11.30.2019

@bende mataram@ Bagian 295

@bende mataram@
Bagian 295


Gerak-gerikmu mewakili rakyat yang kau pimpin." Fatimah masih menyangka,
Surapati adalah Pangeran Ontowiryo. Keruan saja hampir ber-bareng, Surapati
dan Gusti Ayu Retnaningsih menolak dugaan itu. Kata Surapati gugup, "Aku
bukan seorang pangeran. Aku bernama Surapati, murid Ki Hajar Karangpandan."
"Apa kau bilang?" Fatimah kini jadi ter-cengang-cengang. Pandangnya beralih
kepada Gusti Ayu Retnaningsih minta penjelasan. "Benar. Dia bukan Pangeran
Ontowiryo," kata Gusti Ayu Retnaningsih perlahan. Wajahnya terus saja
berubah merah jambu. "Ah! Kalau bukan Pangeran Ontowiryo, apa sebab ke
mari?" "Hanya secara kebetulan saja aku singgah ke mari," sahut Surapati.
"Eh—macammu! Secara kebetulan pula engkau menggerogoti ketelaku sampai
hampir habis." "Untuk ini aku bersedia membayar. Kalau tak sudi kubayar aku
akan melakukan segala perintahmu sebagai penebus sepiring ketela-mu."
"Bagus!" sahut gadis angin-anginan itu dengan cepat. "Kau telah berjanji
sendiri. Nah, duduklah makanlah ketelaku semua tanpa minum!" Surapati
tercengang. Sama sekali tak diduganya, perintah gadis itu terlalu lunak.
Diam-diam ia berpikir, dari luar kelihatannya galak. Siapa tahu hatinya
sebenarnya baik. Maka dengan senang hati, segera ia duduk dan mulai
menggerumuti ketela. Tapi meng-gerumuti ketela sebenarnya mempunyai caranya
sendiri. Kalau tiada hati-hati, lambat-laun tenggorokan bisa pepat. Benar
juga, belum lagi Surapati menghabiskan lima buah ketela besar, ia mulai
kelabakan mencari minum. Tetapi ia malu memperoleh kesulitan. Dengan licin
ia mulai memutar lidah. "Nona! Kau rupanya kenal dengan pendekar Wirapati.
Apakah dia sanakmu?" "Kau benar... apa maksudmu?" sahut Fatimah. Surapati
tertawa menyeringai. "Dahulu hari, guruku pernah bertanding melawan
pendekar Wirapati. Masing-masing membawa seorang murid yang harus
dididiknya dalam jangka waktu dua belas tahun. Murid guruku bernama
Sanjaya. Dialah kakak seperguruanku putera Gusti Pangeran Bumi Gede.
Sedangkan murid pendekar Wirapati, bernama Sangaji. la berhenti mencari
kesan sambil menelan ludah. Kemudian meneruskan, "untuk menemukan muridnya,
pendekar Wirapati harus merantau ke barat sampai datang ke Jakarta. Dalam
hal ini gurukulah yang beruntung. Dengan gampang bisa menemukan muridnya.
Ah, hebat akhirnya." Mendengar cerita Surapati, mau tak mau Fatimah dan
Gusti Ayu Retnaningsih tertarik hatinya. Bahkan Titisari yang sudah
menge-tahui hal itu ikut memasang kupingnya. Memang Surapati pandai
berbicara. Dahulu tatkala bertemu dengan Sangaji, Wirapati dan Jaga
Saradenta, ia bisa membakar hati orang. Peristiwa itu terjadi di Jakarta,
sewaktu ia di-utus Pangeran Bumi Gede menyesapi berita tentang beradanya
lawan anak-angkatnya sekalian menguji kepandaiannya. Kini, ia lagi
mempunyai maksud tertentu terhadap dua gadis itu. Baginya adalah mudah
untuk memikat hati mereka dengan memutar lidah-nya. Dalam hal inf
Fatimahlah yang tertambat hatinya, demi pemuda itu menyebut-nyebut nama
kakaknya. Sesungguhnya belum pernah ia bertemu muka dengan kakaknya dalam
keadaan jelas. Sewaktu kakaknya (Wirapati) merantau ke daerah barat, ia
baru berumur tiga tahun, la tinggal bersama ayah bundanya yang hidup
sebagai petani. Tatkala daerah perbatasan kerajaan terjangkit penyakit
kolera, ayahnya meninggal dunia. Kemudian Kyai Kasan Kesambi mengambil
suatu kebijak-sanaan. Suryaningrat—muridnya yang bungsu diutus menilik
keadaan keluarga Wirapati. Perintah itu dilakukan satu tahun sekali. Begitu
Fatimah berumur dua belas tahun, mulailah Suryaningrat menurunkan ilmu
warisan perguruan Gunung Damar. Semenjak itu, Suryaningrat menilikinya
setiap tiga bulan sekali sampai pada suatu hari ibu Fatimah menyusul
suaminya ke alam baka. Fatimah jadi seorang gadis yatim piatu, la hidup
merdeka, tapi tanpa pengawasan dan pendidikan. Sehingga akhirnya menjadi
seorang gadis yang senang membawa maunya sendiri. Pada saat-saat tertentu,
ia berada di dalam benteng apabila sedang berlatih. Gurunya sering
meyakinkan bahwa kakaknya sewaktu-waktu akan pulang menjenguknya. Karena
kakaknya adalah seorang pendekar besar, alangkah tidak baiknya apabila dia
menjadi seorang gadis tiada guna. Maka dalam khayalannya ia selalu
mengharap-harap kedatangan kakak-nya. Setiap kali gurunya datang
menje-nguknya, selalu ia menanyakan kabar beri-tanya. Begitu juga terhadap
Gusti Ayu Retnaningsih. Tetapi baik Suryaningrat maupun Gusti Ayu
Retnaningsih tak dapat mengabarkan kepergian kakaknya dengan jelas. Kini ia
mendengar warta tentang alasan kepergian kakaknya dari mulut Surapati.
Keruan saja hatinya tertarik bukan main. "Lantas bagaimana?" desaknya
dengan bernafsu. Surapati adalah seorang pemuda yang sudah masak dan
mempunyai banyak pe-ngalaman mengenai kesan seseorang. Melihat perhatian
Fatimah begitu besar, timbullah kenakalannya hendak mempermainkan. Sahutnya
acuh tak acuh. "Apa yang lantas?" "Kau mengumbar mulutmu setengah matang,
masakan enak didengarkan kuping?" damprat Fatimah gregetan. "Ingat janjimu!
Kau harus menebus ketelaku yang kaugero-goti!" Surapati berpura-pura
terkejut, la mendo-ngak ke atap, lalu membuka mulut hendak meneruskan
berbicara. Sewaktu hendak mulai, sengaja ia menyumpali mulutnya dengan
sebongkah ketela. Kemudian mengumbar monyongnya. Tentu saja kata-katanya
kurang jelas. Gusti Ayu Retnaningsih adalah seorang bangsawan murni.
Gerak-geriknya halus dan hatinya perasa. Terus saja ia menyodori sege-las
air teh. Sebaliknya Fatimah yang beradat angin-anginan, lantas menyemprot.
"Kalau kau mau minum, bilanglah! Masakan nyengar-nyengir seperti monyet?
Siapa kesu-dian melihat monyongmu kesumpalan ketela... Idih!" Itulah
kehendak Surapati. Diam-diam hatinya girang, karena ia merasa diri menang.
Sambil menyambar gelas air teh, ia mengerling kepada Gusti Ayu Retnaningsih
yang menggairahkan hatinya. "Nah... teruskan!" desak Fatimah lagi sete-lah
Surapati meneguk airnya. "Apakah kau ingin mendengar hebatnya guruku?"
sahut Surapati tenang-tenang. "Siapa kesudian mendengarkan kehebatan
gurumu." "Hah... apa kau bilang?" Surapati tak senang. "Guruku adalah
seorang laki-laki sejati di kolong langit. Betapa bisa Wirapati nempil
kepandaiannya? Belum lagi muridnya diadu dengan kakak seperguruanku ia
sudah kena kujatuhkan." "Hm," Fatima menggerutu. "Mari kita tinggalkan
burung yang pandai mengoceh ini." Gusti Ayu Retnaningsih mengangguk tanda
setuju sambil berkata, "Memang, aku berniat hendak minta diri. Aku khawatir
akan keper-gok Kangmas Pangeran." "Hai, nanti dulu!" teriak Surapati
nyaring sambil berdiri. "Kau bilang aku mengoceh seperti burung? Hm... kau
kira apa murid-murid Ki Hajar Karangpandan?" "Kalau tidak semacam burung
pastilah semacam monyong babi. Kau mau apa?" "Bedebah!" maki Surapati
sambil meng-gempur meja. la benar-benar tersinggung kehormatannya. Matanya
melotot dan bibirnya bergemetaran. "Kalau aku sebangsa burung atau monyong
babi, lantas kalian bangsa apa?" "Aku murid Suryaningrat. la adalah adik
seperguruan Wirapati. Kau bilang sendiri, Wi-rapati seorang pendekar. Nah,
dengan sendiri-nya termasuk golongan pendekar. Bukan seperti monyongmu!"
