11.24.2019

@bende mataram@ Bagian 289

@bende mataram@
Bagian 289


Pangeran Bumi Gede nampak menghela napas. Berkata setengah berbisik,
"Marilah kuterangkan padamu, apa sebab aku begitu bersungguh-sungguh
berusaha memiliki benda pusaka Bende Mataram. Selain kete-rangan-keterangan
yang pernah kukatakan kepadamu, sesungguhnya masih ada yang kusembunyikan.
Sekarang adalah saat hidup dan mati. Kita sudah bergerak dengan
terang-terangan. Di kemudian apabila aku gagal, aku berharap engkaulah yang
akan melanjutkan perjuangan ini. Dengarkan!" Pangeran Bumi Gede berhenti
mencari kesan. Kemudian meneruskan, "banyak sekali kita mempunyai
pejuang-pejuang serba berani dan serba sakti. Tapi hanya satu dua orang
saja yang berhasil. Satu, Pangeran Mangkubumi. Dua, Trunajaya. Tiga, Untung
Surapati. Apa sebab, anakku? Selain memperoleh dukungan rakyat, mereka
memiliki siasat di luar dugaan orang. Trunajaya misalnya, ia bisa sampai
menduduki istana Mataram. Konon dikabarkan, ia menanam harta bendanya di
tempat-tempat tertentu yang sangat dirahasiakan. Sampai kini, orang belum
berhasil menemukan jejak pendaman hartanya. Karena mereka yang ditugaskan
memendam harta itu, lantas dibunuhnya. Sesungguhnya ingin aku meniru sepak
terjang Trunajaya, pahlawan terbesar dalam zaman ini. Tapi belum lagi hal
itu terlaksana, Gusti Patih sudah menentang Sultan dengan terang-terangan
sehingga mau tak mau kita harus menggerakkan tentara. Pada saat ini,
kompeni Belanda sudah berada di Semarang. Sewaktu-waktu mereka akan
membantu menerjang dari utara." "Apakah Ayah akan memendam harta di
sepanjang desa sebagai modal perjuangan?" potong Sanjaya. "Ya. Aku
mengharapkan kedua pusaka sakti itu." "Kedua pusaka sakti?" Pangeran Bumi
Gede tersenyum. Kemudian dengan memegang pundak Sanjaya, ia berka-ta
meyakinkan. "Ayahku dahulu mempunyai naskah yang menceritakan rahasia dua
ben-dah pusaka Bende Mataram. Ketahuilah, apabila guratan sastra sandi itu
bisa terbaca, aku percaya bahwa kita akan memperoleh pula harta terpendam.
Coba perhatikan dengan saksama nama istana Pangeran Semono. Disebutkan ia
bertahta di Gunung Pendem. Benarkah istananya bernama Gunung Pendem? Apakah
bukan suatu sastra sandi yang mewartakan, bahwa kemungkinan besar sekali
Pangeran Semono memendam seluruh harta kerajaan pada suatu tempat
tertentu?" Sebagai seorang anak yang dibesarkan dalam istana, Sanjaya
memperoleh pen-didikan baik mengenai ilmu sastra. Gurunya selalu
mengesankan, bahwa orang-orang Jawa gemar sekali menciptakan kata-kata dan
ucapan-ucapan sandi untuk mewartakan peristiwa sesungguhnya. Karena itu,
dugaan Pangeran Bumi Gede—mungkin pula benar. Perkataan gunung itu mungkin
istilah harta benda yang tak ternilai banyaknya. "Tetapi andaikata kedua
benda itu tak dapat kita peroleh dengan segera, apakah yang akan Ayah
lakukan?" la mencoba minta penegasan. Pangeran Bumi Gede menarik tangannya.
Wajahnya merenungi di kejauhan. Lalu men-jawab, "Segalanya sudah terjadi.
Gusti Patih terlalu tergesa-gesa. Memang jalan pikirannya menurut nalar
bisa dibenarkan, la tak dapat mempercayai teka-teki itu. Yang nalar ialah,
kita harus minta bantuan kompeni. Tujuan kita harus menang! Kalau perlu,
seluruh kerajaan, kita janjikan kepada kompeni sebagai hak rampasannya..."
Mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede, hati Sangaji tergetar. Seketika itu
juga, darah-nya berdesir. Seluruh tubuhnya hampir menggigil. Karuan
Titisari jadi gugup. Dengan sekuat tenaga ia mencoba menguasai. Tetapi
betapa ia bisa melawan tenaga sakti Sangaji. Karena itu, ia mencoba: "Aji,
mereka memang bangsat! Tapi ingatlah dahulu kesehatanmu. Kita nanti turun
bersama. Sabarlah barang sebentar! Bukankah mereka sedang mem-bicarakan
perkara rahasia kedua pusaka sakti?" Teringat kedua pusaka warisan itu
sudah berada dalam genggamannya, hatinya agak tenang. Sedikit demi sedikit
ia mencoba me-nguasai diri. Dalam pada itu keadaan dalam ruang bawah jadi
sunyi. Titisari mengintip ke bawah dan melihat dua orang itu
berenung-renung membawa lamunannya masing-masing. Pangeran Bumi Gede
kelihatan lelah. Berkali-kali ia mencoba menguasai ucapan-nya, sambil
bersandar di kursinya. Akhirnya ia tertidur juga tanpa disadari sendiri.
Sanjaya merenungi dengan wajah berubah-ubah. Mendadak saja terdengar suara
kaki mendatangi. Cepat ia menghunus goloknya dan berdiri di samping ambang
pintu. Ternyata yang datang ialah Fatimah. Satu malam penuh ia berada di
luar benteng entah pergi ke mana. Tatkala pulang ia melihat ben-teng penuh
manusia. Apabila para pendekar keluar berserabutan, tanpa ragu-ragu lagi ia
memasuki benteng. Sikapnya acuh tak acuh dan tak pedulian. Seolah-olah tak
memper-hatikan Sanjaya dan Pangeran Bumi Gede, ia terus berjalan memasuki
guanya. Kemudian tidur merebahkan diri di atas tempat tidurnya. Selang
beberapa saat, ia tertidur mendengkur. Terang sekali, ia lelah. Rupanya
satu malam penuh ia tak tidur. Melihat bahwa gadis itu tidak berbahaya,
hati Sanjaya lega. ia menghampiri Pangeran Bumi Gede lagi-sambil membawa
goloknya yang masih saja terhunus. Bunuh! Bunuhlah! seru Sangaji dalam
hati. Jantungnya berdegupan penuh harapan. Inilah bahayanya bagi
kesehatannya yang sudah agak mereda. "Aji! Tenang!" bisik Titisari gugup.
"Lihat!" Sangaji menyahut sambil menunjuk ke bawah. "Ya—ya, aku tahu. Kau
ingin membunuh musuh ayahmu. Hal itu gampang sekali. Aku berjanji akan
membawa ayahku ikut serta. Apa artinya pengeran jahanam itu bagi ayah?..."
Sebenarnya benar ujar Titisari. Kalau saja Adipati Surengpati mau dibawa
serta untuk membalas dendam, maka Pangeran Bumi Gede bukan berarti apa-apa
baginya. Tapi saat itu, hati Sangaji tegang luar biasa. Betapa dia bisa
menimbang-nimbang benar tidaknya suatu ucapan. Matanya masih saja melotot.
Urat-uratnya mendosol dan tubuhnya menggigil. "Aji!" Titisari jadi berputus
asa."Ambilkan golokku! Aku bisa membunuhnya dari sini,..." sahutnya.
Titisari percaya, Sangaji bisa menyambitkan goloknya dari ruang atas. Tapi
hal itu berarti tempatnya telah ketahuan. Kalau sampai ketahuan, malaikat
sendiri belum tentu bisa menolong membebaskan ancaman bahaya. Karena itu ia
berkutat mati-matian untuk menyabarkan kekasihnya. Katanya membu-juk, "Aji!
Ibumu dan aku menghendaki kau hidup sejahtera." Kata-kata itu alangkah
besar pengaruhnya dalam diri Sangaji. Ia terkejut dan tersadar. Mati-matian
ia menenangkan pergolakan darahnya. Tapi masih saja ia berbisik, "Hm...
jika Sanjaya membunuhnya, aku akan mengabdikan seluruh hidupku
kepadanya..." Pada saat itu, Sanjaya menghela napas. Ia merenungi Pangeran
Bumi Gede. Tangannya sudah bergerak. Melihat gerakan itu, Sangaji girang.
Mendadak saja ia melihat wajah Sanjaya berubah menjadi lesu. Tangan itu
hanya bergerak untuk menyimpan goloknya. "Ah! Benar-benar anak tersesat!"
keluh Sangaji. "Mengapa tak teringat, bahwa ayah-nya menjadi korban
kelicikan pangeran itu?" Dilihatnya Sanjaya menanggalkan baju luarnya,
kemudian diselimutkan kepada Pangeran Bumi Gede. Melihat pemandangan itu,
Sangaji lantas melengos. Tak sudi ia menyaksikan betapa mesra sikap Sanjaya
kepada pangeran itu. "Sudahlah! Sahabatmu itu memang bukan manusia
baik-baik. Tentang pembalasan den-dam adalah perkara gampang. Menurut Paman
Gagak Seta, tenaga saktimu luar biasa kuat kini. Kalau kau sudah sehat,
biarpun pangeran bangsat itu terbang ke ujung langit, masakan kau tak dapat
mengejarnya?" kata Titisari. Sangaji mengangguk. Pikirnya, ya bukan-kah
ketiga ilmuku sudah manunggal? Teringat akan hal itu, hatinya tenang. Terus
saja ia menenangkan diri dan duduk bersemadi. Tak terasa hari hampir
mendekati senja. Manakala saat istirahat tiba, Sangaji nampak segar bugar.
Sebaliknya Titisari kelihatan agak pucat. Meskipun demikian gadis itu
bergembira. Katanya setengah bersorak, "Kita sudah melampaui satu hari satu
malam. Tinggal enam hari lagi. Tapi semenjak kini kau harus patuh
kepadaku!" "Tentu! Kapan aku tak mendengarkan perkataanmu?" Titisari
tersenyum. Wajahnya yang agak pucat bersemu merah dadu. Dalam pertukaran
tenaga, dialah yang menjadi korban. Maklumlah, keadaan hati Sangaji
terguncang tak keruan. Untung dalam keguncangan itu, tangannya tetap
menempel. "Sungguh berbahaya!" keluh Sangaji. "Seumpama tiada engkau,
pastilah nyawaku sudah melayang..." Titisari tersenyum. Matanya
berkilat-kilat, la nampak cantik sekali dalam cahaya remang senja hari.
Tangan kirinya bergerak menyapu keringat Sangaji dan keringatnya sendiri.
Sedangkan tangan kanannya tetap beradu dengan tangan Sangaji. Tak terasa
hati Sangaji jadi tergetar. Alangkah lunak dan bersih lengan Titisari.
Memikir demikian hatinya memukul. Darahnya lantas saja tersirap. Itulah
sebabnya gugup ia menenangkan diri lagi. Selama berkenalan, belum pernah ia
dihinggapi perasaan demikian. Dalam kegugupannya, wajahnya nampak merah.
Diam-diam ia menyesali perasaannya sendiri. "Eh—Aji! Kau kenapa?" tegur
Titisari. Gadis itu melihat perubahan mukanya. "Akulah yang salah. Mendadak
saja aku memikir yang bukan-bukan," jawab Sangaji. la adalah seorang pemuda
yang jujur. Dalam setiap katanya belum pernah ia berdusta. "Kau memikir
apa?" "Aku memikir... memikir... Eh, tapi sekarang aku tak memikir lagi."
Pemuda itu menundukkan kepalanya. Tetapi Titisari tak puas dengan
jawabannya. Mendesak lagi, "kau memikir apa?" Sangaji merasa terdesak. Maka
terpaksa ia menjawab, "Tiba-tiba aku dihinggapi pikiran ingin memelukmu dan
menciummu..." Sekarang Titisari yang jadi kikuk. Maklum-lah, sama sekali
tak diduganya bahwa Sangaji memikir tentang keadaan dirinya. Mukanya terus
saja berubah menjadi merah. Tapi justru demikian, kecantikannya makin
bertambah. Hati Sangaji kian terguncang-guncang. "Titisari! Kau menyesali
aku?" Sangaji gugup. "Maafkan aku. Hmm, mengapa aku jadi lebih buruk dari
pada sang Dewaresi?" Titisari terkejut. Mendadak ia tertawa perla-han tapi
menggairahkan. Katanya kemudian, "Tidak! Sama sekali tidak. Betapapun juga,
di kemudian hari aku adalah milikmu. Kau boleh memelukku dan menciumku
sesuka hatimu. Bukankah aku kelak menjadi isterimu?" Mendengar jawaban itu,
hati Sangaji lega luar biasa. Mukanya lantas saja menjadi terang bersinar.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar