11.26.2019

@bende mataram@ Bagian 291

@bende mataram@
Bagian 291


Karena itu tak sempat menjawab bisikan Titisari. Melihat Sangaji tak
menaruh perhatian, Titisari melemparkan pandangan-nya kembali kepada Gusti
Ayu Retnaningsih dengan kepala penuh teka-teki. Tatkala itu, masuklah
Fatimah dari pintu belakang. Begitu melihat Gusti Ayu Retna-ningsih, lantas
saja berlarian kemudian memeluk erat. "Retnaningsih! Kau begini sudah
besar!" serunya girang. Gusti Ayu Retnaningsih tak kurang-kurang pula
girangnya. Hanya saja dalam kegirangan-nya pandangannya sayu melihat
keadaan Fatimah. Rasa heran Titisari kian meningkat. Pikirnya, siapa sih
sebenarnya Fatimah ini? Nampaknya dia begitu akrab dengan anak ningrat itu.
Kebetulan sekali, sewaktu itu Sangaji sudah mulai menarik tenaga
hisapannya. Setelah mengatur tata napasnya, perlahan-lahan matanya terbuka.
Terus saja ia mengarahkan pandangannya ke bawah sana dan melihat pertemuan
mesra antara Fatimah dan Gusti Ayu Retnaningsih. "Kau masih belum juga
bersedia keluar dari sini?" kata Gusti Ayu Retnaningsih menegas. Fatimah
melepaskan pelukannya sambil menggelengkan kepala. Sejenak kemudian
menyahut. "Selama dia sendiri tidak membawa aku... aku akan tetap menunggu
di sini." Gusti Ayu Retnaningsih menghela napas, la duduk di atas kursi
sambil terus merenungi Fatimah. "Baiklah kuwartakan kepadamu," la berkata
lembut. "Kakakmu sebenarnya sudah datang dari perantauan." Mendengar
kata-kata Gusti Ayu Retna-ningsih, Fatimah nampak kaget sampai tersentak.
Matanya berkilatan, kemudian maju satu langkah sambil berkata kurang yakin.
"Kalau benar-benar sudah datang, mengapa dia belum kemari? Bukankah dia
harus meninjau makam ayah bunda?" "Kau tak percaya?" Fatimah menggelengkan
kepala. Dan dengan sinar tajam Gusti Ayu Retnaningsih berusaha meyakinkan.
"Masakan kau tak mempercayai wartaku ini. Kapan aku pernah berbohong
padamu?" "Kau bohong atau tidak, apa peduliku? Manusia manakah di dunia ini
yang tak pernah membohong?" sahut Fatimah cepat. Rupanya wataknya yang
angin-anginan akan kumat. Sebaliknya Titisari dan Sangaji jadi
tercengang-cengang. Mereka tahu Gusti Ayu Retnaningsih adalah puteri
bangsawan. Tapi Fatimah begitu enak saja membawa adatnya. Padahal kesan
dirinya tak melebihi seorang dayang belaka, meskipun memiliki beberapa
kelebihan sedikit. Apakah dia keturunan bangsawan juga? Sementara itu,
Gusti Ayu Retnaningsih nampak menghela napas lagi. Lalu berkata
tertekan-tekan, "Aku sendiri pernah bertemu dengan muridnya." "Muridnya?
Apakah dia mempunyai murid?" "Hm, bukankah kepergiannya ke daerah barat
adalah untuk menyusui calon murid-nya?" jawab Gusti-Ayu Retnaningsih. Dan
mendengar jawaban itu, hati Sangaji memukul dengan keras. Meskipun masih
samar-samar, kata-kata itu terasa seperti lagi membicarakan dirinya.
"Siapa?" Fatimah menegas. "Namanya Sangaji. Apakah kau belum per-nah
mendengar wartanya dari guruku?" Bukan main terguncang hati Sangaji
mendengar pernyataan itu, meskipun hatinya tadi samar-samar sudah dapat
menebak. Terang sekali mereka lagi membicarakan gurunya Wirapati. Apakah
hubungannya antara gurunya dan Fatimah? Teringat akan keadaan gurunya pada
dewasa itu, hatinya lantas saja mengeluh. Tentu saja Titisari kembali
terkejut untuk kesekian kalinya. "Tenang! Tenang! Jangan kauturuti luapan
hatimu. Perlahan-lahan bukankah kita bisa menyelidiki?" Meskipun pandai,
pada saat itu dugaan Titisari hanya benar separuh. Ia mengira Sangaji
terharu karena Fatimah ternyata masih mempunyai hubungan dengan dia. Sama
sekali tak diduganya, bahwa kekasihnya pada saat itu lagi terkenang kepada
gurunya yang sedang menderita hebat di atas pem-baringan. "Siapa? Sangaji?"
Fatimah menegas. Gusti Ayu Retnaningsih memanggut. Tak disadari sendiri
Fatimah lantas saja mendo-ngak ke atas. Mulutnya berkomat-kamit: "Ah!
Apakah benar siluman itu murid kakakku?" "Apakah kau pernah berjumpa?"
Gusti Ayu Retnaningsih kini berganti heran. Fatimah ragu-ragu. Pandangannya
belum beralih dari ruang atas. Dalam pada itu Sangaji dan Titisari yang
berada di ruang atas merasa seperti terpandang. Sekarang mereka baru
mengetahui dengan jelas, apa sebab Fatimah bisa menggunakan jurus Wirapati.
Ternyata gadis itu adalah adik Wirapati. Soalnya kini, kapan Wirapati
mengajari jurus itu kepadaya? Sejenak kemudian, pandang Fatimah runtuh ke
tanah. Perlahan-lahan ia memutar tubuhnya menghadap Gusti Ayu Retnaningsih,
lalu berkata setengah berbisik, "Ya—aku pernah bertemu dan memukulnya
beberapa kali." Seperti air terluap dari bendungan. Gusti Ayu Retnaningsih
meloncat dari kursinya. Berseru girang. "Kau pernah bertemu? Di mana?"
Mendengar luapan suara Gusti Ayu Retnaningsih, Titisari mencubit paha
Sangaji. Waktu itu masa istirahat. Dengan demikian tangan kiri Titisari
bisa bergerak dengan merdeka. "Kau dicari! Turunlah! Bukankah suatu
pertemuan yang menggembirakan?" Merah muka Sangaji digoda demikian.
Buru-buru ia menangkis. "Sst! Bukankah perkenalanku bersama-sama dengan
engkau? Aku sudah berada di sampingmu. Meskipun malaikat sendiri yang
mencari, dengan aku berdiri." Mendengar jawaban Sangaji, bukan main lega
hatinya Titisari. Sinar matanya terus saja berkilat-kilat dan kepalanya
diletakkan di atas pundak kekasihnya. "Kau pernah bertemu di mana?" Gusti
Ayu Retnaningsih mengulangi pertanyaannya, karena melihat Fatimah tetap
membungkam. Fatimah hendak menjawab, mendadak saja batal sendiri. Ia
menyambar pergelangan ta-ngan gadis ningrat itu dan berkata penuh perasaan.
"Sebenarnya... aku ini adalah adik sepergu-ruanmu. Karena gurumu adalah
guruku. Aku mempunyai seorang kakak yang mesti bisa mengajar aku. Tapi ia
belum sempat bertemu denganku. Menurut Ibu... kakak adalah seorang pemuda
yang manis. Semenjak Ayah meninggal dunia, ia diambil anak angkat oleh
Eyang Guru. Aku ditinggal hidup seorang diri dengan Ibu sampai... sampai
Ibu meninggal dunia. Ibu pesan, aku tak boleh meninggalkan makam beliau
sebelum Kangmas Wirapati membawa aku pergi..." "Kau adalah adik
seperguruanku?" potong Gusti Ayu Retnaningsih. "Hm... benar... karena
engkau datang sesudah aku. Tapi dalam hal ilmu kepandaian... kau berada
jauh di atasku." "Siapa bilang? Guru kita jarang sekali singgah ke mari.
Aku seolah-olah dianggapnya tak pernah ada dalam dunia ini." "Ah, kau
terlalu perasa," sahut Gusti Ayu Retnaningsih. Kemudian mengalihkan
pem-bicaraan. "Bagaimana? Apakah kau belum mau meninggalkan tempat ini
untuk menemui kakakmu?" "Apakah Kakak sudi menerima aku?" Gusti Ayu
Retnaningsih berbimbang-bim-bang. Dan di atas sana Sangaji sedang menunggu
jawaban gadis ningrat itu, sekalian mendengar warta tentang gurunya.
Melihat sikap gadis ningrat itu, agaknya sudah menge-tahui bahwa gurunya
dalam keadaan luka parah. Teringat akan penderitaan dan cinta kasih
gurunya, hati Sangaji lesu. Tak disadari sendiri ia meraba-raba kantongnya.
"Kau mencari apa?" tanya Titisari. "Aku mempunyai obat pemunah racun yang
mengeram dalam tubuh guru dan obat penyembuhnya," jawab Sangaji pelahan.
"Kau mau mengambilkan?" ' "Dari mana kau peroleh?" Titsari heran. Sangaji
kemudian menceritakan dengan singkat asal mula diperolehnya obat pemunah
racun tersebut dari tangan Bagas Wilatikta. Mendengar keterangan itu,
Titisari bergembira. Terus saja ia mengeluarkan obat dari kantong Sangaji
dan diamat-amati. "Titisari, berjanjilah!" kata Sangaji dengan
sungguh-sungguh. "Tak peduli apa saja yang bakal terjadi, sudikah engkau
menyampaikan obat pemunah ini kepada Guru?" "Mengapa tak kau sendiri?"
"Siapa tahu... siapa tahu... barangkali aku... belum tentu selamat dari
sini, mengingat banyaknya bahaya yang mengancam..." Sangaji tersekat-sekat.
"Hm... kalau kau mati, masakan aku akan hidup terus?" potong Titisari
dengan suara bergemetaran. Dan Sangaji jadi terharu bukan main. Kepalanya
menunduk ke ruang bawah. "Apakah Kakak sudi menerima aku?" Fatimah
terdengar menegas. "Tentu... tentu..." jawab Gusti Ayu Retna-ningsih
berbimbang-bimbang. "Soalnya... soalnya." "Soalnya bagaimana?" Gusti Ayu
Retnaningsih hendak menyam-paikan keadaan diri Wirapati, tetapi ia sadar
akibat warta buruk itu. Tatkala mulutnya hen-dak bergerak, mendadak di jauh
sana terde-ngar suara langkah. Fatimah terkejut. Cepat ia lari ke pintu dan
melongok ke luar halaman. "Hai! Apakah itu pengiring-pengiringmu?" seru
Fatimah. Gusti Ayu Retnaningsih lari pula ke ambang pintu dan menjenguk ke
luar. Ia melihat serombongan pasukan berkuda mengiringkan seorang pemuda
berbaju putih dengan takzim. Wajahnya lantas saja berubah. Ternyata dia
adalah tunangannya. Pangeran Ontowirjo. "Sst! Fatimah!" bisik Gusti Ayu
Retnaningsih gugup, "apakah engkau bisa menyediakan sekedar makanan dan
minuman?" Fatimah tercengang. "Untuk siapa? Dia?" Gusti Ayu Retnaningsih
mengangguk. "Eh... dia?" Fatimah menegas lagi. "Apakah engkau kenal
padanya?" Gusti Ayu Retnaningsih menundukan ke-pala. Raut mukanya bersemu
dadu. Menyahut tak jelas. "Kalau tiada halangan... dialah bakal ipar-mu."
Mendengar pernyataan Gusti Ayu Retna-ningsih, Fatimah terperanjat seperti
tersengat lebah. Dasar wataknya angin-anginan, lantas saja ia melompat
memeluk tiang. "Bagus?" serunya girang. "Aku bakal mem-punyai ipar. Hanya
saja tak dapat aku menye-diakan makanan dan minuman yang layak. Eh... siapa
namanya?" "Pangeran Ontowiryo. Mengapa?" Kembali Fatimah terkejut sampai
sejenak terhenyak. Maklumlah, hampir rakyat seluruh wilayah kerajaan tahu
akan sepak terjang Pangeran Ontowiryo yang kerap kali me-mimpin laskar
memusnahkan perusuh-pe-rusuh negeri. Namanya termasyhur dan men-jadi pujaan
penduduk. "Kau benar-benar kejatuhan wahyu!" seru Fatimah lagi. Kemudian
lari ke ruang belakang dengan sekencang-kencangnya sambil berka-ta,
"Biarlah kucarikan dulu air kali dan batu-batu." "Batu-batu? Untuk apa?"
Gusti Ayu Retnaningsih minta penjelasan. "Biar dia belajar menggerogoti
batu-batu?" jawab Fatimah. Meskipun ada hubungan keluarga perguru-an,
agaknya Gusti Ayu Retnaningsih belum kenal watak Fatimah yang
angin-anginan. Itulah sebabnya, begitu mendengar jawaban Fatimah, ia
berdiri tegak terlongong-longong dengan kepala menebak-nebak. Sebaliknya
Titisari dan Sangaji yang berada di ruang atas, mau tak mau tersenyum geli
menyaksikan adegan itu. "Gadis itu benar-bebar gendeng?" gerutu Titisari
perlahan.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar