11.08.2019

@bende mataram@ Bagian 261

@bende mataram@
Bagian 261


Diserang demikian, Sangaji melawan dengan ilmu sakti Kumayan Jati. Tubuhnya
melompat-lompat dengan gesit. Kedua tangannya dibuka dan dipergunakan
sebagai gunting untuk membabat kaki Kebo Bangah. Tetapi dia bukan Gagak
Seta yang sudah mahir menggunakan ilmu sakti Kumayan Jati. Karena itu
bagaimanapun juga ia masih kalah tenaga. Meskipun demikian, ia masih bisa
sekali-kali menyerang.


Titisari yang berada di bawah berdebaran menyaksikan pertempuran
mati-matian itu. Tatkala ia mengerling kepada Gagak Seta dan sang Dewaresi,
ia melihat cara bertempur yang lain.


Sang Dewaresi tak sudi melayani rangsakan Gagak Seta. Ia memperlihatkan
ilmu ringan-nya, dengan selalu menghindari dan menge-lakkan tiap serangan.
Dengan enteng ia me-loncat-loncat dari dahan kedahan. Sama sekali ia
menghindari pertempuran langsung. Dengan demikian, Gagak Seta menemui suatu
kesulitan besar.


Binatang ini menyingkir saja. Terang sekali ia hendak mengulur waktu, maki
Gagak Seta dalam hati. Sebaliknya Sangaji terlalu jujur sehingga jadi
tolol. Pastilah dia melayani Kebo Bangah dengan mengadu tenaga dan
kepan-daian. Bagaimana dia bisa melawan? Pasti dia bakal jatuh terlebih
dahulu...


Memperoleh pikiran demikian, Gagak Seta terus saja menggeram. Dengan
memperde-ngarkan suara "Hm" mendadak saja tubuhnya melesat tinggi. Kemudian
dengan mengem-bangkan kedua tangannya ia menubruk dari udara. Kesepuluh
jarinya di cengkramkan bagai harimau menerkam.


Sang Dewaresi terkejut. Segera ia menjejak dan dengan kaki kirinya ia
melesat ke kanan. Tetapi Gagak Seta bukanlah anak kemarin sore. Tahulah dia
menebak gerak lawannya. Begitu sang Dewaresi melesat ke kanan, mendadak
saja dia telah mendahului mencegat ke kanan. Dengan menggeram ia menggertak
pula.


"Hi hi ha ha... biarlah aku kalah, asal engkau mampus kalau kau mampus
masakan bisa mengawini anak siluman Surengpati..."


Kena betul gertakan ini, sehingga hati sang Dewaresi ciut sekecil biji
asam. Gugup ia menghadapi gerakan Gagak Seta yang begitu gesit dan tangkas.
Untuk menangkis, teranglah dia tak mampu. Dalam keragu-raguannya, kakinya
menjejak mundur. Dan diluar kemampuannya sendiri, tiba-tiba saja kakinya
menginjak tempat kosong. Tak ampun lagi ia jatuh terperosok ke bawah. Pada
saat itu ia merasa kalah dalam pertempuran itu. Hanya tatkala dia menoleh,
melihat Sangaji jatuh pula ke bawah.


Kebo Bangah memang gelisah benar, meng-hadapi Sangaji yang bisa bertahan
sampai sekian lamanya. Sudah dua puluh jurus, namun tetap saja masih bisa
bertahan. Bahkan makin lama makin gagah. Pendekar itu sama sekali tak
mengira, bahwa di samping ilmunya Kumayan Jati Sangaji mengantongi pula
ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Agaknya Kyai Kasan Kesambi menaruh curiga
kepadanya, melihat Wirapati terluka parah demikian hebat. Karena itu, ia
menciptakan suatu ilmu pemunah untuk menghadapi ilmu sakti Kebo Bangah.
Hanya sayang, Sangaji tak menyadari sehingga melayani ilmu Kebo Bangah
dengan Kumayan Jati. Coba andaikata dia menggu-nakan ilmu ciptaan Kyai
Kasan Kesambi, belum tentu dia bisa dijatuhkan demikian gampang.
Sebaliknya, kala itu Kebo Bangah mulai berpikir keras.


Jikalau aku sampai melayani bocah ini melebihi lima jurus, habislah sudah
pamorku dihadapan siluman Surengpati.


Dengan membekal pertimbangan ini, terus saja ia memperhebat rangsakannya.
Bagaikan kilat,


tangannya menyambar ke tengkuk Sangaji. Kemudian menggertak. "Bedebah! Turun!"


Sangaji terkejut setengah mati diserang demikian. Mestinya dia harus
melawan dengan salah satu jurus ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Tapi dalam
gugupnya, ia hanya teringat jurus-jurus ilmu sakti Kumayan Jati yang sudah
agak dipahami daripada ilmu ciptaan Kyai Kasan Kesambi. Seperti diketahui,
ilmu sakti Kumayan Jati mengutamakan keras lawan keras. Itulah sebabnya ia
kecelik menghadapi Kebo Bangah yang sudah lama mengenal ilmu Gagak Seta.
Maka begitu Sangaji hendak melawan dengan jurus ilmu sakti Kumayan Jati
yang mengutamakan kekerasan, mendadak saja Kebo Bangah menarik semua tenaganya.


Keruan saja, Sangaji menumbuk udara kosong, sampai tubuhnya terhunyuk ke
depan. Dan begitu tubuhnya hendak menungkrap, cepat-cepat Kebo Bangah
menggertak lagi, "Haaa...! Bukankah tengkukmu jadi terluka?"


Sangaji kaget. Khawatir akan kena terkam, cepat ia menjejak dahan. Sudah
barang tentu, jatuhnya ke bawah sangat keras karena ter-pental oleh tenaga
kakinya sendiri. Dan celakanya kepalanya tetap menukik ke bawah.


Pohon tempat mereka bertarung, berdiri berjajar. Hanya saja yang satu
menempati sudut utara dan lainnya sudut timur. Takala Sangaji turun
terbalik, sang Dewaresi terlempar pula ke bawah. Hanya saja, kemenakan Kebo
Bangah itu jatuhnya tegak lurus dan berdekatan. Sang Dewaresi melihat
dengan tegas, bagaimana saingannya jatuh jungkir balik di dekatnya.
Mendadak saja, tangannya diajukan hendak menekan kaki. Maksudnya terang,
agar jatuhnya Sangaji lebih cepat lagi.


Titisari memekik kaget melihat peristiwa itu. Jika Sangaji sampai jatuh
terlebih dahulu, artinya dia kalah. Maka terloncatlah per-kataannya, "Aji!
Tahan!"


Gadis itu tak teringat sama sekali, bahwa di tengah Udara seseorang tak
dapat menahan tubuhnya. Tapi hampir berbareng dengan pekikannya, mendadak
ia melihat suatu kegaiban. Pada saat itu, ia melihat Sangaji bisa melesat
kembali ke tengah udara dan terlempar di atas dahan. Bahkan, ia terus dapat
duduk berayunan di dahan sambil meraba-raba mencari pegangan.


Menyaksikan peristiwa di luar dugaan. Titisari kaget bercampur girang bukan
kepalang. Sungguh-sungguh ia tak mengerti mengapa bisa terjadi demikian
rupa. Padahal kekasihnya itu justru ditekan kakinya oleh sang Dewaresi.


Kebo Bangah dan Gagak Seta waktu itu, telah turun pula ke tanah. Melihat
Sangaji menang, Gagak Seta tertawa terbahak-bahak. Katanya berulang kali,
"Sungguh indah! Sungguh indah! Siapa bilang ilmu gulat bangsa kompeni buruk?"


Wajah Kebo Bangah berubah hebat. Lantas saja mennyahut.


"Saudara Gagak Seta! Muridmu ini benar-benar hebat. Ilmunya bercampur aduk.
Kecuali telah mewarisi ilmumu, agaknya dia memiliki ilmu-ilmu sakti
lainnya. Malahan dia bisa ilmu gulat pula..."


Gagak Seta tertawa riuh. Menjawab, "Tapi aku sendiri tak becus ilmu gulat
segala. Sungguh! Sama sekali aku tak pernah menga-jari."


SEBENARNYA SANGAJI KAGET SETENGAH MATI, tatkala kakinya kena di tangkap
sang Dewaresi dan di tekan ke bawah. Ia sadar, bahwa jatuhnya ke tanah akan
sangat cepat dan sangat keras. Sedang lawannya bahkan bisa meminjam berat
tubuhnya untuk melompat ke udara. Hal itu berarti, bahwa dia akan diumumkan
sebagai pihak yang kalah. Tapi di saat segenting itu, ia tak menjadi gugup.


Seperti diketahui, dia pernah berkelahi melawan anak-anak Mayor de Groote
kala di Jakarta. Satu-satunya perlawanan yang dimi-liki kala itu ialah
menyeruduk dan menggantol kaki lawan. Begitu jugalah kali ini. Dalam
saat-saat terjepit, mendadak saja ia lupa kepada semua ilmu silatnya. Yang
dipunyainya pada waktu itu ialah, naluri mempertahankan diri sebisanya. Maka




begitu kakinya kena tangkap, mendadak saja terus menggantol seperti
mengkait suatu dahan. Kemudian dengan meminjam lengan sang Dewaresi yang
perkasa, terus saja melompat berputar ke udara. Begitu tubuhnya berhasil
berbalik ke atas, kakinya dikembangkan dengan serentak.


Kesudahannya dia terlempar ke atas dan hinggap di suatu dahan dengan secara
kebetulan. Dengan demikian, ia memperoleh kemenangan.


"Kali ini Sangaji yang menang," kata Adipati Surengpati memberi keputusan.
Kemudian kepada sang Dewaresi.


"Tapi kau tak perlu bersusah hati. Juga saudara Kebo Bangah jangan lantas
panas hati. Siapa tahu dalam pertandingan yang kedua dan ketiga,
kemenakanmu akan menang."


"Baiklah!" Kebo Bangah menyahut sambil menghela napas. "Sebutkan
pertandingan yang kedua!"


"Pertandingan yang kedua ini, tidak lagi menggunakan tenaga jasmani. Kali
ini menge-nai ilmu pengetahuan. Aku ingin tahu, siapa di antara mereka
berdua yang lebih tinggi ilmu pengetahuannya."


Mendengar ujar Adipati Surengpati, Titisari lantas saja mencibirkan bibir
sambil menggu-gat.


"Ayah! Engkau terang-terangan berat sebe-lah. Jelaslah sudah, bahwa Sangaji
akan kalah ...
Aji! Lebih baik kau tak usah bertanding!"


"Diam!" bentak Adipati Surengpati. "Dalam ilmu tata raga dan tata
jasmaniah, apakah seseorang akan terus menerus menggunakan tenaga untuk
mengalahkan lawan? Seseorang yang sudah mencapai puncak kemahiran, tidak
lagi menggunakan kekerasan. Dia akan mengadu ilmu kepandaian yang lain.
Nah, kali ini aku hendak menguji kedua pelamar dengan sebuah lagu."


Girang hati sang Dewaresi mendengar macam ujian yang hendak dikemukakan
Adipati Surengpati. Lantas saja ia berkata dalam hati, bagus! Si tolol itu,
masakan tahu tentang tembang? Kali ini, pastilah aku yang bakal menang...


Tetapi Kebo Bangah terdengar berkata nyaring.


"Saudara Surengpati! Apakah engkau hanya menguji tentang syair, guru lagu
atau guru wilahan?"


"Hm... masakan begitu?" sahut Adipati Surengpati cepat. "Aku berkata lagu!
... dan bukan syair lagu. Meskipun demikian, untuk menolong tataran
pengetahuan anak-anak muda, sengaja aku akan memperdengarkan bait-baitnya.
Dengan mengenal sajak baitnya, anak-anak muda akan dapat menebak lagu
apakah itu."


Kebo Bangah tertawa terkekeh-kekeh. "Saudara Surengpati! Tiupan lagumu dari
tan-duk pusakamu itu sangat berbahaya bagi anak-anak muda. Kukhawatirkan
mereka takkan dapat mempertahankan diri."


Tetapi Adipati Surengpati seperti tak meng-indahkan lagi. la menghadap
kepada sang Dewaresi dan Sangaji, kemudian berkata memutuskan.


"Dengar! Ujianku kali ini ialah mengenai ilmu irama lagu. Aku tak peduli
apakah kalian mengenal nama lagu atau tidak. Yang kuingin-kan di sini ialah
cara kalian menguasai irama. Barangsiapa dapat menguasai irama laguku,
dialah yang kuanggap menang." Ia berhenti mengesankan, "Agar kalian bisa
mengenal macam lagu apa yang hendak kutiup, baiklah aku memperdengarkan
sajaknya. Sekarang ambillah sebatang ranting pohon! Timpali irama laguku
pada pohon itu. Sang Dewaresi di utara dan Sangaji pada pohon yang berada
di timur!"


Mendengar macam ujian yang hendak dike-mukakan Adipati Surengpati, Sangaji
lantas saja maju dan membungkuk hormat. Kemudian berkata rendah, "Aku ini
seorang pemuda yang tolol. Sebagian besar hidupku berada di daerah barat.
Sama sekali aku asing dengan lagu-lagu Jawa




Tengah. Tiada sebuah pun yang pernah kukenal. Kecuali tatkala aku mendengar
Panembahan Tirtomoyo melagukan tembang Dandanggula di Pekalongan dahulu.
Karena itu, pertandingan yang kedua ini, tak usah dilanjutkan saja. Aku
mengaku kalah..."


Bersambung

Sent with AquaMail for Android
https://www.mobisystems.com/aqua-mail

Tidak ada komentar:

Posting Komentar