11.27.2019

@bende mataram@ Bagian 292

@bende mataram@
Bagian 292


Dalam pada itu, Gusti Ayu Retnaningsih mulai sibuk memperbaiki letak
pakaiannya. Kemudian berjalan ke ambang pintu hendak menyongsong kedatangan
kekasihnya. Tapi ternyata Pangeran Ontowirjo tak jadi mema-suki halaman
benteng. Ia hanya duduk tegak di atas kudanya dengan mengamat-amati
benteng. Sebagai seorang prajurit, benteng itu menarik perhatian-nya.
Pengiring-pengiringnya menjajari dengan penuh waspada dan nampak mengadakan
pembicaraan. Beberapa waktu kemudian Pangeran Ontowirjo memutar kudanya.
Dan dengan suatu isyarat tangan ia memerintahkan sekalian pengiringnya
meninggalkan benteng, menuju barat laut. Melihat Pangeran Ontowiryo
meninggalkan benteng, Gusti Ayu Retnaningsih jadi kecewa. Mau ia berteriak
memanggilnya, tapi segera mengurungkan. Martabatnya sebagai puteri
bangsawan tidak mengizinkan berbuat demikian di tengah alam terbuka. Maka
dengan laju ia menghampiri meja dan menghempaskan diri di atas kursinya.
Lalu berdiam diri dengan pandang berme-nung-menung. Selagi ia
bermenung-menung, mendadak terdengar suara langkah mendekati ambang pintu.
Dan muncullah seorang pemuda berpe-rawakan ramping yang berdiri terkejut
begitu melihat Gusti Ayu Retnaningsih. "Ah... maaf...," katanya gugup,
"apakah aku salah masuk?" Gusti Ayu Retnaningsih tak kurang-kurang
kagetnya. Tatkala mendengar langkah kaki, ia mengharap kedatangan Pangeran
Ontowiryo. Siapa tahu dia berubah pikiran dan datang melihat-lihat benteng.
Di luar dugaan ia meli-hat seorang pemuda yang sama sekali asing baginya.
Meskipun ia termasuk seorang puteri ningrat yang pernah berguru di luar
istana dan mempunyai pergaulan agak luas, namun betapapun juga ia belum
mempunyai pengucapan hati sebebas Fatimah atau gadis-gadis dari kalangan
rakyat. Itulah sebabnya, tiba-tiba saja ia menjadi kemalu-maluan
seolah-olah terbongkarlah rahasia hatinya. Dengan gugup pula menyahut
sulit. "Tu... tuan mencari siapa?" Pemuda berperawakan ramping itu, masih
saja berdiri tegak seakan-akan kehilangan daya ingatan. Tak lama kemudian
ia nampak berbimbang-bimbang. "Sebenarnya... hendak aku berteduh. Di
mana-mana terjadi pertempuran. Penduduk mengungsi sampai dusun-dusun jadi
sepi... Apakah Nona juga berteduh di sini?" "Tidak." "Tidak?" pemuda itu
tercengang. "Kalau tidak, apakah benteng ini milik keluarga Nona?" "Tidak."
Memperoleh jawaban tidak dua kali, pemu-da itu benar-benar heran.
Dilayangkan matanya dan ia melihat beberapa deret kursi yang teratur
berjajar menghadap meja pan-jang. Mendadak saja suatu ingatan menusuk
benaknya, lalu minta keterangan. "Apakah di sini markas suatu pergerakan?"
Belum lagi Gusti Ayu Retnaningsih men-jawab pertanyaan itu, Fatimah keluar
dengan membawa niru besar penuh minuman. Begitu melihat pemuda ramping itu
ia tersenyum manis. Mengira, bahwa pemuda itu Pangeran Ontowiryo dengan
hormat ia mempersilakan. "Apakah Pangeran tak sudi memasuki pon-dokanku?
Jelek-jelek aku bakal iparmu." Sudah barang tentu, pemuda itu terkejut
bercampur heran, la sudah terkejut sewaktu dipanggil pangeran, mendadak
mendengar pula istilah ipar. Yang kelabakan adalah Gusti Ayu Retnaningsih.
Mau ia memberi keterang-an, tapi Fatimah sudah mengambil tindakan. Begitu
habis meletakkan nirunya, terus saja ia melompat dan menarik tangan pemuda
itu memasuki ruangan dalam. "Duduklah! Masakan malu-malu segala?" katanya.
Pemuda ramping itu didorongnya duduk dan jatuh terhenyak di atas kursi
dengan pandang terlongong-longong. "Aku bukan pangeran," ia mencoba memberi
penjelasan. "Kau boleh mengaku apa saja. Masakan aku bisa kau kecoh?"
bantah Fatimah dan terus menyodorkan minuman dan sepiring ketela Jawa.
"Kaumakanlah! Sekali-sekali kau bela-jar menggerogoti batu!" Sekarang
jelaslah bagi Gusti Ayu Retna-ningsih, apa yang dimaksudkan menggerogoti
batu-batu. Itulah ketela Jawa yang bentuknya seperti batu. Dasar pemuda itu
lapar, maka tawaran itu merupakan suatu karunia baginya. Tanpa ragu-ragu ia
menyambar ketela itu. Fatimah lantas saja mengerling genit kepada Gusti Ayu
Retnaningsih sambil berkata, "Nah, kau temani kekasihmu. Bukankah di sini
lebih bebas daripada dalam istana?" Sehabis berkata demikian. Fatimah lari
ke dapur dengan sekencang-kencangnya. Hati-nya girang bukan main, seperti
kanak-kanak menemukan suatu permainan. Yang merasa runyam adalah Gusti Ayu
Retnaningsih. Wajahnya merah padam karena malu dan bingung. Pemuda yang
berada di depannya tak kurang-kurang pula heran bercampur malu. Tapi dasar
laki-laki, ia lebih berani menghadapi sesuatu persoalan. Setelah dua tiga
kali diperlakukan Fatimah demikian rupa mendadak saja terbersitlah suatu
perasaan naluriahnya. Diam-diam ia mulai mengamat-amati Gusti Ayu
Retnaningsih. Pikirnya, dari mana gadis secantik ini? Pastilah dia bukan
gadis desa... Dalam pada itu, Titisari dan Sangaji yang mengintip di ruang
atas ikut tertarik pula. Mula-mula mereka menduga yang datang ialah
Pangeran Ontowiryo. Sama sekali mereka tidak mengetahui, bahwa Pangeran
Ontowiryo mendadak saja berubah haluan. Maklumlah, mereka hanya
mengandalkan kepada pembicaraan Gusti Ayu Retnaningsih dan Fatimah. Tapi
begitu pemuda itu muncul di ambang pintu, mereka jadi heran. Terang sekali,
dia bukan Pangeran Ontowiryo. Mes-kipun mereka hanya sekilas pandang
melihat Pangeran Ontowiryo, tapi bagi mata mereka sudah cukup mengesankan.
"Lihat!" bisik Titisari. "Saudaramu sepergu-ruan bisa mati kaku
dipermainkan begitu oleh Fatimah." Sangaji adalah seorang pemuda perasa.
Mendengar dan menyaksikan sikap Fatimah terhadap pemuda itu, ia jadi geli
bercampur iba. Tiba-tiba suatu ingatan menusuk be-naknya. Tak terasa
terlompatlah kata-katanya. "Ah! Diapun berada di sini?" "Siapa?" Titisari
heran "Itulah Surapati murid Ki Hajar Karang-pandan," sahut Sangaji cepat.
"Dialah dahulu yang dikirimkan Pangeran Bumi Gede ke Jakarta menjajal-jajal
kemampuanku. Dahulu aku pernah dikalahkan sampai guruku Wira-pati menjadi
gusar..." Setelah ia menerangkan sejarah pertemuan-nya dengan Surapati
lebih jelas lagi. Kemudian berkata mengandung cemas. "Pangeran Bumi Gede
adalah musuh Pangeran Ontowiryo. Celakalah kalau dia tahu, bahwa Gusti Ayu
Retnaningsih adalah tunangan Pangeran Ontowiryo. Dia bisa dijual
mentah-mentahan." Sehabis berkata demikian, darahnya lantas saja tersirap
sampai tubuhnya nyaris ber-goyangan. Tentu saja Titisari terkejut bukan
kepalang. Cepat ia mendekap pinggang kekasihnya sambil berbisik, "Aji! Biar
apa saja yang terjadi, kau kularang memikirkan dia, entahlah kalau aku tak
berada di sam-pingmu." Hebat pengaruh bisikan Titisari itu. Sebagai seorang
pemuda yang halus perasaannya, tahulah dia ke mana maksud gadis itu.
Pikirnya dalam hati, benar katanya. Kalau aku terlalu memikirkan gadis
lain, bukankah berarti aku menusuk perasaannya? Oleh pikiran itu, hatinya
jadi tenang kembali. Kini ia bisa mengamat-amati kedua muda-mudi itu lagi
dengan hati bebas. Surapati waktu itu masih saja menggerumu-ti ketela Jawa
dengan lahap sambil sekali-kali menyiratkan pandang kepada Gusti Ayu
Retnaningsih. "Sebenarnya siapakah Nona?" akhirnya ia memberanikan diri
minta keterangan. Gusti Ayu Retnaningsih tak segera menja-wab. Pandangannya
runtuh kepada pinggang Surapati yang nampak mengenakan pedang panjang. Ia
sadar akan suasana peperangan. Kalau bersikap terus terang jangan-jangan
malah membahayakan diri. Maka dengan hati-hati ia membalas minta
keterangan. "Gadis tadi adalah sahabatku. Dan kau siapa?" "Namaku Surapati.
Secara kebetulan sekali, aku lewat di sini. Memang aku lagi mencari tempat
berteduh. Desa-desa yang kulalui hampir semuanya menjadi sepi." "Apakah
engkau seorang prajurit?" "Tidak." "Kalau engkau bukan seorang prajurit,
apa sebab membawa-bawa pedang dalam per-jalanan?" Memperoleh pertanyaan
demikian, Surapati sejenak terhenyak. Ia diam menimbang sambil
mengamat-amati pedangnya. Lalu menjawab, "Aku lagi mencari seorang
temanku." "Siapa?" Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah wajib dijawabnya.
Tapi begitu matanya terbentur dengan pandang Gusti Ayu Retnaningsih yang
cantik dan dengan penuh wibawa, mau tak mau runtuhlah hatinya. Dengan
alasan tak sampai mengecewakan hati gadis itu, lantas saja ia menjawab,
"Temanku itu bernama Sangaji. Ia berasal dari Jakarta. Menurut kabar, ia
sudah hampir satu tahun berada di Jawa Tengah. Karena rasa rinduku, ingin
aku mencari sampai ketemu." Meskipun keterangannya setengah ber-bohong,
tapi begitu mendengar nama Sangaji, wajah Gusti Ayu Retnaningsih lantas
saja berubah. Terlebih-lebih Titisari, meskipun ia sudah mendengar
keterangan Sangaji tentang pemuda itu. Diam-diam ia berpikir, apa
mak-sudnya hendak mencari Aji? Dalam pada itu Surapati begitu melihat
perubahan wajah Gusti Ayu Retnaningsih, terus saja meletakkan ketelanya.
Kemudian menegas, "apakah Nona pernah bertemu dengan dia atau kenal
padanya?" Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang pu-teri ningrat. Sebagai
seorang puteri bang-sawan, ia mengutamakan watak keperwiraan. Karena itu,
tak dapat ia berbohong. Se-sungguhnya, tentang pemuda Sangaji ia mem-punyai
kesan tersendiri. Teringatlah dia akan budi Sangaji tatkala pemuda itu
menolong dirinya dari lembah hina. Seumpama tiada Sangaji, apakah jadinya.
Melihat Sangaji yang berperawakan tegap dan berparas tidak buruk, diam-diam
dia jatuh hati. Hanya saja teringat bahwa dia sudah ditunangkan dengan
Pangeran Ontowiryo. Tak dapat ia mengizinkan hatinya merana sesuka-sukanya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar