11.23.2019

@bende mataram@ Bagian 288

@bende mataram@
Bagian 288


Dahinya berkerut-kerut seakan-akan sedang meng-hadapi soal hidup dan mati.
"Seratus enam puluh tahun yang lalu, ben-teng ini dibangun kompeni Belanda
untuk melawan pemberontakan Trunajaya. Inilah benteng lambang kekalahan
Trunajaya. Kini kitapun terperangkap dalam benteng ini. Apakah artinya
ini?" Para pendekar yang mendengar ucapan Pangeran Bumi Gede heran
bercampur gelisah. Maklumlah, mereka hanya pandai berkelahi. Tentang
pengetahuan sejarah dan kebudayaan, rata-rata pengetahuan mereka nihil.
Beberapa waktu kemudian, masuklah beberapa prajurit membawa dua meja dan
enam belas kursi. Entah dari mana mereka peroleh. Tapi melihat sepak
terjang mereka, pastilah perabot itu hasil rampasan dari desa-desa yang
berada di sekitar benteng. "Hari ini Paduka memperoleh persembahan
penduduk," ujar Yuyu Rumpung. Sudah barang tentu ia membohong. Pangeran
Bumi Gede tahu tentang hal itu, tapi ia bersikap diam. Katanya lagi,
"mereka mempersem-bahkan pula beberapa ekor ayam dan mi-numan keras. Inilah
suatu bukti, betapa besar pengaruh nama Paduka. Kami percaya, bahwa di
kemudian hari Paduka akan berhasil menduduki tahta kerajaan menggantikan
Hamengku Buwono II yang tak becus memerintah negeri." Betapapun juga,
kata-kata Yuyu Rumpung itu mengenai sasarannya. Pangeran Bumi Gede nampak
bergirang. Wajahnya yang bersungut-sungut, lambat laun menjadi terang.
Terus saja ia memungut segelas minuman keras dan diteguknya sekali habis.
Dan pendekar-pendekar lainnya segera menirukan perbuatannya. Sangaji yang
mendengar ucapan Yuyu Rumpung jadi terkejut. Meskipun hal itu bukanlah soal
baru, tapi tak pernah ia percaya bahwa Pangeran Bumi Gede benar-benar
berani menggerakkan tentara dan dengan terang-terangan melawan Sultan.
Begitu ia terkejut, napasnya lantas saja menjadi sesak. Titisari tersentak.
Sebagai seorang gadis yang cerdik dan berotak encer, tahulah dia apa sebab
musababnya. Terus saja ia mengeraskan genggamannya. Ia mencoba mendorong
lebih keras. Namun napas Sangaji masih saja sesak. Inilah bahaya. Maka
buru-buru ia menempelkan kepalanya menghampiri daun telinga. Kemudian
berbisik, "Ingat kesehatanmu! Mereka boleh memiliki rencana. Tapi masakan
pemimpin-pemimpin kasultanan terdiri dari manusia-manusia goblok semua."
Bisikan Titisari itu masuk nalar dan bisa diterima. Teringatlah dia—mereka
tadi mem-bicarakan Pangeran Ontowiryo. Dia sendiri belum berkenalan, tapi
pernah melihatnya. Mengingat lagak lagu mereka yang mengan-dung jeri dan
hormat, pastilah Pangeran Ontowiryo bukanlah seorang prajurit sem-barangan.
Memperoleh pikiran demikian, hatinya jadi tenang. Perlahan-lahan napasnya
jadi longgar lagi. Titisari mengintai pula dan bertepatan dengan tangan
Pangeran Bumi Gede menaruh-kan cawannya di atas meja. Lalu berkatalah
pangeran itu, "Semuanya ini adalah jasa sang maha perwira Aria Singgela.
Coba, andaikata tiada beliau, pastilah kita akan menghadapi suatu keadaan
yang maha sulit. Dari Beliau pula kita memperoleh kepastian, bahwa kedua
pusaka Bende Mataram kini berada di tangan bocah Sangaji." Aria Singgela
alias Kebo Bangah tertawa mendongak mendengar pujian Pangeran Bumi Gede.
Suara tertawanya parau, pecah dan keras seperti setumpuk piring seng pecah
berantakan. Hati Sangaji berdenyut mende-ngar suara tertawanya. Pikirnya,
apa sebab dia bisa mengetahui, bahwa kedua pusaka Bende Mataram ada padaku?
Pikirannya bekerja dengan keras. Mendadak saja teringatlah dia, sampai
badannya tergetar. Bisiknya berkomat-kamit, "Aha ya! Sebagai seorang
pendekar sakti, pastilah dia bisa melihat jejak tanah. Karena dia musuh
utama Paman Gagak Seta, masakan takkan segera mengetahui sudut tolak ilmu
Kumayan Jati?" Titisari jadi kebingungan. Darah Sangaji terasa berdesir tak
karuan, sehingga jan-tungnya sendiri ikut terguncang. Tak disadari sendiri,
terietuplah doanya. "Ya Tuhan sarwa alam! Usirlah si kebo bangkotan itu
dari sini. Kalau dia ngoceh lebih lama lagi, bisa-bisa Sangaji mati kaku
dibuatnya ..." "Tempat ini terasing dan bagus letaknya..." kata Kebo
Bangah. "Sebagian laskar kita masih tersebar di jauh sana. Pastilah laskar
kasultanan takkan bisa sampai di sini. Eh, Paduka, sebenarnya desa ini
bernama apa?" "Sebelah itu adalah Desa Randugunting. Dan di sebelah utara,
Krajan dan Karangmaja. Gundukan ini sendiri di sebut Pasetran." "Pasetran?
Alangkah bagus!" sahut Kebo Bangah lagi dengan tertawa riuh. "Paduka pernah
membicarakan perkara kedua pusaka peninggalan Bende Mataram. Di desa
sesunyi ini, kurasa bagus sekali untuk mendengar keterangan-keterangan
tentang rahasia pusa-ka warisan tersebut. Aku yang sudah tua, pasti akan
merasa bertambah pengetahuan dan pengalaman..." Di dengar dari lagu
suaranya, Kebo Bangah nampak mengalah terhadap Pengeran Bumi Gede. Tapi
dalam hatinya sebenarnya tidak. Tentang kedua pusaka itu, sudah lama ia
mendengar kabarnya. Hanya baginya masih gelap. Ia mendengar laporan
kemenakannya, bahwa Pangeran Bumi Gede sangat gandrung kepada pusaka itu.
Timbullah dugaannya bahwa pangeran itu pasti mengetahui lebih banyak
daripada dirinya sendiri. Selain itu mestinya sudah mempunyai pegangan
kuat. Kalau tidak, masakan begitu bernafsu dan berani mengeluarkan
biaya-biaya tidak ringan. Dan apabila dia nanti memperoleh keterangan
lengkap, ia berniat hendak mengangkangi sendiri. Tapi apabila hanya
merupakan benda keramat yang tiada arti untuk sesuatu ilmu sakti, ia akan
sudi mengalah. Benda itu akan dipersembahkan kepada Pangeran Bumi Gede.
Dengan demikian, ia akan tercatat sebagai orang yang pernah berjasa. Di
kemudian hari pasti mempunyai perhitungan sendiri. Pada saat itu semua mata
mengarah kepada Pangeran Bumi Gede. Titisari dan Sangaji pun tak
terkecuali. Pikir gadis itu, kalau boleh berbicara sebanyak-banyaknya.
Kedua pusaka itu kini sudah berada dalam tangan Sangaji. Kalau ada artinya,
bukankah merupakan suatu karunia besar bagi Kangmasku? "Dua puluh dua tahun
yang lalu, aku pernah dipanggil ayahku menghadap padanya." Pangeran Bumi
Gede mulai. "Beliau mengabarkan tentang benda pusaka Bende Mataram yang
pada zaman bahari memerintah tanah Jawa untuk yang pertama kalinya.
Barangsiapa dapat memiliki pusaka-pusaka Bende Mataram, akan bisa
memerintah negeri sebagai hak waris. Di atas benda-benda peninggalan itu,
tergurat beberapa baris perkataan sakti. Entah mengenai apa, hanya malaikat
yang tahu. Tapi cara bagaimana orang bisa menemukan guratan itu, masih pula
merupakan suatu teka-teki pula." Sampai di sini Pangeran Bumi Gede tak
berbicara lagi. Orang-rang tak dapat mende-saknya, karena sesungguhnya
mereka kurang mengerti guna faedah benda peninggalan itu. Sebaliknya Kebo
Bangah merasa tak puas. Meskipun berlagak tenang dan tak pedulian, tetapi
kentara benar betapa resah hatinya. "Pangeran! Masakan Pangeran sama sekali
buta tentang rahasia itu," ia mencoba men-desak. "Hm, selama hidupku, aku
hanya pernah melihat. Meraba apalagi memiliki, belum per-nah. Karena itu,
tak dapat aku mempunyai kesempatan untuk menyelidiki," sahut Pa-ngeran Bumi
Gede pendek. Kebo Bangah menghela napas. Tahulah dia, bahwa Pangeran Bumi
Gede tak dapat didesaknya lagi. Memang ia boleh cerdik, licin dan licik.
Tetapi Pangeran Bumi Gede mem-punyai kecerdikan, kelicinan dan kelicikan
jauh berlebih. Dengan ia mengarah kepada Sanjaya dan berkata memerintah.
"Anakku, Sanjaya! Ayahmu kurang jelas tutur katanya. Apakah engkau bisa
melengkapi?" Sanjaya tertawa lebar. "Pengetahuanku tak melebihi sang
Dewaresi. Silakan Paman minta keterangan padanya." Kalau saja tidak berada
di depan Pangeran Bumi Gede, Kebo Bangah sudah menghajar Sanjaya kalang
kabut, karena berani men-jawab demikian. Dalam kegusarannya ia tertawa
panjang dan keras sampai genting-genting kena tergoyang. Betapa hebat
tenaga saktinya sudah bisa dibayangkan. Mau tak mau, para pendekar yang
biasanya membawa adatnya diam-diam meringkaskan hati. Mereka tak berani
berlagak secara berlebih-lebihan lagi. Pada saat itu masuklah seorang
pemuda tegap usia pertengahan yang mengenakan pakaian putih. Dialah sang
Dewaresi keme-nakan Kebo Bangah. Begitu masuk, lantas saja membisiki Kebo
Bangah. Wajahnya nam-pak bersungguh-sungguh sampai orang-orang lainnya ikut
menaruh perhatian. "Bagus!" seru Kebo Bangah. Kemudian menghadap Pangeran
Bumi Gede. Berkata meneruskan, "karena rejeki Paduka, jejak bocah Sangaji
sudah bisa diketemukan. Nah, biarlah aku sendiri menangkap bocah itu."
Sehabis berkata demikian, ia lalu keluar benteng diikuti kemenakannya.
Pangeran Bumi Gede tak tinggal diam. Terus saja ia memerintahkan sekalian
pendekar meng-amat-amati Kebo Bangah dari kejauhan dengan tugas merampas
benda peninggalan itu. Meskipun Kebo Bangah gagah, masakan bisa melawan
keroyokan mereka, pikir Pangeran Bumi Gede. Tatkala Sanjaya bergerak hendak
ikut serta, Pangeran Bumi Gede memanggilnya. Kemudian dengan suara lembut,
ia berkata, "Anakku Sanjaya! Biarkan mereka pergi. Kau tak usah ikut campur
dengan mereka. Mari kita berunding!" Semenjak tadi Sangaji dan Titisari
me-numpahkan seluruh perhatiannya kepada gerak-gerik mereka. Hati mereka
tergetar, sewaktu mendengar kabar bahwa sang Dewaresi sudah menemukan
jejaknya. Pikir mereka, apakah Fatimah kena tangkap? Selagi mereka sibuk
menimbang-nimbang, mendadak dilihatnya Pangeran Bumi Gede memanggil
Sanjaya. Mendengar kata-kata berunding, hati mereka tertarik. Hati-hati
mereka menajamkan telinga dan berusaha menangkap tiap patah kata yang
terbersit dari mulut Pangeran Bumi Gede dan Sanjaya. Dalam pada itu Sanjaya
sudah duduk menghadap ayah angkatnya, la nampak bersungguh-sungguh dan
sinar matanya menyorotkan pandang cinta kasih tak terhingga. "Ayah hendak
berkata apa? Silakan!" katanya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar