11.18.2019

@bende mataram@ Bagian 282

@bende mataram@
Bagian 282


Jangan lagi kena pukulan, andaikata tersentuh tangan saja bisa mengancam
nyawanya. Karena itu dengan cepat ia meraup biji-biji sawonya yang tertebar
disekitarnya, pikirnya, asal gadis itu berani menyentuh kempungannya,
segera ia akan menimpuknya sampai pingsan. Syukurlah gadis itu hanya
menggertak bela-ka. Tatkala melihat air muka Sangaji berubah hebat, ia
berkata mengejek. "Nah tuuu... baru digertak saja, kau sudah ketakutan
setengah mati. Karena itu, jangan-lah senang mengolok-olok orang." "Sama
sekali aku tak mengolok-olokmu. Apabila aku mengolok-olokmu, biarlah aku
rebah begini saja seumur hidupku," sahut Sangaji sungguh-sungguh. Gadis itu
melemparkan pengailnya. Kemu-dian dengan tertawa duduk disamping Sangaji.
"Kau bilang...engkau lagi terkenang ibumu. Apakah ibumu mirip aku?" "Sudah
barang tentu engkau jauh lebih cantik," jawab Sangaji. Selama hidupnya,
belum pernah Sangaji bersikap mengambil-ambil hati. Tapi menghadapi seorang
gadis yang nampak angin-anginan ini, ia tak mau kena sengsara, la khawatir
gadis itu akan menghantam kempungannya benar-benar. Kecuali itu dalam
kesepian ia membutuhkan seorang teman. Apabila sampai menyakiti hatinya,
pastilah dia akan pergi meninggalkan di tengah-tengah mayat-mayat
berserakan. Kalau sampai tiga empat hari berada di tengah mayat-mayat dalam
udara panas, bukankah penciumannya akan terganggu hebat? Maka setelah
berkata demikian, ia meneruskan, "tapi sikapmu yang begini baik benar-benar
mengingatkan aku kepadanya." "Kau begitu pasti?" Sangaji memandang wajahnya
dan meng-angguk dangan yakin. "Ih! Kenapa kau memandang aku? Apakah aku
cantik?" tegur gadis itu. Dan oleh teguran itu, Sangaji jadi tertegun. Dia
adalah seorang pemuda yang polos dan berhati sederhana. Selama hidupnya
belum pernah ia mengkhia-nati ucapan hatinya sendiri. Dalam hatinya, ia
hanya mempunyai seorang gadis yang dianggapnya benar-benar cantik melebihi
segala. Yakni, Titisari. Apabila menganggap seorang gadis lain cantik pula,
bukanlah sudah berarti mengkhianati diri? Karena itu, ia menjadi gugup.
Sulit ia menjawab. "A... aaaku tak mengerti. Aku memandang padamu. Karena
engkau begini baik terhadap-ku. Entah kenapa, hatiku jadi tenteram, lega
dan senang." Mendadak gadis itu tertawa panjang. "Kau salah duga. Aku
justru seorang perem-puan yang jahat. Apa itu kebaikan? Justru aku mau
memusuhi tiap laki-laki." Setelah berkata demikian dengan tangkas ia
berdiri. Kemudian menendang pinggang Sangaji dua kali dan terus melompat
lari meninggalkan lapangan. Dua tendangan itu terjadi dengan
seko-nyong-konyong. Tendangannya tepat pula mengenai pinggang. Seketika itu
juga, Sangaji menjerit tinggi dan jatuh pingsan tak sadarkan diri. Kurang
lebih satu jam kemudian, ia tersadar kembali. Napasnya terasa makin sesak
dan tenaganya seperti terlolosi. Teringat akan gadis itu, ia menghela
napas. Anehnya, meskipun disakiti hatinya tak menyesali. Lama sekali ia
merenungi dan mencoba menimbang-nimbang. Apa sebab dia menyakiti aku,
justru sewaktu aku memuji kebaikan hatinya? Rupanya ia lagi menaruh dendam
dan begitu melihat diriku segera ia menumpahkan. Barangkali akulah yang
lagi sial. Tak sengaja ia menyiratkan pandang kepa-da mayat-mayat yang kini
mulai dikerumuni lalat. Meskipun tak gentar menghadapi segala, tak urung
hatinya risih juga menyaksikan pemandangan demikian. Segera ia melem-parkan
pandang ke tengah udara yang lapang dan cerah. Teringat akan gadis aneh
tadi, mendadak saja ia mengharap-harap munculnya lagi. Tapi mengingat
sepak-terjangnya, ia khawatir kena siksanya. Dua jam lagi ia menggeletak
tanpa bisa berkutik. Tatkala matahari hampir tenggelam, mendadak saja panca
indranya yang tajam mendengar bunyi bergeritan. Tak ragu lagi, pastilah
bunyi roda geledek. Dugaanya benar juga. Tak lama kemudian, gadis aneh tadi
datang kembali dengan menyeret gerobak kecil yang sering dipergunakan para
petani sebagai alat pengangkut kayu atau jerami. Biasanya gerobak demikian
ditarik oleh anak lembu atau kambing jantan. "Hai! Apakah ibumu pernah
menarik gerobak semacam aku begini?" Tegur gadis itu dengan
sekonyong-konyong. Teringat akan pengalamannya, tak berani Sangaji menjawab
sembarangan terhadap gadis itu yang sok angin-anginan itu. Gntung, sebelum
menjawab, gadis itu lantas saja jadi sibuk, la mengeluarkan sebungkus nasi,
seli-rang pisang dan setempurung air minum. "Hai siulman! Kau belum mati?"
Tegurnya lagi. "Sudah mati separoh," jawab Sangaji bergu-rau. Tadi ia sudah
mengambil keputusan hen-dak bersikap tak sungguh-sungguh saja ter-hadap
gadis itu. Dengan tersenyum simpul gadis itu duduk disampingnya sambil
membawa bungkusan makanan. Selagi menaruh semuanya itu diatas tanah,
mendadak saja terus menendang pinggang Sangaji lagi sambil bertanya,
"Bagian manakah yang belum mati?" Keruan saja Sangaji terkejut setengah
mati. Sebat ia melindungi pinggangnya. Meskipun demikian, tak urung masih
terasa sakit juga. Dengan menggigit bibir, ia berkata minta pen-jelasan.
"Kenapa kau senang menyakiti orang." "Kau sendirilah yang minta gebuk.
Masakan kau bilang mati separuh. Sedangkan nyawamu masih utuh? Bukankah
engkau belajar berbohong?" Benar-benar Sangaji merasa mati kutu. Hendak
bersikap sungguh-sungguh gadis itu berwatak angin-anginan. Kini bersikap
main-main, salah juga. Seperti orang putus asa, lantas menyahut, "Tadi
engkau telah menggebuk aku sampai pingsan tanpa perkara. Meskipun demikian,
aku selalu mengharapkan kedatanganmu. Kini engkau hendak menyakiti aku
lagi. Mengapa?" "Karena tiap laki-laki adalah busuk!" Bentak gadis itu. Dan
setelah berkata demikian, terus saja mengamuk. Bungkusan nasi, air minum
dan selirang pisang yang dibawanya mendadak dibantingnya dan diinjak-injak
sampai terpencet masuk dalam tanah. Sangaji jadi melongo melihat sepak
ter-jangnya. Kesan mukanya begitu berduka, gusar, dengki dan penuh sesal.
Apakah gadis ini mempunyai penderitaan hebat begitu rupa, ia menduga-duga.
Teringat akan perjalanan hidup keluarganya dimasa kanak-kanak, tak terasa
Sangaji menjadi perasa. Hatinya kian tertarik. Dengan setulus-tulusnya hati
nuraninya tergerak. "Apakah sebab kamu begini pemarah?" "Aku pemarah atau
tidak, apa pedulimu?" damprat gadis itu. Sangaji menundukkan kepala.
Mendadak saja gadis itu terus saja duduk menumprah di-sampingnya. Kemudian
menangis sedu-sedan. Melihat gadis itu menangis, timbulah ke-beranian
Sangaji untuk mencoba berbicara lagi. Katanya lemah lembut, "Siapakah yang
menghina dirimu? Katakanlah! Manakala aku telah sembuh kembali, biarlah aku
memba-laskan hatimu." Agaknya ucapan Sangji kena benar. Tangis si gadis
kian menaik. Beberapa saat kemudian gadis itu berkata, "Setiap orang berhak
berjuang untuk memperoleh kebahagiaan. Karena itu, tiada seorang pun di
dunia ini yang menghina diriku. Hanya saja, nasibkulah yang buruk...
sehingga setiap saat selalu saja aku mengenangkan seseorang." "E-hem.
Pastilah dia seorang Pemuda gagah. Apa sebab bersikap begitu bengis
kepadamu." "Dia bukan lagi seorang pemuda. Meskipun ngganteng dan gagah,
namun gadis-gadisnya terlalu banyak," sahut gadis itu dengan mene-gakkan
kepala. Kemudian menunduk sambil meneruskan, "inilah kebodohanku, mengapa
aku mengharapkan yang bukan-bukan dari-padanya. Aku minta dia hidup bersama
untuk selama-lamanya dan hanya untukku. Karena itu, dia menghajar aku
beberapa kali. Aku dicacinya pula... dihina dan ditinggalkan." "Ah, mengapa
begitu kasar?" Sangaji tercengang. "Jika demikian, tiada gunanya kau
kenangkan lagi. Enyahkan saja bayangannya dari benakmu." "Mengurai adalah
gampang. Akupun dapat menasehati setiap orang untuk memilih jalan yang
paling bagus. Tapi justru... aku tak dapat meninggalkan bayangannya.
Karena... kare-na..." gadis itu tak menyelesaikan kata-katanya, la mulai
menangis lagi. Sangaji saat itu lagi memasuki gelombang asmara juga. Hanya
saja soalnya lain. Titisari baginya adalah seorang gadis yang
meng-gairahkan hatinya. Diapun membalas cintanya. Inilah namanya cinta
kasih timbal balik. Maka diam-diam ia berpikir dalam hati, meskipun masih
terdapat rintangan, namun keadaanku dan Titisari masih jauh beruntung dari
dia. Wajah dan perawakan gadis ini bukan buruk. Kesannya hampir seimbang
dengan Nuraini. Apa sebab pemudanya bisa berlaku ganas dan bengis
kepadanya? Mendadak saja teringatlah dia kepada Sanjaya yang memperlakukan
Nuraini demi-kian juga. Teringat akan hai itu, perlahan-lahan ia berkata
hati-hati. "Cinta asmara sesungguhnya tak dapat dipaksakan." "Hai! Apakah
engkau juga pernah terlibat dalam soal cinta asmara?" Gadis itu
ter-cengang. Dan sekaligus hilanglah tangisnya. "Ya, bahkan aku lagi
mulai," sahut Sangaji meyakinkan. Kemudian mencoba membesar-kan hati.
"Pemuda itu hanya menyakitkan hatimu belaka. Tapi pengalamanku lebih hebat
darimu." "Kenapa?" Mendadak saja gadis itu melon-cat berdiri. Dan
pandangnya berapi-api mem-benci segala. Sangaji terkejut melihat perubahan
itu. Teringat akan sepak terjang si gadis yang sok angin-anginan, hati-hati
ia melanjutkan, "Aku dan dia sudah setuju. Sudah kulampui pula ujian-ujian
yang diwajibkan. Mendadak saja, ayahnya berubah haluan. Gadisku disekapnya
dan dibawanya lari..." "Ih! Bukankah engkau bisa bersama-sama minggat? Ayah
bunda sesungguhnya hanya sebagai perantara belaka. Kita semuanya ini Sana
yang mempunyai. Meskipun ayah bunda mengutukmu, tapi kalian benar-benar
saling mencintai... akan buyarlah tenaga kutuk itu. Sebab yang mengadakan
cinta kasih itu bukan ayah bunda. Tapi Sana!" Hebat kata-kata gadis itu
sampai Sangaji terkejut bercampur heran. Melihat usia si gadis, hati
Sangaji geli. Karena kata-kata demikian tidaklah pantas diucapkan oleh
seorang gadis remaja seusia dia. Tapi kata-katanya penuh letupan yang
mengandung kebenaran juga. Diam-diam dia berpikir, gadis ini benar-benar
menderita sampai bisa mempunyai pengucapan begitu hebat. Meskipun
mengandung kebenaran, kesannya liar juga. Apabila dibenarkan... bukankah
akan meracuni jiwanya?" Memperoleh pertimbangan demikian, Sa-ngaji terus
berkata seperti guru. "Menurut tutur-tutur kata Guru, justru sadar bahwa
semuanya ini yang mempunyai adalah Sana, maka aku bersikap tawar.
Kuserahkan dia kepada Sana, biar sana sendiri yang menyele-saikan." Sengaja
Sangaji menirukan istilah Sana, agar tak menyinggung perasaannya.


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar