejak tanah dan
melesat menyambar pinggang. Titisari kaget dan heran. Inilah salah satu
jurus mirip ilmu Wirapati, guru Sangaji. Ia pernah menyaksikan jurus itu
sewaktu Wirapati berkelahi melawan Pringgasakti. Karena itu segera ia
membentak, "Kau peroleh dari mana jurus ini?" Fatimah tertawa manis.
Menjawab angin-anginan, "Aku tak mendengar pertanyaanmu. Kau mau apa, kalau
aku emoh menjawab?" "Hm!" Dengus Titisari mendongkol ia mengerling kepada
Sangaji. Teringatlah tadi, Fatimah segera menyerang tatkala ia mengan-cam
Sangaji. Segera ia mencoba penuh cem-buru, "Apakah kau menerima ajaran
dia?" "Iddiiih..." sahut Fatimah cepat. "Siluman itu masakan bisa
bergerak?" Sebenarnya Titisari tahu, bahwa Sangaji tak mungkin memberi
ajaran jurus itu kepada Fatimah.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail
Tidak ada komentar:
Posting Komentar