sahut Fatimah tajam. Mendengar ujar Fatimah, tubuh Surapati menggigil
karena menahan marah. Gusti Ayu Retnaningsih yang berperasaan halus,
kemu-dian berkata menengahi. "Biarlah aku mohon diri dahulu. Apabila kalian
tersesat di Yogya, sudilah mampir barang sebentar." Fatimah terhenyak
mendengar keputusan Gusti Ayu Retnaningsih hendak berangkat benar-benar.
Berat rasa hatinya akan segera terpisah dengan saudara seperguruannya.
Sebaliknya Surapati yang belum reda hawa amarahnya terus saja berkata,
"Hai! Kau bilang, aku kauharapkan mampir ke rumah-mu? Bagaimana bisa? Kau
belum lagi memperkenalkan dirimu." Mendengar suara Surapati yang masih
bernada galak, kembali watak Fatimah yang angin-anginan menyahut. "Kau
mengaku adik seperguruan anak angkat Pangeran Bumi Gede! Kalau engkau
diharapkan mampir, itu-lah suatu anugerah. Kau tahu siapa dia? Dialah
tunangan Pangeran Ontowiryo lawan besar majikanmu." Surapati kaget
bercampur heran, la jadi bersangsi. Pikirnya, masakan dia tunangan Pangeran
Ontowiryo? Kalau benar apa sebab sampai keluyuran di sini seorang diri?
Mendadak saja timbullah niat jahatnya. Kalau bisa membekuk Nona itu,
bukankah besar artinya? Memperoleh pikiran demikian, terus saja ia melompat
menghadang pintu. "Berhenti!" gertaknya. "Kalian kini jadi tawananku."
Setelah berkata demikian, ia tertawa riuh. Fatimah seorang gadis yang tajam
mulut-nya. Barangkali memiliki ketajaman otak pula. Hanya sayang, ia belum
berpengalaman dalam kehidupan petualangan. Karena itu tak disadari sendiri,
ia telah membuka suatu rahasia besar yang merupakan pantangan dalam suasana
perang. Maksudnya tadi hanyalah sebagai gertakan belaka untuk membuat hati
Surapati mengkeret. Tak tahunya, ucapannya itu mempunyai ekor panjang yang
sangat berharga bagi pihak yang saling bermusuhan. Meskipun tak
takut—mengingat keperkasaan Surapati tadi—hatinya tergetar juga. "Kau
banyak bertingkah di sini. Kau mau tangkap dia?" "Jangan mimpi!" bentak
Fatimah. Belum lagi habis perkataannya, Surapati telah melompat dan
menyerang dengan sung-guh-sungguh. Tadi, ia telah menyaksikan sen-diri,
betapa mereka bisa berkelahi dengan baik. Dalam hal ketangguhan, tak
usahlah dia khawatir akan gagal dan kalah. Gusti Ayu Retnaningsih sadar,
bahwa ia kalah tangguh. Namun demikian, tak sudi ia dijatuhkan pamornya.
Demi membela ke-agungan perguruannya, serentak ia menang-kis serangan itu.
Fatimahpun tak mau berpe-luk tangan pula. Segera ia menyerbu lawan dari
samping. Dengan demikian pertempuran bertambah lama bertambah seru. Di
ruang atas, Titisari menyaksikan semua-nya itu semenjak tadi. Hatinya ikut
men-dongkol menyaksikan lagak Surapati. "Dia berani menghina Aji! Coba
kalau Aji dapat kutinggalkan, masakan aku tak mampu menghajarnya," katanya
dalam hati.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar