11.25.2019

@bende mataram@ Bagian 290

@bende mataram@
Bagian 290


Mendadak Titisari berkata lagi, "Aji! Tatkala engkau dihinggapi pikiran
hendak memeluk dan menciumi aku, apakah hatimu tergetar?" Sangaji terhenyak
sejenak. Tatkala hendak menjawab tiba-tiba didengarnya orang berlari
memasuki ruang tengah. Lalu terdengar suara Manyarsewu dan Cocak Hijau
saling memaki. "Kau benar-benar percaya di dunia ini ada setan?" Itulah
suara Manyarsewu. Dan Cocak Hijau menyahut, "kalau bukan setan, masakan
mata kita tak dapat melihat bentuknya?" "Haram jadah! Di siang hari masakan
ada setan? Pastilah dia seorang berilmu yang se-ngaja mengganggu kita."
"Apa kau bilang?" bentak Cocak Hijau. "Boleh dia memiliki ilmu setinggi
langit, masakan kita bisa diganggunya seperti ini?" Titisari dan Sangaji
mengintip dari lubang dinding. Mereka melihat kedua pendekar itu saling
berhadapan dan memeriksa keadaan tubuhnya. Muka mereka penuh darah.
Ter-nyata masing-masing kehilangan sebuah teli-nga. Mulutnya bengkak.
Tatkala meludah, ternyata menyemburkan gumpalan darah. Beberapa biji
giginya ikut rontok. Seperti dike-tahui orang-orang tua sangat merawat
giginya. Karena mereka sadar apabila sekali rontok takkan bisa diperolehnya
kembali. Kini ternyata mereka kehilangan beberapa buah gigi. Betapa
mendongkol hatinya sudah bisa dibayangkan. Siapakah yang menghajar mereka
begitu bengis? "Hai! Apakah kau masih mengoceh saja perkara setan?" bentak
Manyarsewu. "Kalau sampai terdengar rekan-rekan kita, apakah tidak
memalukan?" Terhadap Manyarsewu, Cocak Hijau agak segan. Bukan karena
merasa kalah, tapi usianya lebih tua sedikit daripadanya. "Tapi aku
benar-benar heran. Masakan di kolong langit ini ada seorang begitu hebat
ilmunya?" masih saja berkata. Tak lama kemudian, rombongan para pendekar
tiba pula. Merekapun dalam keadaan kalang kabut. Paling tidak, pakaian
mereka rantas tak keruan. Lalu Manyarsewu me-nerangkan, bahwa dia hanya
bertempur tiga jurus. Kupingnya terpotong dan pakaiannya terobek. Kemudian
ia meneliti rekan-rekannya. Ternyata muka mereka babak-belur dan matang
biru. Yang lebih runyam adalah Yuyu Rumpung. Pendekar itu nampak tergunduli
sampai polos. Deretan giginya hampir rontok semua. Karena itu ia menangis
sedih. Bukan karena sakit, tapi teringat akan giginya. Lalu memaki
kalang-kabut sambil membekap mulutnya. Diam-diam Titisari jadi heran. Siapa
yang sudah menghajar mereka begini hebat? Ia melemparkan pandang kepada
Sangaji minta pertimbangan. Tetapi pemuda itupun nampak tercengang-cengang.
"Apakah kau percaya perkara setan?" tanya Titisari dengan berbisik. Sangaji
tersenyum sambil menggelengkan kepala. Sahutnya, "Meskipun andaikata ada,
masakan muncul di siang hari bolong?" "Jika demikian, pastilah mereka
bertemu dengan seorang yang berilmu tinggi. Pada zaman ini siapakah yang
melebihi ayahku, Paman Gagak Seta, Paman Kebo Bangah dan eyang gurumu?"
Selagi mereka sibuk menebak-nebak, di bawah sana terdengar dua orang
berlarian dengan memaki-maki pula. Ternyata mereka adalah pendekar Wongso
Udel dan Sa-wungrana. Mereka terikat erat dari kaki sampai lehernya.
Melihat pemandangan itu, baik Titisari maupun Sangaji bertambah heran.
"Mengapa Aria Singgela belum kembali?" terdengar suara Pangeran Bumi Gede
setelah diam sekian lamanya. "Apakah diapun berte-mu dengan hantu...?" -
"Bertemu dengan hantu?" sahut Sanjaya "Andaikata benar, tak mungkin ia kena
dikalahkan..." Hebat kata-kata Sanjaya ini. Para pendekar merasa seperti
ditempeleng. Bukankah ucap-an itu berarti bahwa mereka tak becus meng-atasi
kesulitan? Karena itu mereka berdiam diri tak berani berlagak. "Kutaksir
mereka kena hajar Paman Gagak Seta," tiba-tiba Titisari berbisik dengan
rasa puas. "Apa sebab kau bisa menduga demikian?" Sangaji minta keterangan.
"Kalau benar-benar hantu, takkan mungkin memilih lawan. Apa sebab hantu itu
tiada mencegat Paman Kebo Bangah? Hm, ayahku memang mampu berbuat demikian.
Tapi dia tak pernah bergurau. Berbeda dengan Paman Gagak Seta." Dugaan
Titisari memang tepat. Yang meng-hajar mereka sesungguhnya adalah Gagak
Seta. Seperti diketahui ia berusaha mencari Adipati Surengpati. Belum lagi
bisa dikete-mukan, ia melihat rombongan pendekar undangan Pangeran Bumi
Gede mendaki gundukan. Teringat akan keadaan Sangaji, segera ia berbalik.
Dan begitu melihat perginya Kebo Bangah, terus saja ia berniat menggoda dan
membuat mereka jeri sendiri. Ia mengenakan topeng dan mencegat mereka di
tengah jalan. Tak usah diterangkan lagi, bahwa mereka merupakan mainan
empuk bagi pendekar sakti itu. Meskipun jumlahnya banyak bukanlah menjadi
soal. Dalam hal ini ia bekerja dengan Fatimah, yang mau menjadi pengamat
gerak-gerik mereka. Ternyata Fatimah bisa membawa diri. Dengan berlagak
sebagai seorang gadis desa yang tolol, ia bisa mengelabui Sanjaya. Setelah
dapat menebak siapa yang menjadi hantu. Titisari dan Sangaji segera
melan-jutkan pengobatannya. Mereka saling men-dorong dan menerima. Sebentar
saja mereka tenggelam dalam kesibukannya masing-masing. Manyarsewu, Cocak
Hijau, Yuyu Rumpung, Abdulrasim, Sawungrana dan para pendekar lainnya mulai
teringat urusan perut mereka. Seketika itu juga mereka jadi sibuk. Mereka
melihat Pangeran Bumi Gede belum ada tanda-tandanya hendak meninggalkan
ben-teng. Lantas saja mereka menyerbu desa-desa dan merampas apa saja yang
dapat dirampas. Mereka adalah sebangsa pendekar yang biasa bergerak dengan
bebas dalam masyarakat. Selamanya mereka ditakuti, disegani dan dihormati
rakyat. Sepak terjang mereka tiada yang berani melawan. Karena itu lambat
laut mereka merasa dunia ini seakan-akan menjadi miliknya sendiri. Segala
tata tertib pergaulan manusia tiada diindahkan sama sekali. Maka celakalah
rakyat yang kena serbuannya. Kecuali kehilangan hak miliknya, mereka
disakiti matang biru. "Hai!" tiba-tiba Cocak Hijau mendongak ke atas.
"Kalau malam ini sri paduka belum meninggalkan benteng, bukankah lebih baik
kita tidur di kamar atas itu?" Manyarsewu yang diajaknya berbicara
men-dongakkan kepalanya pula ke atas. Mulutnya yang kian membengkak tak
dapat merdeka digerakkan, sehingga ia hanya memanggut-manggut saja tanda
setuju. "Bagus! Nah, marilah kita periksa!" seru Cocak Hijau. Mendengar
seruan Cocak Hijau, Titisari terkejut setengah mati. Waktu itu, ia sedang
menerima dorongan tenaga sakti Sangaji yang bergolak sedikit demi sedikit.
Apabila sampai terganggu, bahayanya tak dapat digambarkan lagi. la
mendengar langkah Cocak Hijau memanjat tangga. Ia jadi bingung dan cemas.
Kalau saja aku bisa melepaskan tangan kiriku, aku bisa mengambil senjata
biji sawo, pikirnya sibuk dalam hati. Mau ia bisiki telinga Sangaji agar
beristirahat. Tetapi pada saat itu Sangaji baru sampai pada taraf
menentukan. Urat nadinya yang tergeser dari tempatnya, mulai didorongnya
sedikit demi sedikit ke tempatnya semula. Selagi ia bingung dan cemas,
langkah Cocak Hijau sudah hampir mendekati ambang pintu. Mendadak saja, ia
mendengar langkah itu berhenti dengan tiba-tiba. Karena curiga ia mengintip
dari celah dinding. Betapa heran-nya, ia melihat Cocak Hijau berdiri
terpaku mengawaskan genting. Mulutnya kemudian berkomat-kamit. "Hantu?"
Mendadak saja ia membalikkan badan dan lari berserabutan ke bawah. Sudah
barang tentu Manyarsewu jadi keheran-heranan. Ingin ia memperoleh
keterangan, tapi mulutnya terasa amat kaku seolah-olah terlengket erat.
"Gampang perkara kamar itu," kata Cocak Hijau terengah-engah. "Mari kita
mencari penginapan lain saja." "Mengapa?" Manyarsewu memaksa diri untuk
minta penjelasan. "Setan!" sahut Cocak Hijau sambil lari ngiprit. Mau tak
mau karena melihat wajah dan suara Cocak Hijau bernada sungguh-sungguh,
Manyarsewu lantas ikut lari dengan kepala menebak-nebak. Pangeran Bumi Gede
sendiri tak lama kemudian meninggalkan benteng dengan dikawal Sanjaya.
Pangeran itu sibuk dengan rencananya sendiri. Melihat sepak terjang para
pendekar yang tak karuan macamnya, ia jadi sebal. Teringat bahwa Kebo
Bangah dan sang Dewaresi belum muncul, ia jadi gelisah. Diam-diam ia
menaruh curiga kepadanya. Dengan demikian, benteng jadi sunyi senyap.
Titisari waktu itu masih tercengang-ce-ngang. Tak habis-habis ia berpikir,
apa sebab pendekar Cocak Hijau yang biasanya beradat berangasan dan bengis,
mendadak bisa lari pontang-panting perkara hantu. Apakah Gagak Seta berada
di atas genting, ia menco-ba menebak. Karena tangannya harus senan-tiasa
menempel tak dapat ia bergerak dengan leluasa. Terpaksa ia menunggu. Tak
usah lama, teka-teki itu segera terjawab. Genting di sebelah ruang atas
tiba-tiba memperdengar-kan suaranya. Kemudian sesosok bayangan meloncat
turun dengan ringan. Dialah Fatimah si gadis angin-anginan. Tatkala lewat
di depan pintu kamar, ia berkata tanpa menoleh. "Hai! Bagaimana pendapat
kalian? Apakah perananku kurang bagus?" Tanpa menunggu jawaban, ia terus
turun ke bawah dan keluar benteng dengan menggendong tangannya di belakang
punggung. Tahulah Titisari, bahwa yang jadi hantu tadi sebenarnya Fatimah.
Untung baginya. Cocak Hijau pernah merasakan aniaya hantu yang
menghadangnya di tengah jalan. Dengan sendirinya ia masih jeri. Coba,
apabila tahu bahwa yang jadi hantu kali ini adalah Fatimah, dengan sekali
hantam masakan tak sanggup merubuhkan. Titisari tertawa lebar. Kini, ia
tiada ragu-ragu lagi terhadap gadis itu. Malahan diam-diam ia merasa
berhutang budi. Teringat bahwa kemungkinan-kemungkinan yang lain akan
terjadi, pikirnya mulai bekerja keras, la tak mau percaya bahwa Cocak Hijau
benar-benar takut kepada setan. Kalau keberaniannya mulai tumbuh kembali,
pastilah dia akan datang memeriksa lagi. Selagi berpikir keras,
sekonyong-konyong ia mendengar langkah ringan memasuki ruang dalam. Ia mau
menduga—Itulah Fatimah. Ingin ia memanggilnya untuk diajaknya berunding,
tatkala mengintip dari celah din-ding, ternyata bukan Fatimah. Yang datang
adalah seorang gadis jelita, lembut dan ber-pakaian rajin. Gadis itu
seperti sudah untuk beberapa kali memasuki benteng. Ternyata tatkala
melihat deretan kursi dan meja, ia mundur setengah langkah. Ia
mengembarakan mata, kemudian melepaskan seruannya, "Fatimah! Aku datang!"
Titisari menjadi heran. Apabila diamat-amati, gadis itu tak asing lagi
baginya. Dialah Gusti, Ayu Retnaningsih yang dikabarkan sebagai calon
isteri Pangeran Ontowiryo. Dahulu ia pernah berkenalan di Desa Gebang.
"Aji!" ia berbisik. "Bukankah dia Gusti Ayu Retnaningsih murid pamanmu,
Suryaningrat? Mengapa dia datang kemari juga dan agaknya sudah kenal
Fatimah?" Sangaji masih saja tenggelam dalam semadinya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar