11.28.2019

@bende mataram@ Bagian 293

@bende mataram@
Bagian 293


Meskipun demikian, kenangan itu senantiasa mengganggu benaknya. Teringat
bahwa Sangaji adalah murid Wirapati, tiba-tiba saja teringatlah dia pula
kepada Fatimah. Ia tahu Fatimah adalah adik Wirapati. Dengan dalih rindu
kepada sesama keluarga perguruan ia nekad berangkat ke luar kota seorang
diri. Sebagai seorang gadis yang sudah menghisap alam perguruan, tidaklah
dia sekukuh gadis-gadis golongannya yang teguh memegang adat keraton. Maka
dengan membawa cundrik pusaka perguruan, diam-diam ia berangkat ke luar
istana dengan tak memedulikan api peperangan yang mulai membakar tepi kota.
"Kau mencari seorang pemuda bernama Sangaji?" ia minta ketegasan. "Ya.
Apakah Nona kenal padanya?" seru Surapati setengah girang. Gusti Ayu
Retnaningsih hendak menjawab. Tiba-tiba sebuah kepala berwajah keriput
muncul di ambang pintu. Dialah Cocak Hijau yang jadi penasaran kena
dipermainkan hantu. Begitu melihat Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih,
cepat ia menarik kepalanya. Lantas berteriak menantang. "Hai, setan alas!
Kalau kau laki-laki, ayo bertempur di tengah matahari!" Surapati dan Gusti
Ayu Retnaningsih saling memandang dengan heran. Apakah orang itu bermaksud
menantang mereka? Kalau benar, apa alasannya. Dalam pada itu Titisari
mencubit Sangaji sambil berkata perlahan. "Dia datang lagi. Hebat ini
nanti." Sangaji melemparkan pandang ke pintu. Pikirnya kalau sampai
bergebrak—terang sekali Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih bukanlah
tandingnya Cocak Hijau. Memikirkan demikian, diam-diam ia berdoa semoga
mereka berdua cepat-cepat mengangkat kaki. Memang Cocak Hijau benar-benar
lagi penasaran. Tadi ia lari mendahului, tatkala melihat hantu muncul di
samping kamar atas. Setelah menimbang-nimbang, ia memutuskan balik kembali.
Dasar hatinya keras dan bera-ngasan. Ia tak sudi kena dipermainkan begitu
murah. Maka tanpa memberi tahu Ma-nyarsewu ia kembali seorang diri ke
benteng. Pikirnya, biasanya setan atau hantu atau iblis, berkeliaran di
malam hari. Apa sebab mendadak muncul pula di siang hari bolong. Coba
kulihatnya. Dengan hati mantap ia memasuki halaman. Lalu mengintip dari
luar dinding. Ia melihat Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih lagi duduk
berhadap-hadapan dan sedang meng-adakan pembicaraan. Pikirnya, aneh!
Masakan gadis lumrah? Dia terlalu cantik. Tak mungkin seorang gadis desa
yang secara kebetulan memasuki benteng. Hm... jangan-jangan mereka ini
penjelmaan setan. Hih! Memperoleh pertimbangan demikian, ia bersiap-siap.
Lalu menantang dari luar. Dalam pada itu Surapati dan Retnaningsih masih
saja heran bercampur geli. Lambat laun seperti berjanji, mereka merasa lagi
menghadapi seorang yang kurang waras otaknya. Cocak Hijau mengulangi
tantangannya sam-pai tujuh delapan kali. Tapi tetap saja, ia tak memperoleh
jawaban. Baik setan pria dan iblis perempuannya tak menggubrisnya. Ia jadi
lebih yakin, bahwa setan memang tak berani berkelahi di tengah matahari.
Karena itu, hatinya kian menjadi besar. Keberaniannya sebagai pendekar
sekaligus timbul lagi. Namun demikian untuk nekad menyerbu memasuki ruangan
dalam, ia masih berbim-bang-bimbang. Mendadak saja teringatlah dia kepada
batu. Pikirnya, coba biar kulempari batu. Ingin kutahu, apakah setan-setan
tak takut kepada batu. Begitu memperoleh keputusan, terus saja ia mencari
batu-batu dan ditumpuknya menjadi sebuah onggokan. Kemudian mulailah dia
bekerja. Dengan berjingkit-jingkit ia mengintip lagi. Dilihatnya kedua
setan itu masih saja duduk dengan berdiam diri. Hatinya jadi panas, karena
merasa terhina. "Bagus keberanianmu memang hebat! Tapi rasakan kini
timpukan tuanmu ini!" Terus saja ia menyinsingkan lengan bajunya dan
menyambitkan empat batu sekaligus. Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih kian
tercengang mendengar ucapan Cocak Hijau. Tak ragu-ragu lagi mereka mengira
sedang berhadapan dengan orang edan benar-benar. Belum lagi ia memutuskan
sikap, mendadak saja empat batu menyambar bagaikan anak panah. Untung, hati
Cocak Hijau masih bercampur jeri. Karena itu sambitannya tak tepat.
Meskipun demikian mendesingnya empat batu itu mengejutkan mereka. Serentak
mereka meloncat bertebaran. Surapati ke kiri dan Gusti Ayu Retnaningsih ke
kanan. Sebaliknya, Cocak Hijau heran karena sam-bitannya tak mengenai
sasarannya. Sebagai seorang pendekar biasanya ia mengandalkan kepandaiannya
sendiri. Selama hidupnya belum pernah sambitannya luput dari sasarannya.
Itulah sebabnya ia bertambah yakin lagi berhadapan dengan setan yang pandai
menghilang. Gugup ia berpikir: O ya... dahulu aku pernah mendengar bahwa
setan perempuan lebih jahat daripada setan laki-laki. Biarlah yang
perempuan dahulu kuremukan kepalanya. Dan setelah berpikir demikian terus
saja ia menimpuk ke arah Gusti Ayu Retnaningsih. Keruan saja Gusti Ayu
Retnaningsih terkejut setengah mati. Inilah pengalamannya untuk yang
pertama kalinya, ia diserang seseorang tanpa mengerti kesalahannya. Dalam
kagetnya ia melompat menghindarinya. Surapati lebih cepat lagi. Tatkala
melihat ancaman bahaya, dengan gesit ia menjejak tanah dan menangkis batu
itu dengan pedangnya. Seketika itu juga terbersitlah letikan api menusuk
udara. "Setan alas! Nah, pulanglah ke asalmu!" teriak Cocak Hijau. Setelah
berteriak demikian, mendadak saja ia melompat masuk dan menyerbu dengan
pedangnya pula. "Hayo! Hayo! Pulang ke asal-mu! Pulang ke asalmu!" Mulutnya
berkaok-kaok. Cocak Hijau adalah seorang pendekar beradat berangasan dan
sembrono. Meskipun demikian ilmunya tinggi. Sebagai seorang pendekar yang
berkedudukan di Gresik, belum pernah ia dikalahkan. Hanya sekali ia pernah
bertempur sama kuat dengan Manyarsewu. Karena itu tikamannya hebat. Gerakan
tangannya menimbulkan kesiur angin. Surapati dan Gusti Ayu Retnaningsih
bertambah heran. Melihat gerakannya yang hebat, kini mereka sadar sedang
berhadapan dengan seorang pendekar yang kurang waras otaknya. Tak berani
ayal lagi, Surapati terus saja menyongsong tikaman itu dengan pedangnya.
Lalu membentak, "Jahanam! Kau siapa?" Tapi Cocak Hijau tak menggubris
per-tanyaannya. Dalam hatinya ia takut kena semprot ilmu siluman si setan.
Terus saja ia menikam lagi dan menikam lagi. Dengan terpaksa Surapati
membela diri. Sebat luar biasa ia menangkis serangan itu lagi tiga kali
berun-tun-runtun. Melihat cara menangkisnya Cocak Hijau jadi lega hati.
Terang sekali, setan kali ini bukanlah setan semalam. Ilmunya tidak begitu
tinggi. Karena itu, kini ia mau berbicara dan tak takut kepada bahaya ilmu
silumannya. "Hai, setan alas! Kau kepengin mendengar namaku? Siapa sudi?
Aku tidak begitu goblok sampai kau mau mengecohku. Coba kalau aku sampai
memperkenalkan, bukankah engkau akan datang memusuhi pada malam hari gelap
gulita dengan ilmu silumanmu? Huuh... kentutmu!" Dengan mengerahkan
tenaganya, ia memutar pedangnya cepat sekali bagai kitiran. Kemudian
merangsak dengan cepat dan berani. Surapati segera saja jatuh di bawah
angin. Selangkah demi selangkah ia terdesak sampai nyaris memepet dinding.
Cocak Hijau jadi girang. Dengan hati lapang ia memutar pe-dangnya dan
bergerak hendak menusuk. Teta-pi Surapati bukanlah murid seorang pendekar
murahan. Melihat bahaya ia tidak menjadi gugup. Terus saja ia memiringkan
tubuhnya. Dan ujung pedang Cocak Hijau menancap ke dinding keropos sampai
jadi berguguran. Setelah itu sebat Surapati menghajar lengan Cocak Hijau
sebelum pedangnya sempat dicabut. Tetapi Cocak Hijau benar-benar seorang
pendekar gagah pula. Dengan matanya yang awas ia melihat gerakan lawan.
Terus saja ia mengangkat kakinya dan menyongsong sabetan itu dengan
tumitnya. Tepat tangkisannya. Tangan Surapati kena dilemparkan ke samping.
Dan belum lagi bersiaga, Cocak Hijau sudah mencabut pedangnya dan
melancarkan serangannya kembali. Gusti Ayu Retnaningsih melihat bahaya.
Terdorong rasa senasib, mendadak saja ia mengangkat kursi dan melemparkan
dengan sebat. Dengan demikian, batallah serangan Cocak Hijau. "Terima kasih
Nona, " kata Surapati. Dalam hatinya ia kagum kepada kelincahan puteri itu
yang nampak halus gerak-geriknya. Dalam pada itu, Cocak Hijau mulai
menye-rang lagi. Tatkala ujung pedangnya menusuk dada, pedang Surapati
menangkis. Hebat kesudahannya. Keras melawan keras. Telapak tangan Cocak
Hiaju sampai merasa panas dan agak nyeri. "Bagus! Tenagamu benar-benar
tenaga setan!" teriak Cocak Hijau bergusar. "Sekarang terimalah seranganku
ini!" Dengan menggerung ia mengibaskan pedangnya. Lalu dengan sebat menusuk
perut tiga kali beruntun. Surapati terkejut. Ia meloncat mundur em-pat
langkah sambil berteriak, "Nanti dulu! Agaknya ilmumu hampir sejalan dengan
ilmu Manyarsewu. Apakah kau teman seperguru-annya?" Cocak Hijau terhenyak
sejenak mendengar teriakan Surapati. Tapi sebentar lagi, ia sadar kembali.
Membentak, "Kau setan alas! Tentu saja kau kenal saudaraku Manyarsewu!"
Sadarlah Surapati, bahwa ia lagi bertempur melawan salah seorang pendekar
lawan gurunya di Pekalongan. Karena itu, kini ia tidak ragu lagi. Terus
saja ia menggempur dengan hebat. Meskipun demikian, Surapati kalah
pengalaman. Sebentar kemudian, ia terdesak lagi sampai terpaksa
berputar-putar dari tempat ke tempat. Gusti Ayu Retnaningsih yang hanya
berdiri di luar gelanggang, lambat laun mencemaskan keadaan Surapati.
Menimbang bahwa diapun terancam bahaya, maka tanpa memedulikan akibatnya
terus saja ia mencabut cundriknya yang panjangnya setengah lengan. Lalu
berka-ta keras, "Saudara! Jangan takut! Aku akan membantumu!" Hampir
berbareng dengan pernyataannya, cundriknya telah menikam ke arah punggung
Cocak Hijau. Ia adalah murid Suryaningrat. Meskipun belum mewarisi
kepandaian guru-nya, tapi apabila dibandingkan dengan murid-murid pendekar
murahan tak usah dia merasa kalah.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar