@bende mataram@
Bagian 264
Waktu itu, Adipati Surengpati telah menge-luarkan seberkas kertas dari
dalam sakunya. Ternyata berkas kertas itu adalah sebuah kitab kuna yang
berkulit merah. Begitu kitab itu diperlihatkan kepada sang Dewaresi dan
Sangaji, lantas dia berkata nyaring.
"Lihat! Buku ini bernama Witaradya. Dalam buku ini terisi 1.500 gurindam
syair sakti. Almarhum isteriku dahulu memberikan kitab ini kepadaku sebagai
hadiah perkawinan. Oleh bantuannya dan ketekunanku, berhasilah aku menggali
sarwa saktinya, sampai aku bisa memiliki 327 jurus pokok. Sayang, belum
lagi aku berhasil menelaah semuanya... sebagian besar kena dicuri muridku ..."
Ia berhenti sebentar. Kedua matanya nampak merah membara. Raut mukanya lalu
berubah menjadi sedih. Rupanya terkenanglah dia kepada almarhumah istrinya.
Tatkala menoleh kepada Gagak Seta, ia melihat pendekar itu tersenyum.
Seketika itu juga, terbangunlah semangat jantannya. Lalu berkata dengan
lantang.
"Isteriku menganggap buku ini sebagai jiwanya sendiri. Tatkala sebagian
besar ha-lamannya kena tercuri muridku, ia jatuh sakit, la tak pernah
menyalahkan aku apa sebab aku menerima murid durhaka itu. Tapi aku tahu,
dia meninggal dunia dengan hati penasaran. Semenjak itu, aku berusaha
mengingat-ingat semua isinya gurindam yang sudah kusim-pulkan menjadi 327
jurus pokok. Maksudku, aku hendak memperlengkapi isi gurindam yang hilang
sebagai pengganti halaman-halaman yang hilang. Sayang, ingatanku tidaklah
sebaik masa muda. Banyak di antara jurus pokokku yang hilang atau menjadi
samar-samar. Sekarang aku akan mempertontonkan semua jurus yang pernah
kuperoleh dari buku ini. Siapa di antara kamu berdua, bisa menghafal
sehingga dapat menirukan jurus-jurusnya lebih banyak, akan kuanggap sebagai
cara berbakti kepada ibu Titisari. Karena itu, aku akan menganggap sebagai
pemenang. Dengan begitu, habislah kewajibanku merawat anakku
satu-satunya... dan selanjutnya dia akan kuserahkan kepada pemenang ujian
terakhir ini..."
Sampai di sini, habislah sudah kesabaran Gagak Seta. Ia tahu, otak Sangaji
sangat bebal menerima ajaran dengan selintasan. Tadi dia masih bisa
tersenyum melihat lagak lagu Adipati Surengpati. Tapi kini, tidak.
Sekaligus meledaklah suaranya. "Surengpati manusia siluman! Siapa sudi
mendengarkan obrolanmu tentang buku, tentang isteri, tentang mati penasaran
segala. Terang kau tahu, muridku ini seorang tolol. Jangan lagi disuruh
menghafalkan ilmu surat... untuk mengerti saja akan membutuhkan waktu
berbulan-bulan lamanya. Kalau tadi bisa melampaui ujianmu yang kedua,
sudahlah beruntung, ltupun kau anggap tak berarti, sehingga kauumumkan sama
kuat. Kini dia kau gertak dengan syarat-syarat gila. Dan nama isterimu kau
bawa-bawa pula. Hm...sungguh! Sungguh kau manusia siluman yang mau menang
sendiri..."
Setelah berkata demikian, Gagak Seta terus saja memutar tubuh hendak
meninggalkan galanggang.
Adipati Surengpati tertawa dingin melihat sikap Gagak Seta. Sama sekali
hatinya tak gentar. Lantas berkata nyaring, "Saudara Gagak Seta! Kau
sengaja bertemu dengan aku di sini. Mestinya untuk mencoba ketang-guhanku,
kau harus belajar lagi sepuluh tahun lagi!"
Gagak Seta berputar cepat menghadap padanya. Kedua alisnya tegak dan
matanya jadi beringas.
"Kau bilang apa?" bentaknya.
"Sama sekali kau tak mengerti ilmu Witaradya yang dapat memberi petunjuk
saat-saat naasnya seseorang pada jam-jam tertentu. Masakan kau bisa
memenangkan aku?"
"Aku akan bertempur dengan membawa obor. Seluruh gelanggang ini akan
kubakar. Ingin aku melihat, kau bisa melakukan apa terhadapku."
"Heh! Jika engkau mempunyai keberanian dan kepandaian demikian, cobalah!"
gertak Adipati
Surengpati.
Melihat kedua pendekar itu hendak bertem-pur, cepat-cepat Sangaji
menengahi. Katanya agak gugup, "Gusti Adipati! Paman Gagak Seta! Biarlah
aku mencoba-coba bersama sang Dewaresi. Aku tak takut kepada kegagalan.
Bila Titisari memang jodohku, masakan yang mempunyai jagat ini tidak
mencarikan jalan bagiku. Sebaliknya, seumpama aku kalah... memang nasibku
yang kurang mujur. Apa perlu disesalkan lagi?"
Adipati Surengpati melototi Sangaji. Membentak, "Kau memanggil apa terhadap
gurumu?"
"Paman Gagak Seta adalah guruku. Waktu itu aku belum minta izin kepada
kedua guruku yang pertama. Karena itu, belum berani aku memanggilnya guru.
Saat ini, aku telah mem-peroleh izin. Hanya belum sempat mem-bicarakan
dengan resmi. Itulah sebabnya, aku masih memanggilnya paman."
"Hai! Peraturan macam apakah ini?" sahut Adipati Surengpati sebal. Ia
memang paling benci terhadap semua peraturan yang berbe-lit-belit. Adat
istiadat dan tata pergaulan umum, tak juga disukai. Sedangkan dia terkenal
sebagai seorang pendekar yang luas pengetahuannya. Karena sifatnya yang
aneh itu, ia memperoleh julukan siluman liar.
"Bagus!" tiba-tiba Gagak Seta berkata nyaring. "Saat ini aku belum
terhitung gurumu secara resmi. Kalau kau sudi menelaah malu dan dihina
orang, terserah. Nah, silakan! Aku tak berkata lagi!"
Mendengar keputusan Gagak Seta, legalah Adipati Surengpati. Terus saja ia
menoleh kepada Titisari.
"Kau duduklah tenang-tenang dan jangan usilan!"
Ia tahu, hati anaknya berkiblat kepada Sangaji. Sedangkan maksudnya hendak
membantu sang Dewaresi. Apalagi, tadi ia kena bentrok dengan Gagak Seta.
Tak mengherankan ia telah memperoleh sikap tertentu.
Titisari tak menyahut, la hanya tersenyum dingin. Tetapi hatinya sibuk
bekerja, ia tahu, kali ini Sangaji pasti kalah. Karena itu, ia mengasah
otak hendak mencari jalan kabur bersama kekasihnya entah ke mana. Dengan
bantuan Gagak Seta, agaknya rencana itu bisa diharapkan.
Adipati Surengpati kemudian memberi pe-rintah kepada sang Dewaresi dan
Sangaji agar memperhatikan dengan seksama. Kemudian, ia mulai
mempertunjukkan jurus-jurus pokok ilmu sakti Witaradya. Sengaja ia
melakukan dengan perlahan-lahan. Maksudnya agar kedua pemuda itu memperoleh
kesempatan untuk menghafalkan dan memahami. Terhadap Kebo Bangah dan Gagak
Seta, ia tak usah khawatir kena jiplak. Sebab, meskipun andaikata kedua
pendekar itu dapat menghafalkan jurus-jurusnya, intinya tak mungkin dapat
diketemukan dalam waktu singkat. Sebab apa yang diperlihatkan hanyalah
kem-bangan-kembangan lahiriah. Sedangkan rahasia kesaktiannya masih
samar-samar. Pikirnya, jangan lagi engkau. Aku sendiri yang sudah menekuni
selama sepuluh tahun lebih, belum juga dapat menemukan. Karena...
bagian besar sambungannya telah tercuri...
Terkesiap hati Sangaji, tatkala melihat gaya Adipati Surengpati melakukan
jurus-jurusnya. Gerak-geriknya, bagaikan Kyai Kasan Kesambi dahulu sewaktu
menulis corat-coret di udara.
Mungkinkah ilmu ciptaan Eyang Guru ada hubungannya dengan ilmu sakti
Witaradya milik Adipati Surengpati? Ah, mustahil! Tapi mengapa hampir
bersamaan? pikirnya sibuk. Apakah Eyang Guru telah menemukan bagian kitab
Witaradya yang hilang? Ah, mustahil! Pringgasakti adalah lawan utama Eyang
Guru. Iblis itu berguru kepada Adipati Surengpati, karena ingin mengalahkan
Eyang Guru. Masakan, kitab itu diserahkan dengan begitu saja kepada Eyang
Guru? Segoblok-go-bloknya orang atau selalai-lalainya orang tidak bakal
membiarkan ilmu simpanannya diketahui musuhnya.
Dugaan Sangaji sebenarnya tidaklah terlalu salah. Seperti diketahui, Kyai
Kasan Kesambi
adalah lawan Kebo Bangah, Adipati Surengpati dan Gagak Seta dalam
percaturan adu sakti dan ilmu kepandaian. Terhadap Gagak Seta, dia tidak
begitu mencurigai. Sebab, Gagak Seta adalah seorang pendekar berwatak
ksatria sejati. Sebaliknya terhadap Kebo Bangah yang bengis dan licin dan
Adipati Surengpati yang serba pandai, ia mempersiapkan segala
kemungkinannya dengan tekun serta hati-hati. Terhadap kedua pendekar lawan
utamanya itu, sudah barang tentu ia mengetahui ilmu simpanannya. Meskipun
belum jelas, sebagai seorang pendekar yang berpengalaman, tahu pula menebaknya.
Maklumlah, dengan mereka berdua, ia pernah bertempur mengadu sakti dan
kepandaian. Itulah sebabnya, seluruh perhatiannya dicurahkan untuk mencari
kunci-kunci pemu-nahan ilmu lawan dengan cermat dan hati-hati. Tatkala
melihat Wirapati terluka begitu parah, sebenarnya ia menaruh curiga
terhadap kedua tokoh tersebut. Hanya saja, hal itu tak pernah dikatakan
kepada sekalian muridnya. Maklumlah, ia tahu akibatnya. Sekalian muridnya
bukanlah lawan kedua pendekar itu. Dan malam itu, terletuplah kemarahannya
berwujud suatu ilmu pemunah ilmu sakti kedua lawannya. Andaikata Sangaji
sudah bisa menguasai ilmu tenaga sakti Pancawara, hebatnya tak terkatakan
lagi. Tak diragukan lagi akan dapat mematahkan setiap jurus ilmu Kebo
Bangah dan Adipati Surengpati yang bersumber pada ilmu sakti Kala Lodra
Witaradya.
Adipati Surengpati sewaktu melihat Sangaji terlongong-longong, hatinya
girang, la menduga, pemuda itu mulai pusing kepalanya melihat gaya jurus
ilmunya. Sebaliknya pandang mata sang Dewaresi berseri-seri memancarkan
sinar harapan penuh.
Dalam hal kecerdasan, sang Dewaresi menang sepuluh kali lipat daripada
Sangaji. Ia gembira, tatkala mendengar keputusan Adipati Surengpati hendak
mempertontonkan ilmu simpanannya. Pikirnya, masakan aku tak dapat
menghafalkan? Andaikata tidak seluruhnya, aku akan dapat mengingat-ingat
sebagian besar. Bukankah di kemudian hari aku bisa mencangkoknya untuk
memperlengkapi ilmu Kala Lodra.
Memperoleh pertimbangan demikian, dengan hati besar ia mengikuti
gerak-gerik Adipati Surengpati. Satu demi satu ia dapat mengingat-ingat
dengan baik. Tapi lambat-laun, gerak-gerik Adipati Surengpati terasa
menjadi samar-samar dan janggal. Barangkali inilah yang dikatakan ia
kehilangan sebagian besar kitab Witaradya, pikirnya. Ataukah ia sengaja
menyesatkan penglihatan, agar tak dapat mencangkok ilmu saktinya? Ya,
kiranya dia enggan memperlihatkan ilmu sakti Witaradya dengan penuh-penuh.
la mengerling kepada Sangaji yang masih saja berdiri terlongong-longong.
Katanya di dalam hati, hm... kali ini mampuslah kau! Masakan kau begini
tolol, bisa membedakan antara ilmu sakti Witaradya yang asli dan bukan?
Apalagi mencoba menghafalkan. E-hem... akhirnya Titisari jatuh juga di
tanganku...
Lantas saja ia membayangkan malam pe-ngantin. Menuruti kata hatinya, ingin
ia me-remas-remas sampai puas. Mendadak ia tersentak oleh dehem pamannya
yang memberi peringatan kepadanya. Cepat-cepat ia memusatkan perhatiannya
lagi memperhatikan tiap gerak-gerik Adipati Surengpati. Beberapa waktu
kemudian, Adipati Surengpati mengakhiri jurusnya yang penghabisan. Setelah
mengawasi kedua pemuda itu, berkatalah dia. "Nah, siapa di antara kalian
berdua yang sudah dapat menirukan jurus ilmu sakti Witaradya?"
Mendengar ucapan Adipati Surengpati, sang Dewaresi lantas saja
menimbang-nimbang. Pikirnya cepat, jurus-jurusnya nampak kacau. Isinya
susah pula untuk dipahami dengan selintasan. Baiklah aku maju dahulu.
Dengan begitu, aku bisa menghafal lebih banyak sebelum menjadi kabur...
Memang, seumpama dia menahan diri lebih lama lagi, pastilah dia akan
melakukan banyak kesalahan. Maklumlah, jumlah jurusnya berjumlah 72
gerakan. Dengan mengundurkan waktu berarti pula menghapuskan daya
ingatannya. Karena itu segera ia berkata, "Aku akan maju terlebih dahulu."
Adipati Surengpati girang mendengar kepu-tusan pelamar anaknya yang
dikehendaki. Lantas saja dia mengangguk sambil berkata nyaring.
Bersambung
Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:
Posting Komentar